Kenangan Tentang Koran
Bagi orang-orang yang masuk pada immigrant digital tentu pernah hidup damai bersama koran harian. Pada fase ini koran harian sangat dihargai oleh masyarakat pembaca.Â
Pada masa-masa itu koran harian begitu menyatu dengan masyarakat pembaca di Indonesia. Pada masa koran masih berjaya, orang yang membaca koran harian bisa disebut sebagai golongan ningrat.
Pasalnya, waktu itu hanya orang kantoran yang memiliki waktu luang untuk membaca koran. Yang terjadi kemudian, membaca koran menjadi simbol harga diri dan simbol intelektualisme. Maka, setiap orang yang ingin pintar biasanya membaca koran sembari minum kopi atau teh panas. Apalagi, jika waktu liburan Sabtu atau Ahad, membaca koran merupakan simbol intelektualisme. koran terbitan hari Minggu biasanya paling diburu oleh masyarakat untuk dibaca.
Meskipun makin banyak ditinggalkan dengan migrasi ke dunia digital, koran atau surat kabar masih memiliki tempat di hati masyarakat Indonesia. Jika ditelusuri sejarahnya, koran di Batavia (Jakarta) terbit pertama kali pada zaman VOC kurang lebih tahun 1745. Konten pemberitaan koran tersebut tentu tidak jauh dari berita tentang perdagangan VOC menggunakan kapal, mutasi pejabat, berita pernikahan, kelahiran dan kematian. Pada masa itu tentu saja pembaca koran masih terbatas warga Belanda yang hidup di Batavia. (https://www.liputan6.com).
Koran ini kemudian berkembang pesat dan berubah menjadi koran yang berisi kritik terhadap perbudakan di Batavia dan perilaku penguasa VOC ketika itu. Tepat pada 20 Juni 1746, koran pertama ini pun menjadi yang pertama kali dibredel seperti diceritakan dalam buku "Toko Merah: Saksi Kejayaan Batavia lama di Tepi Muara Ciliwung" karya Thomas B. Ataladjar. (https://www.liputan6.com)
Koran Sebagai Simbol Masyarakat Terdidik
Kenapa saya menyebut koran menjadi simbol orang pintar dan kaya? Sebab, pada waktu itu, orang-orang yang membaca koran biasanya hanya dari kalangan terdidik. Mereka yang membaca koran paling tidak berasal dari orang yang bermukim di kota besar. Orang kampung seperti saya ini jarang sekali membaca koran. Koran akhirnya hanya menjadi representasi budaya bagi orang yang hidup di kota.
Bagi masyarakat yang pendidikannya menengah ke bawah. Sering kali ditemukan koran hanya dijadikan bungkusan tempe atau gorengan. Asumi saya mengatakan, orang yang hanya memiliki pendidikan sampai tingkat SMA amat jarang membaca koran. Jika ada yang membaca biasanya memilih koran yang isinya tentang kriminal. Koran yang dibaca tukang ojek atau sopir Bus Mayasari Bakti misalnya Lampu Merah, Pos Kota, Warta Kota dan lain-lain.