Oleh: Mashudi
Dana Filantropi Islam sebagai Opsi Pengentasan Kemiskinan
Terdapat banyak ragam zakat yang wajib dikeluarkan seorang muslim yang hartanya sudah mencapai nisab, mulai dari zakat harta, zakat pertanian dan hewan, zakat mas dan kekayaan lain, zakat penghasilan, hingga zakat fitrah. Selain zakat, ada wakaf, sedekah, dan infaq. Kewajiban mengeluarkan zakat adalah untuk menyucikan penghasilan dan harta benda, serta menyalurkannya kepada delapan pihak (asnaf) yang berhak menerima.
Selama ini, berbagai bentuk filantropi Islam itu kebanyakan diberikan kepada pihak penerima dalam bentuk uang kontan untuk konsumsi dan kebutuhan lain, seperti beasiswa pendidikan, modal usaha kecil, sembako, uang tunai daln lain-lain. Padahal, sejumlah dana itu sangat memungkinkan untuk dikelola lebih maksimal dalam rangka dijadikan salah satu opsi pengentasan kemiskinan yang menjangkiti bangsa Indonesia hingga saat ini.
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat serius dihadapi bangsa Indonesia. Penduduk miskin di Indonesia berkisar 25-26 juta orang. Garis kemiskinan yang digunakan ialah Rp. 271.626 per kapita per bulan. Padahal, sudah banyak program yang ditawarkan oleh pemerintah, seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan Bantuang Langsung Tunai (BLT).
Hingga saat ini, bangsa ini masih mencari solusi untuk mengurangi kemiskinan yang terus melilit. Dalam konteks Indonesia, salah satu cara untuk menekan angka kemiskinan, orang Islam memanfaatkan dana zakat, sedekah, infaq, dan wakaf. Pelembagaan berbagai macam bentuk filantropi sangat ditekankan dalam ajaran Islam.
Potensi filantropi Islam Indonesia sangat besar lantaran jumlah muslim Indonesia yang juga amat besar—bahkan terbesar dibandingkan dengan negara-negara muslim manapun. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah muslim mencapai 88,2 persen dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia. Lebih dari 50 persen atau sekitar 152 juta jiwa muslim Indonesia dapat diasumsikan termasuk ke dalam kelas menengah, yang dalam konteks ini mereka adalah muzakki.
Salah satu hal yang menggembirakan, hasil survei Global@dvisor bertajuk “Views on Globalisation and Faith” yang dilakukan Ipsos MORI di 24 negara pada April 2011, 83 persen Muslim Indonesia di bawah usia 35 tahun percaya bahwa agama merupakan motivator besar dalam memberi dan berbagi. Ini adalah prosentase tertinggi di dunia. Di samping itu, hasil survei menunjukkan, ternyata kaum muslim paling dermawan dengan motivasi agama di dunia adalah kaum muslim Indonesia (91 persen), diikuti muslim Arab Saudi (71 persen), dan muslim Turki (33 persen).
Oleh karena itu, menurut beberapa estimasi, jika setiap dan seluruh muslim Indonesia yang memiliki kelebihan rezeki dan harta mengeluarkan ZIS dan wakaf, potensi dana filantropi Islam Indonesia antara Rp 19 triliun hingga Rp 20 triliun per tahun. Namun demikian, menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafidhuddin, pada 2011 realisasi dana filantropi Islam masih sekitar Rp 1,73 triliun. Ini dapat dipahami karena tidak semua muzakki membayar zakatnya ke lembaga amil zakat. Kebanyakan mereka menyalurkan zakatnya secara langsung ke mustahiq.
Oleh sebab itu, perlu adanya upaya lembaga amil zakat untuk meningkatkan kepercayan masyarakat agar mereka menyalurkan zakatnya terhadap lembaga-lembaga amil zakat. Ini dilakukan dalam kerangka mengoptimalisasi realisasi potensi zakat di Indonesia.
Dengan dana sebesar itu, sangat memungkinkan lembaga-lembaga amil zakat di Indonesia melakukan penyaluran terhadap mustahiq dengan cara-cara yang tersophistifikasi dan modern dalam rangka mendorong upaya pengentasan kemiskinan, sehingga terjadi transformasi dari mustahiq ke muzakki. Dalam hal ini, penulis mengajukan sebuah gagasan pembangunan perusahaan dhu’afa.
Urgensi Perusahaan Dhua’afa
Perusahaan bagi kaum dhu’afa ini sangat penting. Perusahaan-perusahaan yang dibangun dengan manajemen profesional, dengan modal besar, sistem yang matang, dan oleh karena itu sangat menguntungkan, selama ini perusahaan-perusahaan masih banyak dikuasai oleh orang-orang kaya, para pemilik modal. Sehingga, terjadi proses konglomerasi di mana yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin atau tetap miskin. Tidak ada transformasi yang berarti dalam konteks perusahaan-perusahaan yang ada selama ini, sebab yang miskin hanya sebagai buruh yang posisinya selalu termarjinalkan.
Dalam perspektif Marxian, revolusi industrialisasi di negara-negara Eropa telah melahirkan kelompok-kelompok kelas baru. Yaitu, kelas borjuis dan proletar, di mana borjuis adalah golongan pemilik modal dan alat-alat produksi yang kaya, dan kaum proletar sebagai pekerja yang umumnya miskin. Relasi antara keduanya tidak seimbang; kaum proletar selalu berada dalam posisi yang dieksploitasi.
