Membaca buku adalah milik orang yang mencintai kehidupan. Ia yang membaca buku merupakan jiwa yang ingin tetap hidup. Berapa banyak orang yang ternyata tidak mencintai buku.
Saya selalu menemukan harapan kehidupan pada orang-orang yang membaca buku. Meskipun dia yang membaca buku hanya orang biasa. Mungkin dia orang yang tidak mampu masuk universitas. Tetapi dengan membaca buku, ia telah membuktikan dirinya adalah orang besar.
Hamka tidak pernah lulus SMA. Cak Nun memilih pergi dari dunia kampus. Sujiwo Tedjo adalah budayawan yang tidak pernah selesai kuliah. Dahlan Iskan pemilik Jawa Pos, hanya lulusan SMA. Tetapi mereka adalah orang-orang besar yang mencintai membaca buku. Hasilnya, ide pemikiran mereka hingga saat ini tidak pernah mati.
Mereka hanyalah orang-orang biasa yang ingin tetap hidup melalui buku-buku.
Saya tidak hendak membuat generalisasi bahwa pendidikan atau kampus tidak penting. Sekolah atau kampus selama ini memang selalu disalahkan sebab gagal menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Tetapi, seburuk apapun sekolah atau kampus, belum ada orang yang berani membubarkan sekolah atau kampus. Tidak ada pernah dalam sejarah, pemerintah membubarkan sekolah atau kampus.Â
Alangkah malu saya, orang yang lulusan universitas tetapi kalah dengan Hamka. Saya masih belum bisa mencintai buku layaknya Cak Nun. Apalagi jika ditantang untuk menghasilkan puluhan buku seperti Hamka atau Cak Nun. Saya masih belum menghasilkan apa-apa jika melihat kegigihan mereka dalam menulis buku
Lelaki yang yang saya temui ini, barangkali orang biasa. Bukan tokoh besar seperti Hamka atau Cak Nun. Dia hanyalah pemuda dengan kaos oblong. Menggunakan celana pendek dan Sandal Swallow kumal, menambah kesan, dia hanyalah pemuda biasa.
Lelaki muda itu saya temui. Pada suatu sore saat membeli jus. Di sebuah pinggir Jalan Bangka Raya, kawasan Mampang Jakarta Selatan. Kaki saya berhenti melangkah. Melihat lelaki muda sedang membaca buku Jalaludin Rumi dengan judul "Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan"
"Sungguh hebat abang penjual jus ini" Batin saya bergumam.
"Bang suka baca buku Jalaludin Rumi?" Iseng saya bertanya padanya.
"Suka banget..." Dia menjawab dengan bahasa santun. Sepertinya dia bukan pemuda biasa. Meskipun hanya penjual jus di pinggir jalan raya.