Mohon tunggu...
Sutrisno S.T.P.
Sutrisno S.T.P. Mohon Tunggu... -

Saya sarjana lulusan teknologi pangan UGM. Saat ini saya bekerja di sebuah koperasi serba usaha syariah di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bank Syariah: Cuma Mau Nisbah, Tidak Mau Susah!

12 Agustus 2009   16:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:50 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah banyak kita baca, lihat, dan dengarkan dari berbagai sumber bahwa ada banyak pihak yang mempertanyakan “kesyariahan bank syariah”. Bahkan pada sebuah seminar, pertanyaan ini dijadikan sebagai judul yang dianggap masih menarik untuk didiskusikan. Diantara orang-orang yang mempertanyakan kesyariahan bank syariah hanya melontarkan wacana public, tetapi sebagian lagi sampai pada tahap memberikan contoh kasus. Semoga apa yang saya tulis berikut bias menjadi salah satu referensi dalam diskusi-diskusi sejenis.

Saya bekerja sebagai karyawan salah satu BMT di Yogyakarta. Baru dua hari yang lalu saya diajak oleh pimpinan untuk ikut dalam sebuah rapat. Mungkin karena pentingnya materi pembahasan, tidak seperti biasanya rapat diadakan di sebuah rumah makan. Alhasil, ternyata dalam rapat itu ada account officer dari salah satu bank syariah nasional yang mempresentasikan tawaran pembiayaan. Di sela-sela presentasinya, pegawai bank syariah itu sesekali berkelakar “saya binggung, ditarget mengucurkan milyaran uang, tapi gak tahu harus dibuang kemana?” Sampailah pada pokok pembicaraan, beliau menawarkan pembiayaan sebesar 3 (tiga) miliar kepada kami, koperasi, sebuah lembaga kecil yang berkutat pada masyarakat kecil. Kami sangat terkejut mendengar jumlah yang demikian besar. Saya sempat bertanya dalam hati, kenapa bank bertaraf nasional seperti itu mau menggulirkan dana yang begitu besar kepada kami? Saya teringat dulu, sekitar satu tahun yang lalu, juga ada penawaran yang serupa dari bank syariah nasional yang lain kepada asosiasi BMT wilayah Yogyakarta. Tetapi saat itu saya buru-buru pamit setelah mendengar bahwa pengembalian pinjaman beserta nisbahnya flat. Saya berpikir system tersebut sama saja dengan bank konvensional, apa bedanya? Saya mendapat penjelasannya pada presentasi kali ini.

Pembiayaan dari bank digulirkan ke BMT/BPRS dengan akad mudharabah (profit sharing, bagi hasil) untuk kemudian disalurkan ke nasabah BMT/BPRS dengan akad murabahah (jual beli). Akad murabahah memungkinkan BMT/BPRS menentukan kadar keuntungan dari barang yang diperjual-belikan yang bila diangsur maka jumlah angsuran bias dipastikan (flat). Kadar keuntungan total dari seluruh pembiayaan murabahah BMT/BPRS dibagi sebagiannya kepada bank (proporsi bagi hasil ditentukan bank). Dengan mekanisme kerja sama seperti itu, bank bisa memperoleh keuntungan yang pasti setiap bulan dari BMT/BPRS.

Sekilas, tidak ada masalah dalam sistem itu. Menurut saya –dan pasti sudah dikonsultasikan kepada dewan pengawas syariah bank tersebut-, hokum kerja sama ini sah. Memastikan kedar keuntungan pada jual beli barang (akad murabahah) adalah diperbolehkan. Namun demikian, coba kita lihat lebih dalam, ada beberapa kondisi yang jika itu terjadi akan mengakibatkan kesan bahwa bank syariah nasional bertindak sewenang-wenang dan parahnya lagi bank syariah tidak lagi berada pada koridor syariah itu sendiri. Kondisi pertama, bagaimana jika pada tanggal pengguliran dana, tidak semua bisa dicairkan oleh BMT/BPRS padahal pada tanggal yang sama bulan berikutnya BMT/BPRS harus membayar bagi hasil dengan perhitungan bank (perhitungan bank berdasar jumlah pembiayaan yang diberikan ke BMT/BPRS, bank menggunakan asumsi semua telah dicairkan). Kondisi kedua, bagaima jika tidak semua pengguliran pembiayaan pada nasabah BMT/BPRS menggunakan akad murabahah, missal ada sebagian nasabah berakad musyarakah (bisa berubah-ubah tiap bulan sesuai keuntungan riil usaha),padalal (lagi) jumlah yang harus dibayar ke bank sudah pasti. Kondisi ketiga, bagaimana jika terjadi permasalahan di lapangan atas pembiayaan (menunggak, macet, dan sebagainya), tentu mengurangi keuntungan BMT/BPRS padahal (sekali lagi) jumlah yang harus dibayar ke bank sudah pasti.

Dari ketiga kemungkinan di atas saja, terkesan bahwa bank tidak mau tahu apa yang terjadi dengan BMT/BPRS selaku rekan kerjanya. Bank hanya mau tahu nisbah dibayar tepat waktu dan dengan jumlah yang tidak kurang dari yang telah ditetapkan. Dimana nilai keadilan, azas yang seharusnya dikedepankan dalam ekonomi syariah? Apa memang benar, bank syariah hanya mau nisbah, tidak mau susah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun