Mohon tunggu...
Agus Setyanto
Agus Setyanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

baru belajar menyusun kata biar menjadi kalimat yang enak dibaca...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tuntutan Kenaikan Upah Buruh yang Tak Berujung

31 Oktober 2014   20:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oktober – November boleh dibilang sebagai bulan demo bagi para buruh atau pekerja. Maklum saja, antara akhir bulan Oktober dan awal bulan November merupakan waktu perumusan hingga penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) se Indonesia. Oleh karena itu, tak heran apabila sepanjang waktu itu kita sering menyaksikan suguhan berita adanya demo oleh buruh/pekerja baik secara langsung maupun melalui pemberitaan media cetak dan elektronik.

[caption id="attachment_332336" align="aligncenter" width="480" caption="Konvoi massa gabungan buruh Kota Bogor di Jl. Ir. H. Juanda menuju Kantor Wali Kota Bogor. (Foto: Dok. Pribadi)"][/caption]

Akhir bulan Oktober hingga awal bulan November juga menjadi waktu yang sangat menyita tenaga dan pikiran bagi kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia. Semua kepala daerah diuji kemampuan mengambil kebijakan dan sikapnya atas tekanan dua kelompok, yaitu pengusaha dan buruh. Masing-masing kelompok tentu memiliki kekuatan yang berbeda dalam menekan kepala daerah. Pengusaha dengan kekuatan finansialnya tentu berupaya menekan bupati, walikota, atau gubernur dalam rangka meminimalkan kenaikan UMK. Kekuatan finansial yang saya maksud bukanlah menyediakan sejumlah uang untuk menyogok para kepala daerah, melainkan menghitung nilai investasi yang dapat memengaruhi penurunan pemasukan daerah. Sementara di sisi buruh, menurunkan massa dapat dipastikan menjadi satu-satunya kekuatan dan cara untuk menekan kepala daerah.

Rabu (29/10) kemarin saja contohnya, seluruh elemen buruh di Kota Bogor yang menamakan Gabungan Buruh Kota Bogor melakukan unjuk rasa ke Kantor Wali Kota Bogor dalam rangka menyampaikan tuntutan kenaikan UMK tahun 2015. Di dalam siaran persnya, elemen buruh ini menyampaikan tiga tuntutan yang salah satunya tentang permintaan kenaikan UMK sebesar 30% dari UMK tahun 2014. UMK Kota Bogor sendiri tahun 2014 sebesar Rp2.352.350; sehingga jika tuntutan buruh dipenuhi maka UMK Kota Bogor mengalami kenaikan sebesar Rp705.705; menjadi Rp3.058.055; di tahun 2015. Menurut buruh, kenaikan tersebut sudah memperhitungkan dampak dari kenaikan BBM yang sudah dapat dipastikan akan dilakukan oleh pemerintah.

[caption id="attachment_332338" align="aligncenter" width="480" caption="Perwakilan buruh berorasi di atas mobil, sementara perwakilan yang lain sedang berdialog dengan Wali Kota Bogor di dalam Balai Kota. (Foto: Dok. Pribadi)"]

14147357792090698544
14147357792090698544
[/caption]

Angka 30% yang disampaikan merupakan perhitungan dari hasil survey pasar yang dilakukan oleh buruh, terutama di Pasar Bogor dan Pasar Induk Warung Jambu. Akan tetapi, sebagai pemimpin daerah tentu saja Wali Kota Bogor, Bima Arya memerlukan masukan dari Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (DPK) sebagai lembaga resmi yang bertugas menghitung angka-angka yang layak untuk kenaikan UMK. Unsur-unsur DPK meliputi perwakilan pengusaha, perwakilan buruh, perwakilan pemerintah, dan akademisi. Sayangnya, DPK tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan besarnya UMK. DPK hanya bersifat memberikan data hasil survey kepada pemimpin daerah sebagai bahan pertimbangan. Keputusan akhir penetapan UMK berada di tangan walikota yang selanjutnya disampaikan kepada gubernur untuk disahkan.

Pentingnya Pengawasan

Sebagai lembaga resmi, DPK sebenarnya memperoleh anggaran dari daerah untuk operasionalnya. Akan tetapi, kegiatan DPK seakan hanya musiman menjelang kenaikan UMK. Mereka melakukan survey harga pasar dan kemudian menyampaikan hasil tabulasinya ke bupati/walikota. Praktis hanya seperti itu kegiatannya setiap tahun. Hal itu juga dikarenakan DPK tidak mempunyai kewenangan yang lebih dari sekadar memberikan data hasil survey pasar tersebut.

Selama ini pengawasan atas berlakunya UMK berada di dinas tenaga kerja. Akan tetapi, kewajiban pengawasan ternyata boleh dibilang jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan oleh dinas terkait. Pelanggaran-pelanggaran atas pemberlakuan UMK pun tak terpantau. Sanksi yang seharusnya diberikan kepada perusahaan-perusahaan pelanggar ketentuan UMK tak pernah terdengar. Peran DPK sebenarnya juga sangat dibutuhkan dalam pengawasan ini. Mereka yang memberikan data selayaknya turut berperan dalam pengawasan pemberlakuan UMK.

[caption id="attachment_332339" align="aligncenter" width="346" caption="Wali Kota Bogor, Bima Arya menemui massa buruh di halaman balai Kota. (Foto: Dok. Pribadi)"]

1414735894420716147
1414735894420716147
[/caption]

Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, berapa pun kenaikan UMK yang diberlakukan pada akhirnya kembali menjadi masalah bipartit (perusahaan dan karyawan atau serikat pekerja/buruh) sendiri. Hal itu salah satunya karena perusahaan diberi hak untuk mengajukan penangguhan atas berlakunya UMK, tentu saja dengan syarat dan prosedur yang berlaku. Padahal pada kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak memberlakukan keputusan kenaikan UMPK  tanpa mengajukan penangguhan. Oleh karena itu, ketika harapan terhadap dinas tenaga kerja sebagai “polisi” dalam pemberlakuan kenaikan UMK pupus, negosiasi bipartitlah yang menjadi ujung tombak kenaikan. Berbagai pertimbangan kemanusiaan pada akhirnya menjadi kunci utama dalam negosiasi bipartit ini.

Sampai Kapan Cara Menuntut Seperti ini Dilakukan?

Sepertinya tidak ada cara lain agar ritual tahunan yang seperti lingkaran setan ini disudahi.   Upah buruh naik, kenaikan harga kebutuhan, harga BBM naik seperti mata rantai yang tak pernah ada putusnya. Tidak akan pernah bertemu pada satu titik di antara tiga permasalahan tersebut jika tidak ada gagasan yang mampu mendobrak cara-cara lama, permasalahan yang tak pernah ada ujungnya. Rasanya, pemerintah perlu membuat terobosan agar aksi demo buruh menuntut kenaikan UMK tidak berulang setiap tahun, misalnya dengan menekan harga-harga barang yang masuk dalam Komponen Hhidup Layak (KHL). Atau mungkin Pak Menteri Tenaga Kerja yang baru memilki gagasan brilian sehingga setiap kenaikan UMK buruh tak perlu lagi harus menurunkan massanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun