Mohon tunggu...
Sutrisno S.T.P.
Sutrisno S.T.P. Mohon Tunggu... -

Saya sarjana lulusan teknologi pangan UGM. Saat ini saya bekerja di sebuah koperasi serba usaha syariah di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Dikasih Surga, Minta Neraka (Bagaimana Ini?)

11 Agustus 2009   16:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:50 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Benarlah apa yang sering kita dengar dari lisan para ulama, “jalan dakwah itu terjal dan berliku”. Saya seorang karyawan sebuah koperasi syariah dengan wajah baitul maal wat tamwil (BMT) di Yogyakarta. Selama bekerja di lembaga keuangan berbasis ekonomi Islam ini, banyak pengalaman dan sekaligus tantangan yang saya dapatkan. Tantangan paling besar, menurut saya, adalah menyadarkan masyarakat, membuat mereka melek dengan sistem Tuhan, itu yang sangat sulit. Bagaimana tidak sulit, jika saat diberi pencerahan yang terjadi justru mereka ingin kembali pada kegelapan. Tapi seperti di awal saya tulis, saya menilai ini sebagai bagian dari berlikunya jalan dakwah. Berikut saya sampaikan kisahnya.

Seperti agenda hari-hari sebelumnya, saya bersama tim marketing BMT melakukan penetrasi pasar dengan presentasi, penyuluhan, pengajian, maupun pendekatan personal. Kegiatan presentasi, penyuluhan, dan pengajian kami tujukan untuk perkumpulan warga seperti pertemuan PKK, arisan warga, maupun majelis ta’lim sedangkan pendekatan personal kami lakukan dengan dialog langsung dengan orang per orang. Biasanya, orang lebih banyak mengangguk-ngangguk ketika berada di forum, ya paling tidak diam lah. Tetapi jika sudah berhadapan langsung, ngobrol berdua, maka keluarlah semua bantahannya.

Saya menawarkan pembiayaan mudharabah (bagi hasil) kepada seorang ibu paruh baya yang berjualan sayur di Pasar Beringharjo. Dengan semangat saya meneragkan sistem pembiayaan syariah ini, tentunya dengan bahasa yang lugas supaya mudah dipahami. Saya menangkap ketertarikan sang ibu terhadap pembiayaan yang akan saya gulirkan kepadanya tapi beliau sesekali mengerutkan dahi saat mendengarkan penjelasan saya. Saya menyampaikan bahwa ibu tidak mengangsur bunga, melainkan berbagi keuntungan dengan kami. Ibu menghitung berapa laba usahanya kemudian sebagiannya diberikan ke BMT sesuai proporsi yang kita sepakati di akad. Pembagiannya bisa 70:30 atau 60:40 atau 50:50. Jadi, jumlah yang disetor ke BMT menyesuaikan perhitungan keuntungan ibu sehingga bisa berubah-ubah setiap bulan. Ibu itu tampak bertambah bingung. “Lha terus, dadosipun kulo maringi tambahan pinten saben sasi, Mas?” (“Lha terus, intinya, saya harus memberi tambahan berapa per bulan dari pinjamannya?), tanya sang ibu tidak sabar (wajahnya polos dan masih tampak bingung). “Nggih niku wau, tergantung untunge panjenengan pinten” (“Ya seperti tadi Bu, sesuai keuntungan ibu, itulah yang dibagi sebagian ke BMT”, jawab saya yang juga mulai kehabisan akal untuk memahamkan. “Aduh mas, kok dadi repot to?! Mosok ndadak nyatet dagangan, ngitung, nggawe laporan, ora iso aku Mas, ora mudheng. Wis, aku njaluk sing koyo biasane wae, gampang, bungane piro saben sasi?” (“Aduh mas, kok jadi repot to?! Masa’ harus mencatat barang dagangan, menghitung keuntungan, membuat laporan, saya tidak bisa, tidak mengerti itu Mas. Sudah, seperti biasanya saja, mudah, berapa bunga yang harus saya setor tiap bulan?”).

Badan saya lemes mendengar perkataan ibu itu. Saya bisa saja meggulirkan dana sesuai permintaan ibu tadi dengan tambahan (bunga) wajar yang dengan itu pekerjaan saya selesai, tetapi dimana syariahnya? Maksud dan makna serta barakah sistem ekonomi Islam tentu menjadi tidak tercapai, kembalilah kita kepada sistem konvensional lagi. Akhirnya, saya mengakhiri pembicaraan dengan menunda memberikan pembiayaan. Dalam perjalanan pulang saya berkata dalam hati, memang susah menyadarkan orang, harus perlahan dan halus. Mungkin sama halnya dengan syariat Islam yang lain, harus dimulai dari pemahaman pribadi-pribadi rakyat, tidak bisa dengan serta-merta menerapkan syariat Islam. Jika tidak, hasilnya bisa seperti Ibu tadi, dikasih surga, eh.. malah minta neraka. [T]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun