Tak banyak orang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya demi membantu sesama. Terlebih jika membantunya di tempat-tempat pengungsian, baik di dalam maupun luar negeri, baik di tempat pengungsian akibat bencana maupun tempat pengungsian akibat konflik. Dibutuhkan mental yang tangguh berada di tempat tersebut. Akan tetapi, pada dasarnya setiap orang dapat berbuat baik membantu sesamanya meski cara dan jalan yang dilakukan berbeda.
Menjadi sukarelawan kemanusian merupakan panggilan jiwa. Salah seorang yang terpanggil untuk menjadi sukarelawan kemanusian ialah Eko Sulistio. Pria kelahiran Yogyakarta, 44 tahun silam ini telah menapaki tempat-tempat pengungsian di berbagai negara, seperti tempat pengungsian akibat bencana kelaparan di Somalia.
Hobby pencinta alam sejak SMA menjadi fondasi yang kuat bagi Eko untuk menjadi sukarelawan kemanusiaan. Kecintaannya terhadap alam tumbuh sejak duduk di bangku SMA N 3 Jakarta. Ia bahkan pernah menjadi Ketua Sabhawana, organisasi pencinta alam di sekolahnya tahun 1991. Melanjutkan kuliah pada Jurusan Pendidikan Geografi UNJ makin menambah wawasannya tentang interaksi manusia dengan lingkungan. Bagi Eko, interaksi dengan lingkungannya diwujudkan dengan membantu sesama. Semasa kuliah Eko mulai aktif terlibat dalam pencarian dan evakuaasi pendaki yang hilang atau tersesat di gunung.
Tsunami Aceh Makin Menumbuhkan Spirit Kemanusiaan
Gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004 menjadi awal mula bagi Eko untuk menjadi sukarelawan kemanusiaan secara total. Saat itu, suami dari Nurvitasari ini merupakan seorang wirausahawan wisata alam terbuka, salah satunya ialah kegiatan simulasi tempur yang diberi nama Spirit Paintball. Lokasi Spirit Paintball ada di beberapa tempat, antara lain Cibubur, Citarik, Anyer, dan Purwakarta.
Saat peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 Eko dihubungi oleh temannya yang menanyakan perlengkapan lapangan yang dibutuhkan jika akan mendirikan posko kemanusiaan. Sebagai orang yang paham tentang kegiatan alam terbuka dan tanggap bencana tak sulit bagi Eko memberikan daftar barang dan perlengkapan yang diminta temannya. Sayangnya, teman Eko tak tahu harus membeli di mana barang-barang perlengkapan tersebut. Eko pun kemudian menawarkan membeli barang-barang tersebut melalui dirinya. Oleh karena berbagai hal, Eko diminta sekalian mengantar barang-barang tersebut ke Aceh. Eko pun menyanggupinya meski ia tahu sebenarnya jadwal penerbangan ke Aceh sedang tak menentu.
Sebagai bentuk tanggung jawab dengan berbagai upaya dilakukan Eko hingga akhirnya barang-barang tersebut sampai di Bandara Aceh. Sayangnya, begitu barang-barang sampai, tim relawan yang dibentuk oleh teman Eko tak jelas kelanjutannya. Saat menghubungi temannya yang memesan barang tersebut Eko diminta meninggalkan barang-barang di Bandara. Mendengar jawaban dari temannya seperti itu membuat pikirannya menjadi berkecamuk. Satu sisi ia mendapat keuntungan dari hasil pembelian barang-barang tersebut, sementara di sisi yang lain ia merasa keuntungan yang didapat tak layak karena barang-barangnya tak jelas peruntukannya.
Ayah dari satu putra dan dua putri ini kemudian menyempatkan diri melihat-lihat kondisi daerah yang terkena dampak tsunami. Seperti yang ia ceritakan, pemandangan di sekitarnya ialah kehancuran lingkungan dan korban jiwa yang masih tergeletak di mana-mana.
Saat itulah spirit dan jiwa kemanusiaan yang telah ia pupuk sejak SMA makin tumbuh untuk turut terlibat langsung mengevakuasi korban. Akan tetapi, melihat kondisi Aceh yang porak-poranda sementara persiapan hanya untuk keperluan mengantar barang, Eko pun kembali ke Jakarta. Eko menyampaikan keinginannya kembali ke Aceh untuk membantu evakuasi korban jiwa kepada istrinya.
“Bunda, kita dapat uang ini dari orang-orang itu,” kata Eko kepada istrinya saat menonton tv yang tengah menyiarkan kondisi Aceh. Sebagai istri, Vivi tahu betul spirit kesukarelawanan sang suami. Eko pun mendapat restu dari sang istri untuk berangkat ke Aceh.
Segala perbekalan pribadi siap, tetapi Eko merasa perlu bergabung dengan organisasi atau lembaga yang memiliki kredibilitas selama di Aceh. Hal itu menjadi pertimbangan agar selama di Aceh ia benar-benar bekerja untuk kemanusiaan. Eko terus mencari informasi adanya lembaga atau organisasi yang akan berangkat ke Aceh. Bak gayung bersambut, sebuah BUMN menghubungi dan mengundangnya untuk memaparkan kondisi Aceh pasca tsunami karena BUMN tersebut akan melakukan misi kemanusiaan di Aceh. Eko pun akhirnya bergabung dengan tim kemanusiaan BUMN tersebut. Eko merupakan satu-satunya relawan yang bukan karyawan BUMN itu. Eko juga diberi kepercayaan pengadaan barang-barang yang diperlukan.