Tuntutan kesejahteraan guru honorer atau guru secara keseluruhan sebetulnya sudah sejak lama. Tuntunan perbaikan kesejahteraan guru ini sudah ada sejak era Orde Lama. Tapi tuntutan itu seakan menjadi angin lalu.
Bahkan ada usia honorer yang telah lama mengabadi pada akhirnya tidak memiliki kesempatan menjadi PNS. Guru Honorer yang telah berusia lebih dari 35 tahun tidak akan diangkat menjadi guru PNS. Inilah yang saya sebut dengan ketidakadilan pemerintah terhadap guru Honorer.
"Sudah lebih dari satu dekade sejak tahun 2005 Ehen mengabdikan diri mengajar di Sekolah Dasar Terpencil di Desa Aniyungan Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalsel, sekitar 60 kilometer dari ibukota Balangan, Paringin. Sekolah itu terletak di tengah hutan Meratus. Tetapi sampai saat ini masih digaji sebesar Rp 250.000,". (https://www.jpnn.com)Â
Betapa negara ini tidak menghargai jasa guru honorer itu selama puluhan tahun. Kemana saja negara saat guru Honorer itu mengabadi dan digaji dengan tidak layak? Setelah usia mereka tidak lagi muda, mereka dibuang begitu saja. Status guru honorer layaknya "habis manis sepah dibuang".
Kesejahteraan guru tidak menjadi perhatian serius dalam kebijakan pemerintah. Berganti rezim kondisinya tetap memprihatinkan, guru hanya dianggap buruh pendidikan. Bisa jadi malah nasibnya tidak lebih baik dari buruh-buruh pabrik di Tangerang dan Bekasi.
Realitasnya, guru honorer hanya menjadi jongos yang dituntut untuk mendidik anak bangsa. Guru honorer tidak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Inilah realitas sosial pendidikan yang masih berakibat buruk bagi masa depan bangsa Indonesia.
Kondisi guru honorer semakin sulit di tengah-tengah kapitalisasi sistem pendidikan di Indonesia. Guru seakan hanya diperah tenaga dan ilmunya untuk menghasilkan anak didik yang berkarakter. Ada dikotomi kesejahteraan antara guru honorer dengan guru yang berstatus PNS.
Kabarnya, guru PNS jauh lebih mendapatkan perhatian lebih mapan dari pemerintah. Dari soal gaji, tunjangan, dan status tentu saja jauh di atas guru honorer. Padahal jika ditilik lebih dalam, jam kewajiban guru honorer jauh lebih banyak dibandingkan dengan guru PNS.
Guru honorer malahan harus berjuang menghitung jam mengajar agar dapur bisa mengepul. Inilah ketidakadilan yang ada di Indonesia saat ini. Dikotomi antara guru honorer dan PNS inilah yang menjadi patologis sosial dalam masyarakat Indonesia.
Seakan-akan, pemerintah lebih menghargai guru yang berstatus PNS. Guru honorer hanya dianggap sebagai buruh yang dibayar upah tidak layak. Jika guru honorer demo menuntut hak-haknya, mereka dituduh tidak taat pada pemerintah. Mereka dianggap melalaikan tuga sebagai pendidik anak bangsa.
Dikotomi antara guru honorer dan guru PNS ini semestinya harus dihapuskan. Negara harus menyamakan status mereka menjadi guru negara. Guru harus diberikan kesejahteraan, sebab mereka adalah pahlawan bangsa ini.