Ternyata, kenangan bukan hanya tentang cinta pada orang saja. Bagi saya, cinta juga bisa melebar pada sebuah benda. Kenangan cinta pada seseorang waktu SMK, sudah lewat. Kenangan tentang kisah cinta pada mantan waktu kuliah sudah parpiurna.
Tetapi, ini kisah tentang kenangan mencintai buku. Jika ada buku yang tidak kembali, hati saya merana. Sering saya tatap rak deretan buku-buku. Ternyata ada banyak buku yang tidak dikembalikan oleh teman yang meminjam. Galibnya, saya sendiri lupa siapa teman yang meminjamnya.
Saya pernah kehilangan buku berjudul "Sumbangan Sejarah Peradaban Islam Terhadap Dunia". Buku bersampul putih dengan tebal lebih dari 500 halaman. Seingat saya, harga buku itu adalah Rp 120.000,-Buku sejarah yang ditulis oleh Prof Raghib as Sirjani. Tidak hanya buku sejarah, beberapa novel juga raib dan tidak kembali lagi.
Mungkin terlalu naif, kehilangan buku saja sangat merana. Perlu diketahui, untuk membeli buku-buku itu membutuhkan perjuangan. Saat saya benar-benar tidak memiliki uang kemudian mengumpulkannya. Membeli buku merupakan pekerjaan yang harus menguras tenaga dan pikiran bahkan uang.
Masa-masa kecil saya sungguh sangat menyedihkan jika mengingat tentang buku. Tinggal di pelosok kampung dengan akses perpustakaan yang terbatas. Untuk mendapatkan buku, bukan pekerjaan yang mudah. Orang tua saya bukan orang kaya, malahan hanya buruh tani biasa. Mereka tidak pernah mampu untuk membelikan buku bacaan.
Waktu kuliah juga sangat menyedihkan kondisinya. Tidak pernah punya uang lebih untuk membeli buku. Untuk membayar uang kuliah tiap semester saja sangat sulit. Jika pun bisa membeli buku harus dengan perjuangan yang tidak mudah.
Merawat buku ternyata bukan pekerjaan yang ringan. Saat sekarang sudah mampu membelinya, justru saya kesulitan merawatnya. Buku-buku hanya diam penuh debu sangat jarang saya baca. Jika ada orang yang mau meminjam saya berikan. Pada akhirnya saya kehilangan setelah mereka tidak mengembalikannya.
Ini tentang ikhtiar merawat buku yang justru terabaikan. Jika merawat buku saja saya tidak mampu, bagaimana bisa membacanya. Urusan merawat dan membaca buku memang bukan urusan mudah. Apalagi ditantang untuk menulis buku, bisa kelenger saya ini.
Sejatinya pekerjaan merawat buku adalah pekerjaan merawat bangsa. Saat kita tidak mau merawat buku atau malahan tidak mau membacanya, kita tidak mencintai bangsa ini. Bisa jadi, untuk sebagian orang tidak membaca buku tidak masalah. Pada akhirnya, membaca buku bagi mereka bukan prioritas utama.
Tetapi, bagaimana jika seluruh rakyat Indonesia tidak mau membaca buku? Bagaimana kondisi bangsa ini jika seluruh rakyatnya tidak mau merawat buku? Mungkinkah kita bisa menyamai ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dihasilkan oleh bangsa lain, tanpa masyarakat pembaca?
Pertanyaan di atas tidak memerlukan jawaban. Sebab, kita sudah mengetahui jawabannya. Sudah lama bangsa Indonesia mengatakan merdeka, tetapi sejatinya belum sepenuhnya merdeka. Sungguh memprihatinkan kondisi sumber daya manusia sebuah bangsa yang masyarakatnya tidak mau merawat buku.
Bangka 3 A No 60, Jaksel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H