Berbeda dengan industri dalam perusahaan dhu’afa. Ia dibangun dengan menggunakan modal yang dikumpulkan dari muzakki melalui lembaga-lembaga amil zakat, infaq, dan sedekah. Dalam perusahaan ini, prinsip-prinsip demokrasi dan transformasi sosial dijaga ketat. Di mana, modalnya merupakan milik orang-orang miskin, pekerjanya orang miskin, dan diupayakan semaksimal mungkin untuk memerangi kemiskinan. Sehingga, prinsip dari perusahaan dhu’afa ini adalah dari, oleh, dan untuk dhu’afa.
Perusahaan ini kemudian diproyeksikan untuk mengeluarkan dua produk. Pertama, produksi barang dan jasa. Jenis dan karakter dari produk ini perlu mempertimbangkan potensi daerah di mana perusahaan ini dibangun. Untuk menjamin efisiensi dan efektifitas produksi, pemasaran, dan distribusi, maka diperlukan manajer dan konsultan bisnis yang andal, serta karyawan yang terlatih, di mana karyawan di sini berasal dari kaum dhu’afa.
Kedua, pada waktu yang sama, perusahaan melakukan kegiatan pendidikan pada karyawan. Karyawan tidak bekerja dalam penuh waktu. Ada waktu-waktu tertentu yang digunakan untuk pelatihan dan pendidikan. Orientasi pendidikan adalah bagaimana mencetak karyawan menjadi entrepreneur, dan dalam diri mereka terinternalisasi prinsip-prinsip ekonomi syariah. Dalam hal ini, pendidikan yang diberikan adalah pendidikan entrepreneurship, revitalisasi pola pikir, etos kerja karyawan, serta penanaman nilai-nilai ekonomi syariah. Untuk ini, dibutuhkan mentor, motivator, dan konsultan. Mereka digaji dengan menggunakan laba dari kegiatan produksi yang pertama. Selain itu, laba dari kegiatan produksi yang pertama juga digunakan sebagai dana stimulus dan dana penjamin pinjaman bank para pengusaha baru (peserta didik yang sebelumnya adalah karyawan).
Jadi, selain untuk memberikan tambahan penghasilan bagi kaum miskin, perusahaan ini juga diproyeksikan memberikan pendidikan agar mereka menjadi entreprenuer yang taat prinsip-prinsip ekonomi syariah dan tidak lagi tergantung pada alam dan lembaga-lembaga perusahaan formal, sehingga mereka menjadi mandiri dan berdikari dalam hal ekonomi. Pendidikan bagi karyawan ini penting karena karyawan di perusahaan itu bersifat revolving. Artinya, karyawan tidak boleh selamanya bekerja di perusahaan itu, karena dalam waktu-waktu tertentu karyawan itu harus menjadi entreprenuer, dan posisinya sebagai karyawan akan diganti oleh orang lain yang direkrut sesuai dengan skala prioritas.
Penutup: Katalisator Pengentasan Kemiskinan
Dari sinilah diharapkan akan muncul para pengusaha baru yang menjadikan prinsip ekonomi syariah sebagai mainstream. Mereka ini kemudian menjadi kelas menengah baru di Indonesia; selain menjadi muzakki, mereka juga menjadi pengusaha yang dapat menyerap tenaga kerja baru. Di sini peran mereka sangat penting dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
Jika model perusahaan yang semacam ini dapat dioperasionalisasikan secara massif di setiap daerah di Indonesia, maka selain prinsip ekonomi syariah akan menjadi arus utama, kemiskinan di Indonesia akan dengan cepat dapat dientaskan. Karena dengan demikian, para mustahiq akan semakin berkurang, sedangkan muzakki akan selalu bertambah. Dana yang dikumpulkan dari muzakki semakin banyak, sedangkan para penerima zakat yang berhak semakin sedikit. Ini akan menjadi semacam katalisator pengentasan kemiskinan di Indonesia, di samping program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Wallahu a’lam.
Nisab adalah ketentuan fiqh mengenai sejumlah harta milik seorang muslim yang dikenai kewajiban zakat dalam jangka waktu tertentu. Lihat misalnya dalam Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami (Yogyakarta: Penerbit Ekonosia, 2003).
Mereka adalah miskin, amil zakat, mualaf, budak, orang terlilit utang, muslim yang fi sabilillah, dan ibn sabil. QS. Al-Taubah: 60.
Azyumardi Azra, “Filantropi untuk Kohesi Sosial”, dalam KOMPAS, 18 Agustus 2012.
Ibid.
Perusahaan yang demikian cocok dengan visi ekonomi syariah yang menganggap bahwa orang miskin bukanlah orang-orang malas, melainkan pihak yang tidak mendapat akses ke kehidupan yang lebih baik. Sistem ekonomi syariah tidak bertujuan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ekonomi syariah mempunyai prinsip sinergi, tolong-menolong (ta’awun), dan kerjasama untuk maju bersama. Prinsip ini memungkinkan orang yang lebih dulu sukses itu membantu sesamanya.
Dengan mengutip Wallace D. Wattles, AS. Laksana menyatakan: “Orang miskin membutuhkan inspirasi. Beri mereka inspirasi, dan itu adalah pemberian yang akan bertahan seumur hidup.” Lihat AS. Laksana, “Ilmu Menjadi Kaya (1)”, dalam Jawa Pos 11 Desember 2011.
Dana penjamin pinjaman ini penting lantaran selama ini kebanyakan orang miskin yang hendak mengakses lembaga keuangan dalam memulai kegiatan usahanya sering terkendala. Sebab, lembaga-lembaga keuangan pada umumnya mensyaratkan jaminan atau agunan bagi peminjam. Sedangkan mereka tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan agunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H