Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 23

21 Maret 2017   18:48 Diperbarui: 21 Maret 2017   18:56 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RAJA SAMPUN

Aku duduk di samping kolam. Meski pakaianku basah kuyup namun aku merasa senang. Apa yang kudapat dari ayah kini benar-benar dapat kupraktekkan tanpa ragu dan tanpa rasa segan. Aku merasa sangat nyaman dengan padepokan ini. Selain karena orang-orangnya sangat ramah, perilaku anak muda disini sangatlah sopan. Aku menoleh ke samping kanan, kulihat Darmo juga sedang duduk disamping kolam. Sementara aku melihat Aji sedang berjalan membawa pakaian ganti dan handuk buatku. Pemuda itu baik sekali. Ia sangat ramah dan melayaniku dengan sepenuh hati. Ada satu kalimat Aji yang sangat kusuka dan membuatku tergetar.

"Kisanak, belajar ilmu silat itu pada dasarnya belajar untuk berubah menjadi lebih baik. Ilmu mengenai perubahan. Demikianlah Guru mengajari kami. Pada awal mulanya kami tidak bisa apa-apa, lalu guru mengajari kami sehingga menjadi bisa. Pada awal mulanya kami sangat lemah, lalu guru mengajari kami sehingga menjadi kuat. Pada awal mulanya kami tidak mengerti banyak hal, lalu guru mengajari kami sehingga mengetahui banyak hal. Kemudian kami dibimbing untuk memahami  semua pengetahuan ini dan menggunakannya untuk jalan kebaikan. Demikianlah Guru mengajari kami.".

Demikian ucapan Aji yang masih terngiang dalam ingatanku. Kurang lebih sama seperti yang sering kudengar dari ayah.

"Nak, belajar silat, belajar bijaksana. Sebab diatas ilmu, ada kebijaksanaan."

"Kisanak, silahkan ganti pakaiannya dengan yang ini. Semoga ukurannya cukup.", ucap Aji sambil menyerahkan pakaian ganti kepadaku sekaligus membuyarkan lamunanku.

"Terima kasih...", jawabku singkat.

Aku bergegas bangun dan menerima satu stel pakaian berwarna coklat dari tangan Aji.

"Silahkan Kisanak ganti pakaian disebelah sana", pinta Aji sambil membungkuk dengan salah satu tangannya mengarahkan pada suatu ruangan.

Aku menganggukkan kepala dan berjalan menuju tempat yang diminta oleh Aji.

Kurang lebih sepeminuman teh, aku sudah kembali lagi di tempat samping kolam. Aji dan Darmo kulihat sedang berbicara satu sama lain.

Pakaian coklat berlengan pendek ini terbuat dari kain yang kuat, sebagian dijahit dengan dilapisi kulit hewan. Rasanya hangat ketika memakainya. Celana yang kupakai terbuat dari bahan yang sama. Panjangnya sampai ke lutut dan cukup longgar. Jika dipakai untuk berjalan rasanya sangat nyaman. Tidak ada logo apa-apa sebagaimana kebanyakan perguruan beladiri. Aku merasa seperti orang yang lain ketika memakai pakaian ini. Entah kenapa rasanya semangatku menjadi membara.

"Pakaian ini nyaman sekali..", ucapku kepada Aji.

Aku menoleh dan kemudian tersenyum. Ia lalu menepuk-nepuk pundak Darmo sebelum berdiri. Setelah itu, Aji berdiri di depanku.

"Mari, aku antar Kisanak ke belakang pendopo menemui Guru", jawab Aji singkat.

Aku mengangguk setuju. Kami lalu berjalan beriringan. Tidak lama kami berjalan, sebuah pintu gerbang kecil terlihat didepan kami. Ada dua buah pohon setinggi orang dewasa disamping kanan dan kirinya. Untuk memecah kesunyian, aku beranikan diri bertanya sesuatu kepada Aji.

"Aji, apakah Aji pernah mendengar ilmu Raja Sampun?", tanyaku pada Aji.

Aji mendadak menghentikan langkahnya. Akupun menghentikan langkahku. Tanpa menjawab apa-apa, Aji kemudian berjalan menuju salah satu pohon yang berada di samping kanan pintu gerbang kecil. Ia melihat sekitar pohon lalu membungkuk dan mengambil salah satu ranting yang ada disana. Setelah itu ia berjalan mendekatiku.

"Aku pernah mendengar ilmu itu dari Guru", jawab Aji singkat.

"Apakah kau menguasainya?", lanjutku bertanya kepada Aji.

"Yang bertanya tidak lebih tahu dari yang ditanyakan...", jawab Aji sambil tersenyum.

Akupun ikut tersenyum. Rasanya malu juga mendengar jawaban dari Aji barusan. Memang sejujurnya aku pernah mendengar selentingan mengenai ilmu itu. Ilmu yang disebut dengan Raja Sampun atau Pangeran Sampun, konon merupakan sejenis ilmu tingkat tinggi yang sudah sangat langka dan tiada duanya. Siapapun yang menguasai ilmu itu akan menjadi tanpa tanding di kolong langit. Ilmu itu konon diambil dari cerita dahulu kala bahwa ada seorang penasehat raja yang selalu diperintah oleh rajanya untuk melakukan dan mewujudkan sesuatu. Dan dalam hitungan detik, penasehat raja ini dapat mewujudkannya. Jadi, misalnya rajanya ingin sebuah pedang yang bagus maka raja meminta kepada penasehat ini untuk membuatkan pedang itu. Penasehat ini kemudian memejamkan mata sebentar, lalu berkata kepada raja "Sampun raja...". Dan pedang itu terbentuklah. Demikian juga ketika sang raja misalnya ingin membuat sebuah taman yang indah, maka raja meminta kepada penasehat ini untuk membuatkan taman tersebut. Penasehat kemudian memejamkan mata sebenar, lalu berkata kepada raja "Sampun raja...". Dan taman yang indah itu terbentuklah.

Disini, tidak ada sesuatu yang aku sembunyikan. 

"Kisanak, ditanganku ini ada sepotong ranting. Aku minta Kisanak mematahkannya...", pinta Aji sambil menyerahkan ranting kepadaku.

Aku menerima ranting itu dari Aji. Lalu aku ikuti keingingan Aji. Segera saja kupatahkan ranting kecil itu dengan kedua tanganku dengan mudah.

"Coba Kisanak sambungkan lagi ranting yang sudah patah tersebut?", ucap Aji sambil menatap serius kepadaku.

Aku tidak punya pilihan lain. Terpaksa harus kutunjukkan sedikit ilmu yang kudapat dari ayah ini didepan Aji. Meskipun sebenarnya aku tidak menguasai benar jenis ilmu ini, dan ayah hanya menurunkan sedikit. Namun aku memahami benar keseluruhan proses dan teori yang ada pada jenis ilmu ini.

Ujung kedua ranting yang kupatahkan tadi kusatukan, kudekatkan, lalu kupegang dengan cara digenggam menggunakan tangan kanan ditempat dimana patahan itu terjadi. Aku memejamkan mata. Memusatkan semua niat, imajinasi, energi, dan rasa pada lokasi ranting yang patah. Perlahan aku merasakan ada ratusan bahkan ribuan serabut energi keluar dari genggaman tangan kananku secara lembut dan kemudian ‘menyentuh’ kedua ujung ranting yang patah tersebut. Sungguh, jika kukerahkan tenaga jenis ini rasanya sangat menyiksa karena besarnya tenaga yang harus kukeluarkan. Urat-uratku serasa disayat-sayat. Seringkali tidak sampai selesai. Rasanya seperti tertahan dan tertolak. Ada suatu bagian yang belum bisa kupecahkan bagaimana cara menyelesaikan secara utuh. Keringatku sudah membanjir luar biasa.

Aku memberikan kembali ranting yang tadi sudah kupatahkan itu kepada Aji. Ujung ranting itu kini sudah menempel, namun tidak sempurna. Masih rapuh, meskipun terlihat benar patahannya itu sudah tersambung.

"Hanya ini usaha terbaikku...", ucapku kepada Aji.

Aji lalu menerima ranting tersebut kembali lalu mengamatinya.

"Luar biasa Kisanak... Untuk ukuran orang luar perguruan, apa yang Kisanak lakukan benar-benar sudah luar biasa. Ini belum pernah aku lihat sepanjang pengalamanku berinteraksi dengan orang-orang diluar padepokan ini.", jawab Aji memujiku.

"Tapi aku tidak mampu menyambungnya secara utuh. Rasanya ada bagian tertentu yang belum kulakukan. Ada semacam tahap-tahap tertentu yang belum bisa kutembusi agar semuanya bisa kembali seperti normal.", lanjutku.

"Tidak apa-apa Kisanak. Biar nanti Guru saja yang menjelaskan secara lebih rinci. Kisanak dapat bertanya apapun kepada Guru nanti. Biarlah ranting ini sebagai kenang-kenangan kita saja...", ucap Aji sambil tersenyum. Ia lalu memberikan kembali ranting itu kepadaku.

Aku menerima kembali ranting tersebut.

"Mari Kisanak, kita teruskan perjalanan menuju pendopo belakang..", jawab Aji mempersilahkan.

"Mari...", jawabku singkat.

Aku mengikuti Aji kembali dan berjalan dibelakang. Tanpa sengaja mataku melihat sambungan ranting yang diberikan oleh Aji. Aku sangat terkejut. Sambungannya kini sudah kembali normal dan menyambung sangat rapih sehingga ranting yang tadi sempat kupatahkan itu benar-benar tidak terlihat bekas dipatahkan!

"Sejak kapan Aji mengerahkan ilmu Raja Sampun ke ranting ini? Aku tidak melihat ia mengerahkan tenaga sama sekali...", batinku.

Meski terkejut, namun aku merasa sangat senang. Untuk sekelas Aji saja bisa melakukan sehalus itu apalagi nanti gurunya. Tak terasa adrenalinku meningkat ketika kakiku melangkah melewati gerbang dan memasuki ruangan pendopo belakang.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun