Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hayid
Muhammad Nur Hayid Mohon Tunggu... -

ingin mengabdi untuk kemaslahatan, menjadi sinar bagi gelapnya kehidupan akhir zaman, seperti kanjeng nabi muhammad khoirul kholqi walbasyar.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan 'Spiritual' Ke Maroko (Part 4)

24 September 2012   12:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bersimpuh di Makam Pengarang Kitab ‘Dalailul Khoirot

Saat itu, hari masih pagi. Namun, mataku sudah terbelalak lebar. Tak bisa lagi aku lanjutkan tidurku karena siang ini aku akan berkunjung ke sebuah makam yang pernah hadir dalam ‘impianku’. Setelah menyeruput the dan kopi yang dibikinkan temen-teman mahasiswa Indonesia di Marrakech, aku berrehat sebentar sambil bercanda dan bercerita suka dukanya jadi mahasiswa di luar negeri. Saat itu kami menikmati the pagi bersama Hasbi, Fauzan, Ardan dan satu lagi saya lupa namanya, serta Sabiq tentunya, sang adik kelas top dan luar biasa ini.

Tak lama kami menyeruput teh hangat yang nikmat luar biasa, datang semangkok indomie yang dibikinkan Fauzan. Makin mantap lah suasana obrolan pagi itu sebelum kami berangkat berziarah. Setelah puas berkenalan dan bercanda ala anak kos dan pesantren, aku pamit kepada mereka untuk melanjutkan perjalanan Spiritual ku ke negeri seribu benteng ini. Aku siapkan semuanya, mulai dari kamera, uang sampai kitab dalail yang akan aku baca di depan makam sang pengarang. Masyallah, indah betul rasanaya saat itu, bagai aku akan bertemu seorang kekasih.

Setelah jam menunjukkan pukul 9 pagi, aku pun keluar kontrakan bersama Sabiq dan aku pun langsung mengajak kandidat doktor ini mencari lokasi yang katanya di sekitaran kota Marrakech itu. Sesunguhnya lokasi makam Syech Sulaiman itu terdapat di tengah kota. Namun tidak berada di dekat jalan besar, tetapi masuk ke gang-gang sempit yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Mungkin dulunya wilayah ini termasuk wilayah strategis dan dekat jalan besar, namun seiring pertumbuhan penduduk dan pembangunan pemukiman kota yang padat menjadikan daerah itu menyempit. Setelah menyusuri jalan di sekitar kos-kosan teman-teman, sampai kami di pinggir jalan raya besar, kami pun naik taksi menuju lokasi makam Syech Sulaiman Aljazuli. Karena tak bisa berhenti di dekat makam persis karena lokasinya yang tak bisa dilalui mobil, aku pun berhenti di pasar dekat sana.

Kami berjalan kaki melewati lorong-lorong bangunan tua yang sudah jadi perkampungan dan sebagaiannya menjadi toko souvenir dan kenang-kenangan turis. Beberapa anak-anak seumuran 10 tahunan terlihat bermain bola di sela-sela pejalan kaki dan pengendara motor yang lewat. Ada yang bermain dengan temannya, ada pula yang bermain sendiri dengan tembok bangunan yang menjadi batas jalan yang kami lewati. Beberapa anak perempuan kecil juga terlihat bermain di sekitar jalan yang langsung menjadi pintu masuk kediamannya. Maklum, karena memang tak ada halaman lagi untuk bermain. Setelah berjalan sekitar 10 menit, sampailah kami makam Syech Sulaiman yang terdapat dalam bangunan besar yang dulunya konon itu pesantren beliau dan masjid besar.

Lirboyo, Kediri, Jawa Timur

Sekarang tak ada lagi pesantrennya, dan hanya tinggal masjid yang hanya digunakan untuk salat jumat warga sekitar. Bahkan salat jamaah fardu yaumiyah pun terlihat tak digunakan tempat ini. Saat ku copot sepatu dan kaos kakiku ketika memasuki pintu gerbang depan komplek pemakaman Syech Sulaiman, anganku pun seolah kembali kepada 8 tahun silam saat aku berada di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Aku bersyukur kepada Allah karena mimpiku saat ngaji di pesantren besar di Jawa Timur itu kini terkabul, aku bisa meniru guruku Mbah Kiai Idris Marzuki yang juga telah berziarah ke makam pengarang kitab favoritnya ‘dalailul khoirot’ yang selalu dingajikanya setiapbulan puasa Ramadan tiba.

Di tempat inilah dulu guruku, Kiai Idris pernah ‘berkomunikasi’ dengan sang pengarang kitab dan bercerita tentang keagungan rasulullah saw. Sore itu, kami baru memulai 1 ramadan di Pesantren Libroyo. Jadwal pengajian kita kuning aku baca sejak 2 sebelum datangnya Ramadan. Dan aku sudah tetapkan beberapa kitab yang akan aku ikuti pengajiannya mulai dari fikih, tasawuf sampai kitab salawat. Aku memilih ngaji kepada kiai-kiai utama langsung, seperti Kiai Idris, Gus Kafa Mahrus dan beberapa lainnya.

Saat memulai mengaji kitab dalailul khoirot itu, kiai Idris mulai bercerita soal pengalamannya belajar kitab salawat ini dari para gurunya yang bersambung sampai pengarang kitab dan sampai kepada rasulullah. Bahkan karena ketekunanya mengaji kitab ini, sang kiai diperkenankan Allah untuk berziarah langsung ke makam Syech Sulaiman Aljazuli yang berada di Kota Marrakech untuk membaca langsung kitab dzalalil di depan sang pengarang. “Subhanallah”, demikian kami ucapkan tasbih atas rasa kagum dan senang bisa belajar kitab yang sanadnya sampai kepada pengarang dan rasulullah, demikian gumamku saat itu. Dengan sedikit menghela nafas, kuucapkan doa saat itu, semoga aku bisa mengikuti jejak sang kiai dan bisa berziarah ke makam sang pengarang kitab selain tentu ke makam rasulullah saw.

By time, Allah rupanya mengabulkan doaku yang spontan dan penuh harap dan cemas itu. Allah mengizinkanku untuk berziarah ke makam rasulullah saw pada tahun 2008 dan ku bacakan salawat sebanyak dan semampu aku mengucap saat aku berada di depan pusaranya di Masjid Nabawi, Madinatul Munawwaroh. Dan empat tahun kemudian, Allah menambahkan kemurahan rahmatNya kepadaku untuk bisa berkunjung dan berziarah ke makam pengarang kitab dzalailul khoirot di Kota Marrakech, Maroko. Itulah lintas anganku saat melihat makam sang Syech musannif yang terbungkus kain hijau berukir kaligrafi dengan benang emas. Terlihat indah dan berwibawa aku rasakan saat itu.

Kuucapkan salam saat aku melangkahkan kaki memasuki areal pemakaman yang dulunya itu tempat mengajar beliau. Assalamu’alaikum ya waliyallah …. Ya syech Aulaiman Aljazuli, musannif alkitab dalailul khoirat, wainna insyallahi lahiqun …., demikian aku ucapkan salam saat itu karena memang para kekasih Allah yang sudah wafat itu sesungguhnya masih ‘hidup’, hanya kita tak bisa melihatnya. dan aku langsung menyalami sang penjaga makan sebelum aku akhirnya duduk menghadap kiblat untuk membacakan beberapa surat Alqur’an dan tahlil serta mendoakannya agar Allah mengampuni segala salah dan khilaf serta melipatgandakan semua amal kebaikan dan amal salehnya. Setelah itu, aku membaca kitab dzalail mulai dari awal yang menjelaskan soal tata cara membaca dan penjelasan soal keutamaan membaca salawat kepada kanjeng nabi Muhammad saw.

Aku baca semua sampai beberapa salawat, dan aku akhiri dengan membaca doa dalam kitab itu juga. Saat membaca itu, aku merasa seolah olah berada di zaman ketika syech itu masih hidup dan mendengarkan murid-muridnya membaca. Dan aku bersyukur karena bacaanku di dengar langsung oleh sang pengarang kitab meskipun beliau sudah tenang dan senang bersamaNya. Setelah selesai ku baca doa dalalil, aku langsung bertafakkur dan sambil berzikir dan beristigfar kepada Allah. Bahwa semua yang kita usahakan selama kita hidup ini hakikatnya adalah hanya untuk menambah bekal saat kita menghadap Allah. Yang tertinggal bukanlah harta benda yang kita kumpulkan, ataupun anak dan keluarga yang kita tinggalkan, tetapi pusara dan liang 1 kali 2 meter yang diatasnya terdapat 2 buah tanda batu nisan.

Maka celakalah yang tidak sadar akan hakikat dan makna kehidupan ini, dan beruntunglah bagi yang sudah menabung amal dan kebaikan yang banyak … wal asri innal insana lafi husr. Illal ladzina amanu wa amilus sholihati watawasau bilhaqqi watawasau bissobr. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang amanu wa amilussholihat … amin. Demikian kami merenung dan tafakkur lidzikril maut, sampai aku dikagetkan dengan suara azan duhur. Aku pun beranjak bangun setelah adzan selesai karena seorang syekh tua yang juga penjaga makam itu meminta kami salat berjamaah. Dan Allahu Akbar …. Kami salat berjamaah duhur di sebelah makam sang syekh dan beberapa makam para muridnya yang tinggal tulisan sebagai penanda.

Kenangan Abadi

Sementaratemanku Sabiq yang dari tadi di belakang saya, terlihat juga sudah selesai salat dan mengajak pulang. Namun, aku meminta izin waktu barang sejam untuk berkenalan dan berfoto dengan makam ini dan penjaganya. Sabiq bilang, nggak mungkin berfoto sama sang penjaga, dia selalu menolak di foto,” kata Sabiq. Namun, keyakinanku lain. Dan aku minta waktu ke Sabiq untuk membuktikan bahwa sang penjaga yang kiai ini mau di foto sebagai kenang-kenangan bagi kami yang datang dari jauh, Negara di ujung dunia sebelah selatan yang bernama Indonesia. Sabiq pun mengabulkan permintaanku dan aku mulai berkenalan dengan penjaga makam yang saat itu bertambah jadi dua orang. Umur mereka yang satu sekitar 70 tahunan dan satunya 80 tahunan.

Setelah doa dibacakan oleh imam, kami salat sunnah bakdiah dan lalu masing-masing kembali ke posisinya. Aku lihat sang penjaga makam yang sudah sepuh itu kembali ke tempatnya dan duduk di samping makam. Aku ucapkan salam sebagai awal kami berekenalan, kugunakan bahasa arab ala kadarnya yang aku bisa, dan Alhamdulillah sang syeh ngerti apa yang aku maksud, kami pun langsung ngobrol, setelah beliau bertanya dari mana asal kami dan pertanyaan lain. Setelah cukup lama kami ngobrol, aku tunjukkan kitab dalail yang aku bawa yang merupakan kita dalalil lama yang cetakannya dalam kertas kuning seperti kitab kuning pesantren jaman dulu.

Beberapa saat kitab itu dibacanya seperti membaca alquran. Dan beliau pun membolak-balik lembaran yang kebetulan ada beberapa tulisan meiring yang tercetak yang berisi hizb-hizb seperti hizb nasr, hizb bahr dan hizb nawawi. Dan secara spontan, sang syech bilang, ini kitab seperti kitan dzalalil lama yang orisinil dikarang oleh sang musannif. Obrolan kami pun semakin panjang dan jauh tak hanya soal kenalan yang ternyata, aku sedang bercengkrama dengan penjaga yang merupakan murid dari penjaga makam Syech Sulaiman dan satu lagi cicitnya sang Syech Sulaiman. Setelah puas kami bercerita, aku pun mohon pamit dan mohon doa. Karena saat aku berziarah, istriku sedang hamil tua untuk anak ketigaku. Dan beliau mendoakan kami dan mengamini setiap doa dan harapanku kepada Allah.

Setelah itu, kami minta kenang-kenangan untuk foto bersama, dan dengan ihlas dan senang hati beliau berdua melayani foto-foto kami. Sabiq pun kaget dan terkagum-kagum seraya berkomentar,”Kok mau ya sekarang dia difoto bersama. Biasanya dia nggak mau dan nggak boleh difoto kuburan itu dan apalagi foto bersama penjaganya,” kata Sabiq sambil menjepret kamera besarnya yang menemani perjalanan kami selama di Maroko. Itu pengalama Sabiq selama ini, tetapi saat kami datang sang penjaga rela dan bahkan ihlas berfoto denganku. Mendapat komentar itu, aku pun hanya bilang singkat, “Apa ku bilang, nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah sudah memudahkan segala urusan,” jawabku sambil senyum ke Sabiq. Kami pun tertawa puas siang itu.

Kitab Dalail-ku Diminta

Setelah foto-foto itu, kami pun pamitan kepada penjaga makam, dan yang mengejutkan sang cicit dari Syeh Sulaiman itu meminta kitab yang aku bawa. Dengan lembut dan permohonan maaf, aku belum bisa mengabulkan kitab dalail yang dimintanya, karena kitab ini merupakan kitab kenang-kenangan dari salah satu hujjaj dari daerah jawa tengah saat kami kami bersama-sama pulang dari Madinah menuju Jeddah. Menurut pemberi kitab ini yang saya tahu dia pasti lulusan pesantren, dia dilarang penjaga makam dan masjid nabawi membaca kitab dalail ini saat berziarah ke makam rasulullah saw.

Aku pun menjelaskan, memang kalau membaca selain Alqur’an di samping atau di belakang atau di depan makam nabi Muhammad, pasti dilarang oleh petugas dari askar atau petugas berjubah penjaga masjid dan makam. Karena mereka itu beraliran wahabi yang khawatir kalau membaca selain Alqur’an itu kita melakukan tindakan syirik. Padahal kita ini kan sudah ngaji dan ngerti bedanya syirik dan membaca salawat kepada nabi sebagai bukti cinta dan saying kepada beliau sebagaimana perintah Allah. Demikian aku jelaskan tradisi dan budaya serta aturan di sekitar makam nabi bagi orang arab dan penjaga yang beraliran Islam wahabi.

Merasa mendapat penjelasan dan pencerahan sedikit, dia memberikan kitab yang gagal dibacanya secara tuntas di depan makam rasulullah itu kepadaku. Aku pun dengan senang hati menerima kenang-kenangan indah ini. Dan sambil kuterima, aku bisikkan, gak apa-apa membaca kitab ini, asal baca sambil sembunyi-sembunyi, tak ketahuan askar,” kataku yang disambut mangut-mangut oleh dia. Inilah ceritanya kenapa aku ak memberikan kitab ini kepada sang cicit musannif saat diminta. Karena kitab ini telah melakukan perjalanan panjang dan sudah sampai di depan makam rasulullah dan didepan baitullah, ka’bah karena aku bawa lagi kitab ini saat aku melaksanakan ibadah umroh pada awal 2012 lalu.

Setelah pamit, aku minta izin berkeliling komplek pemakaman dan izin ke toilet yang dulu juga dipakai sang musannif. Dengan senang hati penjaga makam itu melayaniku. Puji sukur kepada Allah aku panjatkan saat itu, Alhamdulillah, … puas rasanya aku rasakan dan nikmati rihlah batiniah saat itu. Aku pun sempat keliling melihat masjid dan mimbar untuk khotib salat jumat yang masih asli dan terlihat tua. Para pengunjung dan penziarah lain pun aku lihat terus berdatangan, apalagi jika malam kumat kata sang penjaga menambahkan. Setelah puas melihat-lihat bangunan masjid dan kompleks pesantren atau zawiyyah dalam bahasa di magribi, aku pun menyempatkan wudlu dan meminum air mancur yang ada di sebelah makam sang Syech Sulaiman. Ini untuk kenang-kenangan, semoga saja aku bisa kembali ke sini, gumamku sebelum meminum air itu.

Jamiul Fena Lagi

Setelah semua itu kujalani, aku langkahkan kami bersama Sabiq untuk keluar dari komplek makam sang musannif melewati larong-lorong bangunan tua nan padat milik warga Maroko yang juga aku lewati saat berangkat itu. Saat itu hari sudah mulai sore, namun belum asar. Sebelum kembali ke kos-kosan, Sabiq mengajaku lagi ke jamiul fena untuk melihat daerah ini di siang hari. Kami pun berjalan mengunakan taksi menuju jamiul fena lagi. Namun, lagi-lagi karena masih terlalu siang dan masih panas, kawasan wisata andalan Marrakech ini masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang memulai beratraksi dan memulai usahanya. Karena masih sepi, kami pun langsung mencari makan dan mencari minuman khas daerah ini yaitu jus jeruk dalam gerobak. Kalau yang pernah ke Maroko, pasti tau dan bisa membayangkan. Seger dan mantab, kata Sabiq siang itu setelah kami menyantap brosset dan kentang serta makanan khas Maroko yang ditutup dengan jus jeruk.

Setelah selesai makan, kami berjalan menuju daerah timur untuk melihat lihat pertokoan dan kawasan jamiul fena lainnya. Hari yang semakin sore menjadikan suasana semakin ramai. Apalagi Sore itu akan ada pertandingan Madrid lawan Barcelona yang akan menjadikan tiket kedua tim masuk ke semi final liga champion. Semakin ramai lah sore itu, termasuk biskop yang biasanya buat nonton film dijadikan nonton bareng. Harganya pun sekitar 50 dirham. Ya sekitar Rp 50 ribu atau lebih dikit lah. Aku ingin menonton, tetapi waktunya masih lama, karena pertandingan baru akan dimulai pukul 6 waktu setempat. Semnetara saat itu masih pukul 4 siang. Karena lama itulah, kami putuskan untuk kembali ke kos-kosan temen-temen untuk istrahat sebentar dan nanti kalau bisa nobar di kafe bersama.

Madrid Vs Barcelona

Kami pun pulang ke kos-kosan dengan lagi-lagi menunakan taksi. Karena taksi di Maroko ini banyak dan enak bisa dinegosiasi. Sambil melewati jalanan yang agak macet, Sabik menawarkan ziarah ke makam wali-wali lain yang terkenal dengan waliul qutb yang jumlahnya ada 7 orang wali termasuk Syech Sulaiman Aljazuli. Namun kerena aku tak punya ikatan sejarah dan ilmu serta pengetahuan yang mendalam tentang sosok ini sebelumnya, aku tolak usulan Sabiq sambil kukatakan kepada dia “Mungkin saat ini Allah belum mengizinkan aku berziarah ke para wali qutb itu, insyallah aku akan kunjungi di saat yang lain dengan izin Allah jika aku diperkenankan ke Maroko lagi,” jelasku. Sebab aku juga masih ingin kembali ke Maroko lagi untuk berkunjung ke kota Fez dan kota unik dan menarik lainnya. Apalagi di kota Fez ini terkenal dengan tempat ulama besar Islam era keemasan pernah belajar dan mengabdikan hidupnya, seperti Ibnu Sina, Ibnu Batutah, Ibnu Kholdun dan banyak lagi. Bahkan aku pernah mendengar Gus Dur pun pernah juga datang ke Kota Fez ini hanya untuk belajar di perpusnya dan menapak tilasi tempat-tempat bersejarah yang digunakan oleh para tokoh besar Islam di atas. Kalau dalam bahasa orang pesantren, ngalap berkah lah. Semoga Allah memberikan kesempatan dan waktunya lagi kepadaku dan keluargaku kembali ke Maroko, Entah kapan?

Setelah sampai di kos-kosan, kulihat teman-teman sudah siap dengan pertunjukan menarik antara Madrid dan Barcelona. Sebab kedua tim ini punya pendukung masing-masing. Hasbi mendukung Barcelona dan Fauzan mendukung Madrid sama sepertiku. Sementara Sabiq netral karena tim favoritnya itu AC Milan. Namun kali ini dia cenderung ke Barcelona. Karena tak ada tv di kos kosan, Sabiq sempat menawarkan aku nonton di kafe, namun setelah dicek, ternyata semua kafe sudah pada penuh karena memang masyarakat Maroko juga pada gibol alias gila bola. Apalagi yang main tim-tim dari Spanyol yang memang sangat dekat dengan Maroko. Karena hanya menyebrang selat Gibraltar atau selat jabal thorik sang pejuang Islam yang menaklukkan Eropa dan menyebarkan Islam pertama kali ke benua biru itu melalui Sevilla dan Cordoba, Spanyol. Singkat cerita, karena tak ada tempat lagi kamipun bersepakat nobar di kos dengan layanan internet dan nonton dari laptop. Dan jadilah nobar sederhana namun sangat berkesan saat itu. Apalagi ditambah dengan sajian teh dan indomie goreng pedas yang dibikin Sabiq. Makasih ya temen-temen. Pertandingan seru yang didukung antara dua kutub diantara kami berakhir dengan kemenangan tim kami yang pendukung Madrid. Dan akhirnya Hasbi haru rela diinjak kepalanya oleh Fauzan lalu difoto sebagaimana kesepakatan sebelumnya. Moment yang indah dan memorible. Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun