Hari-hari ini pikiran saya buntu dengan pekerjaan sebagai editor jurnal di sebuah kampus. Menulis, sebenarnya pekerjaan yang menyenangkan bagi saya. Jika mau menulis maka saya harus membaca dulu, itu kuncinya. Tapi, mengedit tulisan orang lain, justru bukan pekerjaan yang mudah.Â
Lebih mudah membangun ide tulisan sendiri dari awal dibandingkan mengedit tulisan orang lain. Maka, pekerjaan mengedit jurnal ini justru membuat saya agak puyeng. Kepuyengan makin bertambah jika menemukan tulisan yang dikirim, meminjam kata Bang Haji Rhoma 'sungguh terlalu'.
Zaman sudah sangat modern, tetapi cara berpikir kita mungkin kadang masih kuno. Kita terlalu malas bila dibandingkan dengan orang-orang terdahulu. Dulu itu tidak komputer, tidak ada internet, tapi banyak orang bisa menulis hebat. Tanpa komputer, lahirlah Tafsir Al-Azhar karya Hamka, selain itu Novel Tenggelamnya Van der Wijck, dan puluhan buku lainnya.
Sastrawan lain, ada Pramoedya Ananta Toer, novelis yang menghasilkan Bumi Manusia. Masih banyak lagi karya Pram yang renyah untuk dibaca misalnya Novel Korupsi, Novel Cerita dari Blora, dan lain-lain (https://beritagar.id). Pada zaman itu lahirlah penulis hingga sastrawan yang sampai sekarang masih hidup karyanya.
Masa itu, tidak ada copi paste dari internet. Jangankan copas, mereka harus menulis dengan mesin tik manual. Betapa sulit kondisi para penulis terdahulu, tetapi pikiran mereka tidak mati. Mereka tidak pernah kehilangan ide untuk menulis dan melahirkan gagasan yang cemerlang.
Bandingkan dengan zaman sekarang, jaman sudah sangat modern. Untuk menulis seperti Hamka dan Pram, sama sekali kita belum mampu. Karya ilmiah akademik di Indonesia masih jauh dikatakan belum layak. Segelintir orang yang mungkin bisa mewarisi tangan dingin Hamka dan Pram.
Apa yang salah dengan pikiran kita?
Beberapa waktu ini, saya bertugas mengedit tulisan jurnal dari beberapa dosen. Setelah saya cek di plagiarisma checker, hampir beberapa tulisan plagiat. Tulisan itupun berantakan dan tidak layak disebut sebagai jurnal hasil penelitian.
Padahal, seorang dosen dituntut untuk bisa menulis jurnal. Dosen dalam bidangnya harus masuk pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, pengabdian masyarakat, dan penelitian. Melihat tulisan yang sebagiannya copas dari internet itu, saya mendadak galau banget. Padahal makalah kudu dikirim ke PD-DIKTI sebagai laporan Beban Kerja Dosen (BKD). Jika nantinya dicek oleh asesor dan ketahuan plagiat, bagaimana nasib sertifikasi dosen mereka.
Jika seorang dosen, menulis makalah hasil copas dari blog dll, bagaimana nasib mahasiswa. Mungkinkah dosen ini bisa mengajarkan mahasiswa untuk menulis makalah penelitian yang baik. Saya tidak mengerti dengan kelakuan beberapa dosen tersebut. Apa yang mereka kerjakan saat kuliah S1 dan S2 dulu? Apakah memang sewaktu kuliah mereka tidak pernah diajarkan menulis ilmiah?
Setidaknya tulisan ini menjadi koreksi kritis terhadap diri saya pribadi maupun para dosen di luar sana. Jika tidak mampu membaca buku dan tidak mampu menulis, mungkinkah masih layak menjadi dosen. Paling tidak, jika tidak mampu, kita masih ada kemauan belajar. Jika sudah tidak mau juga belajar, sekali lagi meminjam kata Bang Haji Rhoma 'sungguh terlalu'.