Kali ini saya ingin menuliskan kembali tentang budaya kita yang lebih menghargai ceramah dibandingkan dengan tulisan. Budaya menulis merupakan pekerjaan yang tidak menghasilkan uang. Justru budaya omongan/ceramah itulah pekerjaan yang bisa menghasilkan uang jutaan rupiah.
Pada sebuah kesempatan yang tidak sengaja mendengar para senior sedang berbicara di sebuah ruangan. Senior saya ini merupakan lulusan Doktoral sebuah kampus Timur Tengah.Â
Pendidikan S1 hingga S3 diselesaikan di Timur Tengah. Pada sebuah siang selepas Jumat mereka terlibat diskusi tentang angka rupiah yang dihasilkan dari 20 menit selepas khutbah Jumat.
"Kalau di sekitaran rumah biasanya saya dapat Rp 300.000". Senior saya mulai membuka pembicaraan. Sembari menyantap hidangan makan siang.
"Masih adakah yang memberikan Rp 300.000?" Salah seorang lagi bertanya. Dia kaget kok hari ini masih ada yang hanya memberikan transport khutbah Jumat sekecil itu.
"Iya ada sejumlah itu. Jumlah ratusan ribu itu biasanya yang memberikan jamaah masjid di perkampungan..."
Sang senior saya masih terus berbicara. Sesekali diselingi dengan candaan riuh. Kami berada di sebuah ruangan yang menggunakan AC. Jadi, meskipun di luar panas full, kami merasa dingin.
"Minggu lalu saya dapat di Kantor KP. Jumlah yang ditransfer ke rekening saya Rp. 1.000.000,-" Sambil tersenyum dia menjelaskan tentang uang yang didapatkan dari ceramah.
"Wah, itu sudah dipotong oleh panitia. Kalau di Kantor itu seharusnya kita mendapatkan Rp 1.500.000,"
Beberapa senior terperangah mendengar tuturan tersebut. Kekagetan itu disebabkan oleh ulah oknum yang memotong uang khutbah sebesar Rp 500.000,-
Kemudian saya pernah bertanya pada seorang senior yang lulusan S3 sebuah kampus Timur Tengah. Kenapa dia tidak menulis buku atau jurnal ilmiah. Jawaban yang saya terima sungguh menggelikan.