Mohon tunggu...
Hartono Rakiman
Hartono Rakiman Mohon Tunggu... Konsultan - Freelance consultant pada bidang pemberdayaan masyarakat, komunikasi, dan advokasi

Menjaga keseimbangan hidup antara bekerja, keluarga, sosial dan spiritual. Travel writer: "Mabuk Dolar di Kapal Pesiar."

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Uber Dan Grab Taksi: Kanibalisme Era Online

22 Maret 2016   09:12 Diperbarui: 22 Maret 2016   11:56 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Salah satu taksi yang ikut demo hari ini, 22 Maret 2016, di Jakarta"][/caption]Hari ini, 22 Maret 2016, adalah kali kedua kelompok taksi resmi melakukan unjuk rasa menentang maraknya taksi online yang sudah mulai menyerbu Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Grup taksi terbesar di Jakarta, seperti Blue Bird dan Express menjadi grup taksi yang paling mendapat pukulan terbesar dari maraknya taksi online. Mereka menyebut sebagai tindakan tidak adil yang diberikan oleh pemerintah terhadap taksi resmi. Mereka mengibaratkan sebagai juara tinju yang diikat dan dipukuli beramai-ramai hingga babak belur, dan tak sanggup melawan. Ini sungguih permainan yang itdak adil. Taksi resmi harus mengantongi sederet perijinan, membayar pajak, tarif yang diatur dan segala macam beban yang harus dibayar. Berbeda dengan taksi online yang tak berijin, tak membayar pajak, dan memasang tarif seenak jidat.

Pertarungan ini sungguh tidak adil. Pemerintah sedikit beringsut dengan memberikan peluang kepada kelompok taksi online dengan bergabung menjadi anggota koperasi. Sehingga keluhan taksi resmi soal badan hukum yang semula dianggap ilegal, sekarang sudah punya badan hukum, yakni dalam bentuk koperasi. Sebuah jalan keluar yang mungkin membuat para pendirinya yang sekolah di Harvard business school tertawa terpingkal-pingkal.

Kelompok taksi resmi tetap tidak terima. Karena keberadaan mereka sungguh menggerus periuk nasi para sopir taksi dan seluruh bersendian bisnis taksi resmi.

Demo semacam ini tampaknya kurang mendapat dukungan masyarakat luas, yang notabene diuntungkan dengan keberadaan taksi online ini. Rumus paling sederhana di kepala para konsumen adalah: mudah dan murah. Dan rumus itu ada di taksi online. Taksi resmi jelas tak akan sanggup melawan, karena beban aturan, perijinan dan tarif yang sudah dipatok pemerintah.

Pertarungan ini jelas tidak adil.

Sebagai penontin dan sekaligus pengguna, kita patut memahami duduk persoalannya dari kacamata global, karena era online memang sudah menjadi anak jaman dari globalisasi itu sendiri.

Siapa dan bagaimana sepak terjang Uber dan Grab taksi di dunia? Mari kita tengok sedikit informasi yang bersumber dari Wikipedia. Ubr taksi berada di bawah perusahaan Uber Technology Inc, yang berkantor pusat di San Fransisco, California. Berdiri sejak 2009, menjangkau 58 negara, dan merambah di 300 kota di dunia. Pada awal tahun 2015 Uber sudah meraup dana USD 62.5 milar.  Sementara itu, Grab taksi bermarkas di Malaysia sejak 2011. Grab taksi menguasai pasar di Asia Tenggara, dan berhasil memiliki mitra sebanyak 75.000 taksi dan menjangkau 3,5 juta pengguna. Total dana yang dihimpun hingga awal 2015 mencapai USD 340 juta.

Sesungguhnya, pertarungan yang tidak adil semacam ini sudah berlangsung sejal lama. Pertarungan yang berulang. Ini adalah gambaran kabinalisme ekonomi yang tak terbendung. Dalam jagad transportasi, kita mengenal gerobak sapi, andong atau dokar. Alat transportasi bertenaga hewan itu kemudian digulung jaman dengan munculnya alat transportasi bermesin, beroda dua dan beroda empat. Beberapa gelintir manusia masih mencoba bertahan dengan gempuran jaman dengan menajdi penarik becak.  Jakarta kemudian melarang becak beroperasi pada dasawarsa 1980-an. Protes para pengemudi becak, berikut anak istri di belakang mereka tak digubris. Becak resmi dilarang demi sebuah modernisasi.

Kanibalisme ekonomi berulang. Tak hanya menyerang dunia transportasi, tapi juga bisnis yang lain. Dunia cetak buku  diserbu dengan e-book dan digitalisasi informasi. Toko-toko resmi yang membutuhkan gedung dengan segala biaya dan perijinan, digelung bisnis online, macam Tokobagus, Bukalapak, atau Tokopedia.

Dunia terus berputar. Sebagian mengatakan ada ketidakadilan di sini.

Di mana peran pemerintah dalam mengatur regulasi dan menjadi penjaga gawang keadilan bagi seluruh warganya? Sudah sampaikah kita pada sebuah masa di mana seluruh periuk nasi kita diserobot oleh bangsa lain dengan dalih aplikasi online? Mereka berada di luar sana, mendapatkan jutaan dolar pendapatan, dan kita ribut sendiri memperbeutkan periuk nasi yang mulai goyang. Kanibalisme telah menjadi tontonan orang luar, dan kita justru saling bunuh dan cakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun