"Silahkan...", ucap kakek tua itu singkat.
Tanpa menunggu lagi, aku segera "memuntahkan" tenaga baru yang dihasilkan dari "tungku-tungku" ini. Kuarahkan pada kedua telapak kakiku. Dengan sekali sentakan, aku langsung melompat tinggi.
HEAAH!!!
Aku langsung melenting tinggi. Rasanya tak percaya saat kulihat tubuh kakek tua dan Aji yang menjadi semakin kecil. Aku yang baru pertama kali merasakan hal ini menjadi sangat gembira. Namun disinilah bahayanya.
Aku belum bisa mengontrol tenagaku!
Ditengah kekhawatiranku, tiba-tiba aku melihat sekelebatan bayangan dari bawah menuju ke arahku dengan cepat. Hanya dalam hitungan detik pundak kananku sudah dipegang. Saat aku melihat, ternyata kakek tua itu yang menyusulku. Tangannya yang menyentuh pundakku terasa mengalirkan seberkas hawa hangat yang kemudian melingkupi seluruh tubuhku. Dengan dipandu oleh kakek tua itu, aku turun dengan cepat mengikutinya. Kami berdua menjejakkan kaki secara hampir bersamaan. Keringat dinginku mengucur.
"Itu sudah pencapaian yang bagus sekali!", ucap kakek tua itu dengan perasaan senang.
Tiba-tiba aku mendengar suara tepuk tangan.
"Hebat! Hebat sekali kau tua bangka! Sudah tua bau tanah begini masih punya simpanan murid yang hebat! Tidak sia-sia aku datang jauh-jauh kemari untuk menyambangimu tua bangka! Hahaha...", ucap laki-laki besar yang kuperkirakan usianya sekitar lima puluh atau enam puluh tahunan dengan sangat lantang. Tapi dari caranya memanggil kakek tua itu nampak begitu akrab dan kakek tua itu tidak tersinggung dipanggil "tua bangka".
"Hai anak muda! Dari caramu melompat barusan aku melihat jenis tenaga yang berbeda pada dirimu. Tapi tenagamu belum stabil. Si tau bangka bau tanah ini nampaknya belum mengajarkan apa-apa kepadamu ya?", tanya laki-laki bertubuh besar itu kepadaku.
Aku tidak berani menjawab. Aku kembali melihat kedua mata kakek tua itu untuk meminta izin. Dijawab singkat dengan anggukan kakek tua itu kepadaku.