Semua orang suka menonton televisi. Meski sudah ada youtube, televisi sepertinya belum bisa tergantikan.
Televisi ternyata masih menjadi idola berbudaya menonton bagi masyarakat Indonesia. Hampir seluruh hidup masyarakat dihabiskan dengan mengkonsumsi tayangan televisi. Kuantitas menonton televisi jauh lebih banyak dibandingkan kuantitas membaca buku.
Survei terhadap 1.436 warga Jakarta berusia di atas 13 tahun memberikan gambaran mengungkapkan lebih dari separuh responden menonton televisi sedikitnya dua jam per hari (https://nasional.kompas.com). Sebagai data tambahan, hasil survei Nielsen menuliskan angka lebih dari 90% orang Indonesia secara reguler mengkonsumsi TV dan media online secara bersamaan. (https://economy.okezone.com)
Seorang teman rela mati-matian bangun jam setengah dua pagi untuk menonton pertandingan sepakbola yang tayangdi sebuah stasiun televisi. Seorang teman juga ada yang rela melek sampai jam dua pagi hanya untuk menonton film yang tayang di stasiun televisi. Jika sudah menonton televisi, suka menabras waktu. Ketika jam yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk belajar justru digunakan untuk melek menonton televisi.
Bandingkan dengan kuantitas dan kualitas waktu membaca buku atau menulis. Sebagian masyarakat mungkin hanya betah paling lama 30 menit. Jikalau membaca 30 menit setiap hari rutin, pekerjaan itu hebat. Boro-boro mampu membaca buku minimal 30 menit perhari, melihat buku sepertinya kepala sudah puyeng.
Sebagian masyarakat tak membaca buku sama sekali hitungan hari bahkan hitungan tahun. Usia sudah lebih dari 50 tahun, tak pernah menyelesaikan bacaan lebih dari 5 buku. Usia sudah mendekati selesai, tetapi tak produktif dalam membaca buku.
Masyarakat kita, ribut-ribut membaca buku biasanya saat akan ujian sekolah atau ujian semester di universitas. Selesai ujian sekolah atau universitas, tak pernah lagi memegang dan membaca buku. Bagaimana mau membaca buku, sedangkan di rumah memang tak ada buku. Membeli buku bukan kebutuhan primer untuk sebagian masyarakat.
Jika ditelusuri lagi, seperti mengurai benang yang sudah kusut. Kenapa masyarakat tidak hobi membaca dan tak punya koleksi buku di rumah. Siapa yang hendak disalahkan dengan kondisi seperti ini? Masyarakat kita sudah terlalu jauh meninggalkan budaya membaca. Gagal membaca buku, imbasnya negara ini gagal pengembangan ilmu pengetahuan.
Masih teringat dengan cuitan bos Buka Lapak Ahmad Zaki mengenai dana riset yang masih rendah. Gara-gara cuitan itu, negeri ini ramai menuliskan tentang riset di Indonesia. Pejabat kemudian ramai-ramai membahasnya, seakan mereka peduli dengan kondisi riset bangsa ini. Mungkin karena masa kampanye politik pilpres, jadi tema ini menarik untuk diperbincangkan.
Saya tak ingin membahas terlalu jauh mengenai perdebatan riset di Indonesia. Meski, sebagai dosen saya mengerti, riset adalah bagian terpenting untuk kemajuan bangsa ini. Tanpa riset yang memadai, negara kita akan semakin tertinggal dengan bangsa lain.
Riset sebenarnya sangat terkait dengan budaya membaca buku. Tanpa ada budaya membaca buku yang baik, maka riset akan pernah bisa berjalan. Berapapun banyak dana yang digelontorkan untuk dana riset, jika budaya membaca masyarakat rendah, riset itu pasti akan gagal. Apa yang mau diriset, bahan teorinya darimana, jika membaca saja sangat malas.