Setelah proses pemeriksaan kami lalui, sebab di Aljazair pemeriksaan penumpang menuju pesawat masih sangat manual. Padahal di pintu masuk pertama setelah pemeriksaan paspor juga sudah melewati exray. Bahkan tas yang kita bawa pun dibuka dan digeledah selain mengeledah tubuh seperti tahanan. Maklum, ini semua karena dibawah tahun 1990 an, aljazair masih negera rawan karena terorisme, konflik intern antar kelompok dan konflik politik yang berkepanjangan. Dan di Algeria juga ada larangan membawa uang keluar melebihi batas sekitar 50 juta. inilah yang membuat pemeriksaan menjadi ketat sekali.
saya kebetulan dapat kursi dekat jendela. Ini karena saya selalu suka duduk di dekat cendela karena bisa menghilangkan penat saat perjalanan jauh karena bisa melihat indahnya ciptaan tuhan. Dengan di dekat cendela aku juga bisa menikmati berbagai sajian lukisan Allah berupa hamparan langit dan awan yang beraneka ragam. Bahkan kadang awan-awan itu seperti mengajak komunikasi karena berbentuk berbagai ragam binatang atau bahkan lafad Allah dan Muhammad. Alhamdulillah.
Tak lama kemudian, seperti layaknya anak muda yang masih semangat, aku pun berharap teman dudukku itu cewek dari Aljazair atau Maroko yang terkenal cantik dan putih. hehe. Selain bisa kenalan dan membunuh waktu selama perjalanan juga bisa memperlancar bahasa darjah dan praktik bahasa perancis saya yang baru mulai belajar. Namun Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hambanya, mungkin agar niat rihlah ziyaroh kami tak ternodai, kami dikasih seorang anak muda muslim dari Mali.
Sementara, cewek yang aku harapkan itu pas ada di belakang saya bersama dengan penumpang lain. Capek deh, gumamku yang gagal sementara, hehe. Kami mulailah kenalan dan saling sapa. Karena kesamaan agama, kami langsung bisa akrab dan saling bantu mengangkat tas dan mengambilkan jatah makanan selama di pesawat. Sampai akhirnya kami menjadi seolah kawan lama yang akrab meski dengan bahasa ingris ala kadarnya karena dia hanya bicara bahasa perancis dan bahasa lokal Mali, tak bisa arab dan hanya bicara bahasa ingris ala kadarnya.
Kami pun bersama sampai Casablanca karena dia pun turun di sana dan akan melanjutkan perjalannya ke kota Fez yang terkenal sebagai kota ilmu di Maroko. Dia akan menemui saudaranya yang sedang belajar di Kota Fez karena saat ini Mali lagi baru saja mengalami kudeta dan kisruh. Kami pun bersama sampai di bandara dan bersama pula mencari kerete menuju rabat sebelum berpisah di menuju Fez. Sebelum perpisahan, dia menghadiahi aku sebuah kacamata khasnya warna hitam kepada saya sebagai cinderamata persahabatan sambil memberi nomor telponnya.
Bienvenue Rabat
Sesampai di Rabat, aku dijemput sahabatku yang juga menjadi sekretaris dubes Maroko Mas Amal. Kami minum kopi dan creps banan sebelum kami meninggalkan stasiun menuju wisma duta. Untuk Casablanka rabat jika ditempuh dengan mobil dan tak macet sekitar 1 jam setengah atau lebih sedikit. Namun, jika ditempuh dengan kereta, ya sekitar 2 jam karena harus transit di ain syam. Sampai akhirnya, tepat pukul 11 kami tiba di wisma duta dan aku di beri tempat istirahat di samping ruang utama pak dubes Tosari di lantai 2. Alhamdulillah, pertemanan kami dan persahabatan kami selama jadi wartawan detik dulu masih dihargai. hehehe.
Oh ya, sebelum kami tiba di wisma duta, Mas Amal mengajak kami jalan-jalan sebentar keliling kota menikmati malam di kota Rabat. Kami pun menikmati suasana malam di sekitar stasiun yang kebetulan berdekatan dengan kantor parlemen Maroko. Sehabis itu, kami melintasi jalan soekarno, masjid dan makam sultan Hasan yang megah dan ramai serta berfoto-foto sebentar di daerah tersebut. Kami susuri jalanan yang banyak tumbuh tembok besar yang konon jaman itu menjadi benteng sampai akhirnya kami tiba di wisma duta.
Malam itu kami langsung makan malam pakai nasi karena seharian kurang cespleng rasanya perut ini jika tak diisi nasi. Kami makan layaknya keluarga lama dan santai sekali sampai akhirnya kami istirahat karena esoknya aku harus melanjutkan perjalanan menuju marrakesh, kota wisata dan sekaligus di sanalah syeh Sulaiman Jazuli di makamkan. Pagi hari aku sudah bangun. Kebetulan hari itu hari jumat. Dan sebelum ke Marakesh, aku harus mampir ke KBRI Rabat untuk salat jumat dan menikmati tradisi kumpul-kumpul dengan makan bersama seusai salat jumat dengan WNI di Maroko. "Jadi kalau pas anda sedang di Maroko dan ingin makan nasi, salat jumat lah di KBRI Rabat. Dijamin anda puas dan kenyang," kata seorang staf di sana.
Pagi itu, Pak dubes Tosari sudah siap di meja makan dan menunggu saya yang agak telat bangun. Kami bertiga pun akhirnya menikmati suguhan nasi goreng khas Indonesia di Maroko bersama pak dubes yang dilanjutkan keliling wisma dan ruangan-ruangan yang dipenuhi oleh lukisan bu Makhsusoh, allahummagfir laha... Kekaguman mulai muncul saat pak dubes bercerita bahwa semua lukisan itu adalah karya istri tercintanya. Apalagi memang hasil goresan tangannya sudah menunjukkan tulisan seoarang pelukis sejati.
"Ini diminta menteri ini, ini diminta pak itu, dan seterusnya," Pak Dubes Tosari menceritakan karya istrinya yang banyak diminati oleh para pejabat negeri kita sampai pejabat negeri Maroko, termasuk istrinya PM Maroko yang memang menjadi teman dekatnya Bu Makhsusoh. Sampai akhirnya kami terhenti dengan lukisan kaligrafi yang bertuliskan sangat menyentuh dan penuh dengan makna dan pesan moral bagi yang sudah berumur senja dan mulai sakit-sakitan. Kami pun terdiam, dan Pak Tosari juga terdiam sesaat sambil pandangannya menghilang seolah mengingat kebersamaan dengan istrinya. Lalu dia berkata .... (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H