Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Permata Biru dari "Penunggu" Atu Belah

31 Januari 2015   18:05 Diperbarui: 13 September 2016   14:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14226774782049256336

Pagi itu aku bersama dua temanku Hendra dan Anton mendapat tugas dari kantor untuk melakukan survey di wilayah tengah Aceh, kali ini tujuan survey kami adalah kawasan hutan di wilayah gayo Lues, kami segera menyiapkan segala keperluan survey, tidak lupa kami juga menyiapkan bekal makanan dan minuman, karena kemungkinan kami akan berada di kawasan hutan sampai beberapa hari.

 

Setelah semua persiapan beres dan sudah masuk ke bagasi belakang double cabin, Hendra segera menjalankan mobil ke tempat tujuan survey, kami sengaja memilih jalur alternatif untuk mempersingkat jarak tempuh. Perjalanan kali ini dimulai dengan menyusuri pinggiran Danau Laut Tawar ke arah Bintang, pemandangan pagi di sekitar danau itu terlihat indah, nampak beberapa perahu nelayan berada di tengah-tengah danau, dari kejauhan hijaunya pohon pinus di sekeliling danau juga menambah indahnya pemandangan pagi di Tanoh Gayo.

 

Sekitar 20 kilometer jalan di pinggiran danau itu telah kami lewati, kni kendaraan kami mulai memasuki jalanan lebar yang masih belum beraspal, jalan itu masih dalam pengerjaan, di kanan kiri jalan jalan masih bertumpuk material dan beberapa pekerja terlihat sedang memasang balok cor parit drainase. Sekitar 30 menit kami menyusuri jalan berbatu itu, kami sampai di simpang Serule, kami mengambil jalan kanan yang sudah beraspal mulus, kami merasa makin nyaman berada di atas kendaraan, sudah sering aku melewati jalan itu, sehingga aku sudah hafal nama-nama desa-desa kecil di sepanjang jalan itu.

 

Tiba di sebuah tikungan di kawasan hutan pinus, menjelang masuk ke desa Penarun, mendadak mobil yang kami tumpangi mogok, mesin mati tiba-tiba. Kami keluar dari mobil, Hendra dan Anton yang memang tau tentang mesin segera memeriksa kondisi mobil, Hendra membuka kap mobil dan Anton mengeluarkan tool kit dari dalam mobil, sementara aku yang nggak tau urusan mesin memilih menyingkir ke pinggir jalan. Tak jauh dari tempat mobil kami mogok, aku melihat sebuah batu besar yang terbelah ditengahnya, “mungkin ini yang sering diceritakan orang sebagai Batu Belah atau atau yang sering disebut teman-temanku sebagai Atu Belah” pikirku, aku berjalan mendekati batu itu, tidak lupa aku menenteng tas kecilku yang berisi botol air mineral dan beberapa bungkus roti, aku juga memasukkan sebungkus nasi kedalam tasku. Tiba di dekat batu itu, aku segera teringat tentang legenda Atu Belah yang pernah aku baca dari buku cerita dan juga pernah aku dengar dari cerita orang-orang tua di Gayo, tapi ingatan itu tak membuat aku lantas percaya dengan semua cerita itu, aku menganggap itu hanya legenda rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut tanpa penah bisa dibuktikan kebenarannya.

 

Foto Ilustrasi Atu Belah, di Desa Penarun

 

Baru saja aku akan duduk di dekat batu itu, aku seperti mendengar tangisan seorang anak kecil, aku celingukan kesana kemari mencari arah suara itu, tapi aku nggak melihat siapa siapa. Karena penasaran, akupun berusaha mencari asal suara itu, kulangkahkan kakiku memasuki hutan pinus sambil memasang telingaku. Suara tangis itu terasa semakin dekat, akupun berusaha mendekati arah suara itu. Ternyata benar, dibawah sebuah pohon pinus besar yang umurnya mungkin sudah ratusan tahun, kulihat seorang perempuan muda menggendong anak perempuan kecil yang kutaksir umurnya sekitar dua tahun. Perempuan itu terlihat pucat, di dada kanannya seperti ada bercak darah, aku mencoba mendekat, perempuan itu tidak beringsut dari tempatnya, begitu juga anak kecil digendongannya yang masih terus menangis, tangisnya begitu memilukan, “mungkin dia lapar” pikirku, aku mengeluarkan air munum dan beberapa bungkus roti dan menyerahkannya kepada perempuan itu,

 

“Mungkin anak ibu lapar, coba berikan ini”, perempuan itu menerima pemberianku tanpa berkata sepatah katapun lalu segera memberikan minum kepada anaknya, usai meneguk air itu kulihat anak kecil itu mulai agak tenang, perempuan itu membuka plastik bungkus roti kemudian memberikan roti itu kepada anak yang ada di gendongannya, dia menyuapkan roti itu ke mulut anaknya, aku semakin merasa treyuh melihat pemandangan itu, anak kecil itu begitu lahap memakan roti pemberianku, sepertinya dia memang sangat kelaparan. Hanya dalam sekejap, roti=roti itu hanya tinggal bungkusnya, tapi anak itu masih kelihatan lapar, aku tidak tega melihatnya, kuambil nasi bungkus dari tasku dan kembali kuserahkan kepada perempuan itu, dan seperti tadi perempuan itu menerima pemberianku tanpa berkata sepatahpun. Dia segera membuka bungkus nasi dan kembali menyuapi anaknya. Usai menghabiskan setengah bungkus nasi, anak kecil itu mulai terlihat menguap dan tidak lama kemudian tertidur di gendongan ibunya.

 

Aku yang dari tadi menyaksikan pemandangan meilukan itu seperti terpana dan tak mampu berkata-kata, aku mencoba menenangkan diriku, aku mulai berfikir siapa perempuan dan anak kecil itu, dari mana asal mereka dan kenapa ada di tempat itu, kuberanikan diri untuk bertanya,

 

“Maaf bu, dimana rumah ibu?”, perempuan itu tidak menjawab dia hanya menunjuk kesatu arah, aku memperhatikan arah telunjukkanya, aku agak terkejut arah yang ditunjuk perempuan itu adalah batu besar di pinggir jalan itu, tapi aku tidak begitu memikirkannya, mungkin di seberang batu sana ada sebuah perkampungan dimana perempuan itu tinggal.

 

Kuperhatikan kembali tubuh perempuan dengan seksama, wajahnya masih tetap pucat, bercak darah juga masih terlihat menempel di bagian dadanya, aku merasa iba melihatnya,

 

“Sepertinya ibu terluka, apa ibu mau ikut saya biar nanti di obati”, kembali perempuan itu menggeleng, aku tidak bisa memaksa, aku kembali memeriksa tasku, masih ada beberapa bungkus roti, aku kembali menyerahkan roti itu,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun