Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 14

4 Agustus 2016   17:17 Diperbarui: 4 Agustus 2016   17:24 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SOSRO BIROWO YANG MENYATUKAN

Sore ini aku dan ayah sedang bersantai disamping sungai kecil yang jernih airnya. Sungai ini cukup panjang dan berkelok. Pandanganku tidak dapat melihat ujung sungainya.

Aku duduk disamping ayah dengan kaki kami masuk ke dalam aliran sungai setinggi betis lebih sedikit. Rasanya sangat segar di kulit. Sesekali aku memainkan ujung jariku untuk membentuk gelombang-gelombang riak air didekat kakiku. Seskali pula kulihat ikan-ikan berenang melintasi telapak kakiku.

"Ayah, apakah ayah pernah kalah?", tanyaku sambil mengarahkan pandanganku ke wajah ayah disampingku.

Aku melihat ayah mengangguk. Namun pandangan matanya tetap menatap air sungai didepan. Kulihat ayah tersenyum.

"Kamu ingat saat dulu kita di sebuah gubuk di tengah sawah dan kemudian ada seorang laki-laki yang tiba-tiba datang menantang ayah?", ucap ayah tanpa memalingkan wajahnya ke arahku.

"Aa masih ingat Yah. Kalau tidak salah lelaki bernama Bawono yang ayah kalahkan itu.", jawabku dengan yakin.

Ayah kemudian menengok ke arahku.

"Benar nak. Dulu, sudah banyak sekali pertarungan hidup dan mati ayah lalui. Entah sudah tidak terhitung.

Dari kesemua pertarungan itu perlahan membentuk rasa bangga akan keilmuan yang ayah miliki. Karena ayah selalu menang.", jawab ayah.

Aku menggeser posisi tubuhku yang kini sudah menghadap ayah sepenuhnya.

"Hingga kemudian... ayah dikalahkan oleh seorang anak muda sepantaran ayah saat itu. Dia bernama Danang, putra dari seorang mpu dari perguruan Awan. Perguruan itu sudah lama ayah dengar ketangguhannya.

Danang, adalah salah satu pewaris yang berbakat dari perguruan Awan. Demikianlah yang ayah dengar pada saat itu dari salah satu teman ayah.", lanjut ayah.

"Apakah ayah kemudian sempat bertarung dengan Danang?", tanyaku penasaran.

Ayah mengangguk sambil tersenyum.

"Ya... dan ayah dikalahkan dengan telak...", jawab ayah singkat.

Aku mengerenyitkan dahi.

"Kok bisa yah? Bukankah ayah sudah banyak menguasai ilmu-ilmu pamungkas?", tanyaku semakin penasaran.

"Memang benar nak. Namun ada hal-hal yang ayah belum lengkapi pemahamannya...", jawab ayah.

Aku masih belum bisa memahami maksud ayah.

"Apakah kamu ingin mendengar ceritanya?", tanya ayah.

Aku mengangguk dengan bersemangat. Kisah-kisah, bagiku adalah sebuah pelajaran berharga. Aku memang belum bisa mencapai tahap yang dimaksudkan oleh ayah, namun aku bisa belajar dari kisah-kisah untuk mendapatkan hikmah. Menurut ayah, hikmah itu berserakan dimana-mana, maka tugas kitalah untuk mengumpulkannya. Hikmah bisa saja hadir dalam bentuk kisah, dalam bentuk kejadian, dalam bentuk mimpi, dalam bentuk pengalaman, dan dalam bentuk yang lain. Aku jadi teringat ucapan ayah agar hendaknya aku banyak-banyak mendengar kisah-kisah terutama mereka-mereka yang memiliki keutamaan, sebab hal itu termasuk dari kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan da kenikmatan bagi jiwa.

 

***

 

BHLAAR!

Benturan kedua tangan kami menimbulkan bunyi yang cukup memekakkan telinga.

"Tidak percuma kau menyandang pewaris keilmuan Perguruan Awan. Tenagamu lumayan besar juga", ucapku dengan bersemangat.

Lelaki muda didepanku tidak menyahut, namun ia justru menggeser kakinya ke belakang dengan kedua tangannya ditarik kesamping pinggang.

"Jangan lengah, aku akan mengeluarkan Sosro Birowo!", ucap laki-laki muda itu.

"Kau kira hanya kau saja yang menguasai Sosro Birowo! Aku juga menguasainya...", jawabku dengan penuh semangat. Kedua mataku memandang tajam sosok laki-laki muda didepanku ini.

Usia kami tidak terpaut terlalu jauh, dan saat ini kami masih saling mengukur kemampuan masing-masing.

Laki-laki muda itu kemudian menarik tangannya dan kembali berdiri santai.

"Baiklah kalau begitu. Akan kulihat sejauh mana penguasaanmu terhadap ilmu Sosro Birowo...", ucap laki-laki itu dengan santai.

"Keluarkan seluruh kemampuanmu...", jawabku dengan penuh percaya diri.

Sosro Birowo, sesungguhnya merupakan jenis keilmuan yang umum dimiliki oleh perguruan-perguruan di Tanah Jawa. Memiliki kekhasan dalam bentuk serangan puncak menggunakan sisi telapak tangan. Memerlukan tingkat konsentrasi yang tinggi dalam penyatuan fokus dan tenaga pada bagian tersebut. Terdiri dari dua bagian yakni Bab Tenaga dan Bab Jurus. Bab Tenaga harus dikuasai terlebih dahulu oleh siapapun yang melatihnya barulah kemudian belajar Bab Jurus yakni suatu rangkaian gerak yang dilandasi dengan tenaga Sosro Birowo.

Aku segera melangkah cepat ke arah pemuda itu sambil mengeluarkan rangkaian gerak Sosro Birowo. Pemuda itu kemudian melakukan hal yang sama.

Pemuda itu melepaskan serangan berupa dorongan telapak tangan terbuka dengan kaki kanan melangkah jauh, sementara aku melakukan hal yang sama. Kedua telapak tangan kami berbenturan dengan keras.

Tubuhku terdorong satu meter ke belakang sementara pemuda itu tetap tegak ditempatnya. Aku sangat terkejut. Telapak tanganku terasa agak nyeri. Meskipun belum sampai menggangguku namun benturan itu benar-benar membuatku menjadi lebih waspada.

Pemuda itu tersenyum ringan. Aku menjadi sedikit sebal dengannya. Nampaknya ia sangat meremehkanku.

"Mari kita lanjutkan...", ucap pemuda itu dengan tenang.

Ia kemudian terlihat menarik kaki kanannya kebelakang, lalu mengangkat lutut kirinya depan dada sambil memutar pergelangan telapak tangan kanannya samping pinggang. Aku paham, ia sedang mengerahkan gerakan kedua dari Bab Jurus pada Sosro Birowo. Aku segera melakukan hal yang sama, kali ini kukerahkan tujuh bagian tenaga. Gerakan kedua ini akan membagi tenaga menjadi dua bagian. Satu bagian dipergunakan untuk menyerang, dan satu bagian dipergunakan untuk bertahan. Namun tenaga yang dipergunakan untuk bertahan ini apabila terdapat peluang untuk menyerang lanjutan maka bisa diarahkan untuk menjadi serangan beruntun. Kemampuan membagi dua bagian tenaga ini memang tidak mudah untuk dilatih. Dulu aku baru berhasil melatih gerakan kedua ini setelah setahun penuh.

"Bersiaplah...!", ucapku dengan serius sambil membentuk posisi gerakan yang sama.

Dengan cepat aku langsung melangkahkan kaki kiri disusul kaki kanan sambil tangan kanan kudorongkan kedepan. Pemuda itu melakukan hal yang sama.

BHLAAR!

Kedua telapak tangan kanan kami kembali berbenturan. Secepat benturan itu terjadi, kususul dengan melepaskan tenaga kedua berupa tenaga sebesar tujuh bagian.

BHLAAAAR!

Benturan kedua nampak lebih keras dari yang pertama. Tubuhku terpental mundur sejauh satu setengah meter. Lebih jauh dari yang pertama. Lengan kananku berasa sedikit kebas dan bergetar.

"Tidak mungkin pemuda itu memiliki tenaga Sosro Birowo lebih besar dari milikku...", gumamku dalam hati.

Kenyataannya pemuda itu masih terlihat tenang. Dan ia nampak biasa-biasa saja. Aku melihat ia kembali menarik tangannya dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Keyakinanku mulai turun. Apakah aku bisa mengalahkan pemuda ini?

"Apakah Bab Jurus sudah kau kuasai? Kalau sudah, mari kita lanjutkan pada jurus ketiga...", ucap pemuda itu datar.

Jurus ketiga dari Bab Jurus pada keilmuan Sosro Birowo berisi gerakan yang mulai menggunakan sisi telapak tangan sebagai serangan. Pemusatan tenaga dan hasil kerusakannya lebih besar dibandingkan jurus pertama dan kedua. Jurus ini menggunakan gerakan seperti "menebang" pohon dengan ayunan sisi telapak tangan secara horizontal dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku langsung masuk pada gerak pembuka jurus ketiga. Kedua kakiku ditarik sejajar selebar bahu dengan lutut sedikit ditekuk. Sementara kedua tangan ditarik samping pinggang dengan telapak tangan menghadap keatas, setelah itu tangan kananku kudorongkan ke depan dengan memutar pergelangan hingga telapak tangannya menghadap kebawah. Aku melihat pemuda itu melakukan gerakan yang sama.

Tanpa dikomando, kami semua langsung melompat ke depan sambil mengayunkan tangan kanan secara bersamaan.

Sisi telapak tangan kananku berbenturan dengan sisi telapak tangan kanan pemuda itu.

DHESSS!

Lalu langsung kuubah gerakannya dengan menarik tangan kanan kesamping pinggang kiri dan menebaskan ke arah kanan dengan lintasan horizontal.

DHESSS!

Setelah benturan kedua ini langsung kutarik tangan kananku kedepan dada kemudian mendorongkan sisi telapak tanganku kearah depan dengan sepenuh tenaga.

DHESSSS!

Terjadi benturan kuat antara kedua sisi telapak tangan di udara. Aku segera melompat ke belakang sejauh dua langkah. Pemuda itu melakukan hal yang sama.

Tangan kananku menjadi lebih nyeri dari biasanya. Aku sudah kalah tenaga. Sementara pemuda itu nampak masih biasa-biasa saja. Namun nampaknya ia menyadari benar keterkejutanku ini.

"Apakah kau ingin tahu kenapa kau bisa kukalahkan dengan Sosro Birowo yang sama?", ucap pemuda itu dengan santainya. Ia kemudian duduk bersila di tanah.

Tanpa perjanjian sebelumnya, akupun langsung duduk bersila. Pandangan kami saling bertemu. Aku mulai tumbuh rasa segan pada diri pemuda ini.

"Pada Bab Tenaga, kau melupakan satu hal penting...", jawab pemuda itu.

Keningku berkerut.

"Apa maksudmu?", tanyaku penasaran.

"Tentunya kitab yang kita baca sama, namun pemahamanmu akan khasanah Tanah Jawa kurang lengkap... Caramu membaca huruf Jawa hanya berdasarkan bagaimana ia dibaca saja, bukan bagaimana ia dipahami...

Oh iya, perkenalkan, namaku Danang.", jawab pemuda yang mengaku bernama Danang itu.

"Jelaskan padaku...", pintaku padanya.

"Sejak benturan pertama aku sudah tahu ada yang kurang dalam pemahamanmu dalam Bab Tenaga. Selain itu, gerakanmu dan kekuatanmu sempurna. Namun karena kekurangan inilah kemudian kau bisa kukalahkan.", ucap Danang.

Aku diam saja, namun kuakui ucapan pemuda bernama Danang itu benar. Aku merasa tenagaku tidak kalah dengannya. Namun ada sesuatu yang lebih baik yang ia miliki yang aku sendiri belum bisa tahu apa itu.

"Pada saat kau mempelajari Bab Tenaga, kau akan bertemu dengan gambar dan tulisan pada lembaran Sosro Birowo bukan?", tanya Danang kepadaku.

Aku mengangguk.

"Kau hanya membaca sebagaimana tulisan Jawa itu dibaca, bukan bagaimana tulisan Jawa itu dimaknai.

Mari kuberikan contoh, pada tembang kedua terdapat tanda 'Pangkon'. Tanda baca ini dalam khasanah tulisan Jawa hanya berarti dibaca 'mati'. Semua huruf yang bertemu dengan tanda 'Pangkon' ini harus 'mati'.", ucap pemuda itu.

"Benar, bukankah seperti itu memang adanya?", jawabku.

"Secara kaidah bahasa memang benar, semua yang 'dipangkon' mesti harus 'mati'. Namun dalam memahami kaidah tenaga juga harus menggunakan pemahaman itu. Semua tembang yang diakhiri dengan 'Pangkon' maka pada saat pengerahan tenaga mesti harus dibuat 'mati tenaganya' atau 'berhenti'.

Sementara saat tenagaku berbenturan dengan tenagamu, kulihat tenagamu masih bersisa, belum sampai habis benar-benar. Hingga mudah sekali 'kumatikan'.

Dalam khasanah Jawa, semua tulisan yang menyertakan 'pangkon' maka harus dipahami dengan benar. 'Yen dipangkon, mati', dipahami secara kaidah tenaga bukan sekedar dibaca...", jawabnya dengan gamblang.

DHEG!

Dada ini bagai dipalu godam. Aku mengerti benar penjelasan Danang. Nampak sepele, namun sebenarnya kekeliruan itu menyebabkan perbedaan menang kalah yang jelas. Aku memejamkan mata, mengingat kembali Bab Tenaga, terutama pada tembang-tembang yang memiliki 'pangkon'.

Tanpa sadar aku larut dalam ingatanku, ada beberapa bagian pada Bab Tenaga yang memiliki sifat seperti yang dijelaskan Danang. Tanganku bergerak ke kanan dan kekiri, kadang memutar, kadang mendorong keras, kadang mendorong pelan.

Kemudian aku membuka mataku.

"Aku mengerti...", ucapku.

"Aku harus mencobanya...", ucap Danang dengan bersemangat. Ia langsung berdiri dan menyiapkan gerakan pembuka jurus pertama dari Bab Jurus.

Tanpa menunggu lama, akupun langsung berdiri. Semangatku kembali lagi, bahkan berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Aku langsung mengambil gerak pembuka jurus pertama.

BHLAAR!

Telapak tanganku berbenturan dengan telapak tangan Danang. Kami berdua terdorong sejauh setengah meter ke belakang.

Dan kami berdua saling tersenyum.

"Bersiaplah... aku akan mengerahkan Sosro Birowo tahap akhir!", ucapku dengan lantang.

Aku tidak lagi menaikkan tingkatan Sosro Birowo satu persatu karena aku sudah tahu kemampuan Danang. Maka langsung kukerahkan Sosro Birowo tahap akhir.

Aku segera menggeser posisi kakiku yakni dengan mengangkat satu kaki yang ditekuk ke depan, tangan kiriku kusilangkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kuangkat tinggi-tinggi. Kulihat Danang melakukan hal yang sama. Kami kemudian saling menyerang dengan rasa senang gembira suka cita. Bukan untuk kehebatan atau kesaktian namun karena kami menemukan kebahagiaan lain yang sulit dilukiskan.

Sosro Birowo, bisa menyatukan perbedaan manakala dipelajari dengan pemahaman yang baik.

 

***

 

"Begitulah ceritanya. Pertemuan ayah dengan Danang, pewaris Perguruan Awan, banyak sekali membuka mata ayah. Meskipun sejujurnya ayah kalah telak darinya. Namun kekalahan itu membuka mata ayah untuk lebih banyak lagi melakukan eksplorasi keilmuan yang ayah pelajari ini.", ucap ayah sambil tersenyum.

Aku tertegun mendengar cerita ayah.

"Kekalahan, bukanlah akhir dari segala-galanya. Ia bisa menjadi bermanfaat manakala hatimu terbuka, pikiranmu terbuka, untuk menerima.

Sebab hanya diri yang terbuka sajalah yang dapat dimasuki ilmu. 

Setelah sebelumnya keyakinan ayah berhasil diruntuhkan oleh Danang, namun ia jugalah yang mengembalikan keyakinan ayah.

Keyakinan, adalah pondasi segala aktivitas. Dan aktivitas hati lebih penting dari aktivitas fisik. Namun usaha untuk menyempurnakan keduanya merupakan tuntutan yang harus dilakukan terus menerus, meskipun kadar tuntutan pada masing-masingnya berbeda.

Suatu saat, dalam episode hidupmu, manakala kau mendapatkan kekalahan maka terimalah dengan lapang. Sebab itu baik buatmu...", lanjut ayah menasehatiku.

Entah kenapa aku menjadi begitu berasa bersemangat mengenar nasehat ayah.

"Mari, kita lanjutkan latihan... Kamu harus menyempurnakan Sosro Birowomu dengan baik!", ucap ayah.

Aku mengangguk dengan penuh keyakinan.

 

 

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun