Mohon tunggu...
Sutrisno S.T.P.
Sutrisno S.T.P. Mohon Tunggu... -

Saya sarjana lulusan teknologi pangan UGM. Saat ini saya bekerja di sebuah koperasi serba usaha syariah di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Rintisan “Kampung iB”

31 Agustus 2009   02:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:46 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pagi tadi, Ahad (30/8/2009), selepas sholat subuh ada kajian di perumahan kami, Perumahan Taman Sedayu 3, Bantul, Yogyakarta. Ustadz Siswoyo, penceramah, menyampaikan penjelasan atas apa yang tertulis di sebuah kitab tentang pesan-pesan Rasulullah saw. kepada menantunya Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Rasulullah memanggil Ali untuk datang kepada beliau kemudian mengatakan kepadanya ”Kedudukanmu adalah seperti halnya Nabi Allah Harun as. terhadap Nabi Allah Musa as. (Harun adalah menantu dari Musa). Perbedaannya, jika Harun diangkat Allah sebagai nabi sedangkan setelah Allah mengirimku tidak akan ada nabi lagi. Wahai Ali, aku akan memberi nasihat kepadamu, maka jagalah. Nasihat yang pertama, pastikanlah hanya makanan halal yang engkau makan. Jika makanan halal yang masuk kedalam tubuhmu, maka agamamu akan bening, hatimu menjadi lembut, dan doamu tidak akan tertutupi hijab. Jika makanan yang samar-samar (meragukan) yang engkau makan, maka samar pula lah agamamu serta hatimu menjadi gelap. Jika apa yang engkau makan adalah sesuatu yang haram, maka menjadi sedikitlah amalmu, hatimu akan mati, dan engkau akan menganggap remeh urusan agama.” Penceramah menjelaskan perkara halal dan haram dalam pesan Rasulullah itu sampai kemudian Pak Teguh, salah seorang warga di perumahan kami, menanyakan bagaimana hukumnya bunga bank, haram atau tidak? Sebuah pertanyaan yang membuat peserta kajian yang tadinya tenang menjadi saling berlomba menyampaikan pendapat.

”Tarik tabungan Anda lalu ambil juga bunganya. Gunakan bunga tabungannya untuk hal-hal ringan seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan, dan sejenisnya.” Tidak diragukan lagi, bunga bank adalah riba sedangkan riba adalah haram. ”Kalau begitu, bagaimana dengan bunga simpan pinjam di kampung kita?”, tanya Pak RT. Penceramah menjawab, ”Kalo simpan pinjam di kampung kan beda, atas kesepakatan bersama jadi nggak apa-apa.” Jawaban ustadz ini memancing peserta yang notabene seorang aktivis, ”Sebentar pak ustadz, masa’ sesuatu yang tidak benar kemudian disepakati banyak orang menjadi benar? Kita kan tidak boleh saling menolong dalam sesuatu yang dilarang. Lebih baik, bunganya diganti saja dengan biaya administrasi.” ”Itu kan uang warga kita sendiri dan untuk warga kita sendiri juga. Jadi, menurut saya ya tidak apa-apa. Yang paling enak, ya siapa yang pinjam diharuskan untuk mengisi kas begitu saja.”, usul salah satu sesepuh di perumahan kami. Saya sendiri, sebenarnya ingin menyampaikan pemikiran saya karena beberapa pendapat yang mengemuka banyak yang keliru di mata saya, tapi karena waktu sudah luamayan siang, kajian bersambung lain waktu.

Diskusi pro-kontra mengenai pengelolaan simpan pinjam di perumahan kami tadi menyisakan kegelisahan di pikiran saya. Dua hal pokok, pertama jika program terus berlangsung sama halnya lingkungan ini menumbuhkembangkan sistem ribawi. Bagaimana tidak, ketentuan program adalah setiap anggota yang meminjam dikenakan bunga sebesar 1%. Kedua, jika program dihentikan akan banyak warga yang tidak setuju karena diakui atau tidak program itu sangat membantu ada warga yang membutuhkan dana cepat. Saya tertantang terus berpikir bagaimana menjembatani dua hal ini. Terbersitlah pemikiran berikut, dana simpan pinjam yang berasal dari tabungan warga dibagi dalam 3 (tiga) jenis jalur pengeluaran (produk). Produk pertama adalah dana kebajikan, diperuntukkan bagi warga yang memerlukan dana cepat untuk memenuhi kebutuhan non pembelian barang, seperti makan, biaya sekolah, biaya listrik, dan sejenisnya. Dana ini dipinjamkan atas dasar tolong-menolong (ta’awun) sehingga tidak ada tambahan apapun saat pengembalian. Akad yang dipakai adalah pinjam-meminjam sacara murni. Selain berasal dari kas simpan pinjam, dana kebajikan bisa dikembangkan dari zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) dari warga.

Produk yang kedua adalah dana talangan proyek, dialokasikan bagi warga yang mendapatkan peluang bisnis berupa proyek yang sudah jelas pembayarannya, misalnya salah seorang warga mendapat pesanan jahitan baju, mendapat order sulam pita, pesanan katering, dan lain sebagainya dimana setelah proyek selesai, hasilnya bisa dibagi (profit sharing) dan pinjaman dikembalikan. Dana talangan proyek bisa menggunakan akad mudharabah. Produk yang ketiga adalah dana kredit barang, diperuntukkan bagi warga yang berpenghasilan dan ingin membeli barang rumah tangga seperti lemari, rak piring, kipas angin atau yang lainnya tetapi sisa uang setiap bulan tidak cukup padahal barang sudah sangat dibutuhkan (segera dipakai). Warga bisa memesan barang dengan jenis, merk, dan tipe tertentu kemudian pengelola membelikan barang yang dipesan lalu diberikan dengan akad jual beli (murahabah). Warga yang bersangkutan mengangsur setiap bulan hingga harga barang lunas. Harga barang sudah termasuk keuntungan yang ditetapkan pengurus. Supaya nilai keuntungan yang didapat tinggi dan harga jual barang masih wajar di pasaran, pengelola bisa bekerja sama dengan pusat grosir peralatan rumah tangga. Sistem kredit seperti ini sudah lazim dan sebenarnya justru merupakan sistem yang sangat jelas diperbolehkan karena jual beli seperti biasa.

Produk kedua dan ketiga ini bersifat komersil dan berfungsi mengembangkan aset usaha simpan pinjam. Dua program itu juga yang ditekuni oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi serba usaha syariah yang sekarang terbukti bisa tetap berdiri kokoh di tengah badai krisis bahkan saat ini menjadi incaran bank-bank swasta nasional (bank besar). Saya sangat yakin pengelolaan sebagaimana penjelasan di atas akan sukses, bukan hanya karena sudah dibuktikan oleh banyak koperasi serba usaha syariah tetapi juga karena beberapa hal berikut:

1.dibanggakan warga yang memerlukan karena merasa seolah-olah dirinya telah ditolong dengan ikhlas tanpa bunga, ini merupakan nilai lebih,

2.dapat diandalkan bagi warga yang sering mendapat proyek tapi tidak punya modal atau modalnya kurang sedangkan pinjam ke bank harus memakai jaminan, sekarang mereka tidak perlu lagi menolak order,

3.diminati ibu-ibu dan remaja putri yang biasanya suka membeli barang dengan sistem kredit,

4.rendah biaya (low cost) operasional karena:




    1. tidak perlu menggaji karyawan karena biasanya dikelola langsung oleh warga sendiri yang dibentuk melalui musyawarah
    2. tidak perlu sewa kantor dan gudang karena tidak banyak dokumen dan tidak ada barang jaminan
    3. tidak ada biaya transport karena pelanggangnya adalah warga dalam satu perumahan/kampung itu sendiri
    4. tidak perlu tenaga sales/pemasar karena program simpan pinjam sudah sangat lazim di seluruh wilayah Indonesia dimanapun, survei atas calon peminjam juga tidak perlu karena merupakan tetangga sendiri yang setiap hari saling berinteraksi sehingga pengelola bisa tahu karakter dan kemampuan seseorang dalam mengembalikan pinjamannya,

5.kolektibilitas pinjaman akan terjamin baik karena pertemuan simpan pinjam dilakukan secara rutin setiap bulan dan bagi yang tidak hadir biasanya langsung ditanyakan atau dibicarakan apalagi, secara manusiawi, warga yang sedang memiliki tanggungan akan ewuh (malu) terhadap warga yang lain sehingga konsekuensi sosial akan mendorong peminjam untuk lancar mengangsur pinjamannya,

6.semua warga selaku anggota akan bersama-sama mendukung suksesnya program karena keuntungan program akan dibagi kepeda mereka sendiri sehingga muncul rasa memiliki kemudian berusaha dengan berbagai cara membantu kelancarannya,

7.berfungsi sebagai sarana pemberdayaan wanita (ibu-ibu),

8.memungkinkan untuk diterapkan di seluruh daerah di Indonesia.

Setidaknya kelebihan-kelebihan itu bisa diperoleh dengan pemikiran ini. Pemikiran yang saya harap bisa menjadi ide untuk merintis ”Kampung iB”, sebuah kampung yang dengan manajemen sederhana tetapi telah mampu menerapkan konsep ekonomi islam di tengah keraguan sebagian masyarakat akan ke-syariah-an lembaga-lembaga keuangan syariah: bank syariah, BPRS, koperasi syariah, BMT, dan yang lainnya. Wallahua'lam. Blog: http://kedaioren.blogspot.com/

-trisno-

081802664031

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun