Dua hari setelah silaturahmi pak haji, bapakku tiba-tiba memanggilku seusai salat subuh berjamaah di rumah. Aku pun bertanya dalam hati ada apa gerangan, tak biasa-biasanya bapak begitu. Mesti ada hal penting yang ingin disampaikan kepadaku. Sebab, biasanya sehabis jamaah subuh bapak melanjutkan wiridan dan kadang mengaji Aqur’an yang kemudian diakhiri dengan menyeruput segelas kopi dan sebatang rokoknya di dapur sambil menemani ibuku memasak. Aku pun hanya bisa berharap keputusan terbaik yang akan diberikan bapak kepadaku soal pendidikanku selepas MTs. Sebab, jika akhirnya tetap kepada pendirian bapak semula, aku harus melanjutkan ke pesantren, secara pribadi aku pun tidak masalah. kerena memang aku sudah terbiasa hidup di pesantren ditambah juga sebenarnya di hati kecilku saat itu aku juga masih punya keinginan melanjutkan ke pesantren karena sejak kecil keluarga kami sudah biasa bercerita soal indahnya hidup dan belajar di pendidikan nonformal ini.
Untuk sekedar diketahui, aku sudah hidup di pesantren sebelah rumahku sejak berumar 12 tahun. Karena itulah keinginanku untuk lebih mendalami ilmu-ilmu agama di pesantren selepas menuntaskan studi di MTs sangat besar dan menggebu. Apalagi aku tahu, beberapa senior dan teman-teman mainku ada yang sudah mesantren sejak lulus SD. Indah rasanya bisa makan nasi liwet bersama, pulang saat idul fitri dan kembali lagi ke kota naik bus dengan diantar orang tua dan dapat kiriman duit setiap habis panen di sawah. Itulah bayangaku saat itu. Namun demikian, jika bapakku ternyata bisa dilobi dan aku bisa melanjutkan studi di Aliyah atau SMA sebagaimana saran pak kepala sekolahku, tentu aku juga siap dan senang. sebab, aku bisa mewujudkan harapan untuk bisa hidup dalam komunitas yang lebih ‘bebas’ dan plural sehingga kami bisa lebih leluasa bergaul dengan masyarakat dan belajar soal hidup bermasyarakat secara hakiki.
Selain itu juga, aku bisa menikmati cakrawala dunia anak muda yang sesuai dengan zaman pada umumnya. Sebab selama ini, ketika di MTs kami hampir termasuk ‘komunitas tertutup’, dalam artian aktivitas kami mulai dari belajar yang padat dan kami hanya bisa bergaul dengan teman-teman di kampung saja. Aku sekolah di MI dan MTs yang sama lokasinya karena berada di satu yayasan. Kegitanku pun monoton, sehabis sekolah di MTs, sore harinya lanjut mengaji di pesantren sebelah rumah sampai malam, dan bahkan aku tidur di sana. Dan pagi harinya selepas mengaji Alqur’an kepada Gus Dori dan Kang Mustakim aku kembali ke rumah untuk sarapan sebentar dan berangkat ke sekolah lagi. Demikian seterusnya sejak aku kelas lima Madrasah Ibtidaiyah.
Jika akhirnya aku bisa melanjutkan studike MAPK demikian kami menyebutnya saat itu sebagaimana harapan pak haji, prestasiku yang lumayan membanggakan itu akan bisa bermanfaat karena bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang studi lanjutan yang 'bergengsi'. Itulah salah satu tujuan dan spirit dari pak haji yang menginginkan aku melanjutkan studi ke MAPK Jember agar potensiku bisa berkembang, nama sekolahku juga bisa terangkat karena ada anak didiknya mulai melanjutkan studi ke sekolah yang bergengsi meskipun lulusan sekolah MTs yang lokasinya di desa. Selain tentu langkahku ini diharapkan bisa menjadi contoh dan motivasi adik-adik kelas untuk mengikuti jejakku jika aku pada akhirnya berhasil lolos dalam seleksi masuk di MAPK Jember. Apa yang dilakukan pak haji itu menurutku sangat baik dan cemerlang dengan niat dan tujuan di atas. Aku tahu peran ini dilakukan pak haji kerena memang itulah yang harus dilakukan seorang tokoh masyarakat, memberikan bimbingan dan arahan kepada masyarakatnya akan tanggungjawab sosial sebagai tokoh dan guru.
Karena memang baru angkatanku lah yang lulusannya mulai menyebar ke sekolah tingkat atas yang keluar dari kabupaten dan tersebar di beberapa SMA diJawa Timur. aku kebetulan angkatan ketiga di MTs NI Bades. Sementara angkatan pertama dan kedua, rata-rata lulusannya banyak yang berhenti, dan kalaupun ada yang melanjutkan hanya di sekitaran kecamatan pasirian yang memang sudah ada SMA atau Kabupaten Lumajang saja yang sudah terdapat beberapa sekolah unggulan baik SMA ataupun Aliyah. Kalau pun ada yang melanjutkan ke sekolah agak jauh, seperti ke Probolinggo rata-rata banyak yang drop out karena mereka melanjutkan studi di bidang yang teknis seperti SMEA atau SMK.
Untuk berbagi saja, MTs tempatku sekolah adalahsebuah sekolah swasta yang berada di bawah naungan lembaga Maarif NU. sekolah ini didirikan oleh para sesepuh kampung kami dengan niat mengajari masyarakatnya untuk melek buta huruf. Dengan usaha keras para dewan guru dan siswanya yang terus berprestasi di kancah kabupaten, kini MTS NI yang dulunya hanya 3 lokal dan numpang di MI Nurul Islam, sekolahan saya tingkat dasar yang berada di kampung ini juga, sekarang sudah memiliki belasan lokal dengan bangunan gedung yang tidak kalah megah dengan sekolah negeri di kecamatan Pasirian. Perkembangan pembangunan sekolah saya ini karena baru mendapat bantuan dana untuk pembangunan sekolah dan perlengkapannya dari Bank Dunia.
Bahkan saya melihat sendiri, dibawah kepemimpinan Pak Haji Imron, yayasan yang menaungi beberapa sekolah ini, kini sudah memiliki Aliyah dan sedang merencanakan berdirinya sebuah perguruan tinggi. Semoga Allah memudahkan semua usaha para dewan guru saya itu. Dan mencatat semua amal dan perjuangan mereka sebagai amal baik dan amal jariyah serta tersebarnya ilmu yang bermanfaat sehingga bisa menjadi bekal mereka di akherat kelak. Amin. Dan aku pun langsung menemui bapak di dapur yang sedang menunggui ibuku memasak untuk para pekerja sawahku yang sedang memulai musim tanam padi. Kami menyebutnya dengan musim tandur. Dan kami pun duduk bertiga di dapur saat itu, karena adikku Muhammad baru bangun dari tidurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H