Mohon tunggu...
Mashuri Mashar
Mashuri Mashar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Widji Thukul Mood Boster-ku

27 Februari 2016   16:12 Diperbarui: 27 Februari 2016   16:19 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka hanya ada satu kata: lawan!

Penggalan bait Puisi ini begitu popular dalam setiap demonstrasi, entah karena kedalaman makna atau tidak lebih dari niatan para agitator dalam membakar psikologi massa di lapangan.

            Menjadi seorang Wiji Thukul bukan hal mudah, setidaknya saat mengambil keputusan untuk meninggalkan keluarga dan hidup berpindah-pindah dari rumah sahabat ke rumah sahabat yang lain karena menjadi Buronan pemerintah saat itu hingga akhirnya hilang laksana ditelan bumi, karena baik jasad maupun kuburan beliau masih belum ditemukan hingga saat ini.

            Melalui dua penerus yang merupakan darah daging beliau akhirnya suaranya senantiasa menggaung di sekitar kita hingga saat ini. Adalah Fitri Nganthi Wani dan  Fajar Merah yang masih mencoba untuk tegar namun tetap menyuarakan kegelisahan akan rasa rindu yang mendalam dari hilangnya sosok ayah yang tidak tergantikan. Bagi kebanyakan orang mereka berdua menurunkan bakat berkesenian dari sang Ayah.

            Mengikuti mereka dalam berpuisi atau musikalisasi puisi Wiji Thukul membuat diri ini semakin tersadar, jika inti dari sebuah perjuangan adalah KONSISTENSI. Dan ini lagi-lagi menampar diri sendiri yang saat ini mengalami tingkat kesyahduhan hampir klimaks. Tamparan ini begitu terasa disaat diri sedang melankolis yang entah mengapa, masih jauh dibandingkan rasa tidak menentu yang dirasakan keluarga Beliau pasca menghilang secara misterius

            Sekali lagi dari hati yang paling dalam, diri ini menaruh hormat pada Wiji Thukul. Bukan saja karena puisinya yang mampu membuat seorang jendral penguasa 32 tahun ini gelisah, namun keteguhan Beliau dalam menyuarakan berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi.  Bukan juga keikhlasan beliau dalam berjuang, namun karena Konsistensi beliau dalam bergerak ketika merespon permasalahan social yang menyimpang.

            Diri ini bukan apa-apa jika dibanding segala bentuk pengorbanan Beliau terdahulu. Oh Wiji Thukul, kita mungkin tidak pernah bertemu dan diri ini mengenalmu hanya lewat karya-karya puisimu dan diteruskan oleh anak-anakmu, tapi apakah engkau tahu jika hingga saat ini masih saja ada orang yang terinspirasi. Walau dalam bentuk yang semakin beragam dirimu tetap menjadi seorang tidak akan lekang oleh zaman.

            Saat tulisan ini dibuat, bukan dalam rangka memperingati tanggal lahirmu atau bergabung dengan kawan-kawan yang hingga saat ini tetap konsisten dengan tagar #MENOLAKLUPA. Ini semata-mata, cara diri ini dalam menemukan kembali semangat ditengah rasa melankolis yang sedang memuncah atau bahasa anak muda saat ini MOOD BOSTER.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun