Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yuk, Ajak Petani Budidayakan Terong Belanda

27 Maret 2017   14:46 Diperbarui: 27 Maret 2017   14:57 1790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Terong Belanda (Doc. FMT/Forum Penyuluh Aceh Tengah)

Sayang kan, peluang pasar terong belanda di kota besar seperti Banda Aceh akhirnya dikuasai oleh para petani dari Brastagi maupun Kerinci, sedangkan kita punya potensi besar untuk pengembangan komoditi ini. Setiap peluang adalah tantangan dan setiap tantangan harus dijawab dengan kerja nyata, karena kita punya potensi, ironis rasanya kalau dengan potensi tersebut kita hanya mampu jadi penonton.

Terong Belanda (Cyphomandra Betacea Sendt/Solanum Betaceum L) merupakan tanaman perdu yang tingginya bisa mencapai 2 sampai 3 meter, memiliki batang agak keras dengan percabangan yang cukup banyak. Tanaman ini termasuk dalam family Solanaceae (terong-terongan) yang dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi sampai dengan 1.200 meter diatas permukaan laut dan budidayanya juga cukup mudah. Tanaman ini asalnya berasal dari New Zealand, tapi saat ini sudah banyak berkembang hampir disemua daerah di Indonesia, termasuk di Dataran Tiggi Gayo.

Terong belanda di luar negeri dekenal dengan nama Tamarillo, merupakan salah satu jenis bahan jus buah “berkelas” yang banyak digemari orang, karena konon berkasiat untuk kesehatan serta dapat mencegah berbagai penyakit. Menurut penelitian, terong belanda banyak mengandung vitamin A yang sangat baik untuk kesehatan mata, vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta vitamin e untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Karena khasiatnya tersebut, terong belanda kini sudah menjadi salah satu komoditi pertanian unggulan yang memiliki prospek ekonomi sangat baik. Selain dikonsumsi dalam bentuk jus maupun sebagai pelengkap rujak, terong belanda juga sudah diolah menjadi syrup, sari buah maupun minuman siap saji (soft drink).

Beberapa daerah di Indonesia sudah banyak mengembangkan komoditi ini sebagai penyangga pereonomian petani, karena dari waktu ke waktu, harga komoditi ini terus meningkat seiring dengan terus bertambahnya permintaan pasar akan komoditi ini. Daerah Berastagi, Sumatera utara merupakan salah satu daerah yang sudah mengembangkan komoditi ini secara intensif, bahkan produk terong belanda dari Berastagi sudah menembus pasar ekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Korea, Jepang dan beberapa negara Eropa. Luas areal penanaman terong belanda di daerah ini sudah mencapai ratusan hektare.

Begitu juga di Dataran Tinggi Kerinci, Jambi, komoditi ini juga sudah lama dikembangkan secara monokultur dalam areal yang cukup luas, karena nilai ekonomisnya tidak kalah dengan komoditi hortikultura lainnya. Wilayah Toraja di Sulawesi Selatan juga merupakan salah satu sentra produksi terong belanda di Indonesia bagian timur, di daerah ini juga sudah dikembangkan ratusan hektar tanaman terong belanda. Sementara di Pulau Jawa, pengembangan komoditi terong belanda dalam skala ekonomi, sudah mulai dikembangkan di daerah Ciwidey dan Pangelangan, Jawa Barat.

Belum digarap secara optimal di Gayo.

Di Dataran tingi Gayo, terong belanda sebenarnya sudah puluhan tahun dikembangkan oleh petani dan pertumbuhan serta kualitas produksinya juga sangat baik, karena kondisi agroklimat Datran Tinggi Gayo memang sesuai untuk syarat tumbuh terong belanda. Tapi sayangnya, samai dengan saat ini terong belandahanya sebagai tanaman selingan pada kebun kopi atau lahan pertanian hortikultura, belum dibudidayakan secara khusus. Padahal pada saat ini harga pasarnya cukup menggiurkan, seperti di pasar Paya Ilang, Takengon misalnya, terong belanda dengan kualitas baik harganya bisa mencapai 25 sampai 30 ribu rupiah per kilogram. Sementara di tempat penjualan buah di daerah Simpang Balik, Bener Meriah, harganya bisa lebih tinggi, mencapai 40 ribu rupiah per kilogramnya, itupun stoknya sangat terbatas akibat minimnya pasokan dari petani.

Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat singgah di salah satu kafe di kawasan Peunayong, Banda Aceh dan memesan segelas jus terong belanda, kemudian saya mencoba bertanya kepada pemilik kafe darimana dia mendapat pasokan terong belanda. Pemilik kafe menjawab bahwa pasokan terong belanda untuk kafenya dan banyak kafe yang ada di Banda Aceh, rata-rata dipasok dari Brastagi dan Kerinci. Kemudian saya bertanya kembali, kenapa tidak meminta pasokan dari Takengon atau Gayo?, pemilik kafe itu menjawab bahwa kalau untuk pesanan dalam jumlah besar, dan rutin setiap minggunya tidak ada pedagang di Takengon yang menyanggupinya, karena katanya produksi terong belanda di Takengon dan sekitarnya tidak kontinyu.

Saya jadi berfikir, kenapa tidak dicoba membudidayakan terong belanda ini di Dataran Tinggi Gayo ini secara intensif, padahal permintaan pasar cukup besar dan harganyapun relatif tinggi. Banyak sekali lahan-lahan marginal yang selama ini dibiarkan terlantar, bisa dijadikan areal pertanaman komoditi ini, karena budidaya terong belanda tidak terlalu sulit dan tidak membutuhkan modal besar, begitu juga dengan perwatan dan pemeliharaannya, relatif mudah disbanding komoditi lainnya.  Rata-rata petani di Gayo lebih berfokus kepada komoditi kopi dan hortikultura seperti kentang, cabe, tomat, kol dan bawang, padahal nilai ekonomis terong belanda juga tidak kalah dibandingkan dengan komoditi-komoditi lainnya. Tapi kebanyakan petani belum merasa yakin bahwa komoditi terong belanda bisa jadi andalan untuk perekonomian mereka. Minimnya wawasan petani terhadap komoditi-komoditi bernilai ekonomis tinggi ditambah kurangnya penyuluhan dari petugas, bisa ditengarai sebagai sebagai salah satu penyebab terong belanda sampai saat ini belum dibudidayakan secara intensif di Gayo.

Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi jajaran dinas terkait untuk bisa membangkitkan minat petani untuk mulai “melirik” komoditi terong belanda ini sebagai alternatif pengembangan komoditi pertanian di Gayo. Apalagi Dataran Tinggi Gayo merupakan sayah satu daerah tujuan wisata, tentu saja terong belanda akan bisa jadi salah satu daya tarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Menjamurnya kafe yang menyediakan aneka jus, juga merupakan peluang pasar lokal terong belanda yang menjanjikan. bagi petani, karena dari pengamatan penulis di beberapa kafe di seputaran Takengon, jus terong belanda merupakan salah satu jenis jus yang banyak diminati pengunjung kafe.

Membawa para petani ke daerah sentra produksi terong belanda seperti Berastagi atau Kerinci untuk magang disana, mungkin bisa jadi salah satu kunci pembuka wawasan petani. Apalagi kalau mereka sampai mengetahui bahwa prospek pasar komoditi ini kedepan tetap bagus. Begitu juga dengan para penyuluh pertanian, membuat demplot percontohan terong belanda di wilayah kerja mereka, mungkin juga bisa menjadi penarik minat petani untuk mengembangkan komoditi ini. Banyak membaca referensi serta informasi tentang teknis budidaya serta prospek ekonomi komoditi terong belanda, mutlak diperlukan oleh para penyuluh agar bisa memberikan informasi dan motivasi kepada petani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun