Bulan Maret 2017 ini, kami sekeluarga punya hajatan besar yaitu menikahkan putra sulung kami, tentu nya kami harus menyiapkan segala sesuatunya agar acara tersebut bisa berjalana sukses dan lancar. Kalau soal persiapan materiil, mungkin tidak begitu menjadi masalah bagi kami sekeluarga, karena jauh hari sebelumnya kami memang sudah mempersiapkannya, selain itu kami juga sudah sejak lama “menitipkan” berbagai keperluan kepada tetangga atau saudara dekat, dan kami tinggal manariknya kembali pada saat kami membutuhkannya. Bantuan dari teman dan sanak famili, Alhamdulillah juga mengalir lancar untuk meringankan beban kami, jadi meski kami bukan termasuk keluarga mampu, tapi nyaris tidak ada kendala untuk persiapan materi.
Yang kemudian membuat sedikit “ribet”, adalah masalah adat perkawinan yang harus kami pakai dalam hajatan kami ini. Secara historis, baik saya maupun isteri saya memang berdarah Jawa, tapi sudah puluhan tahun kami berdomisili di daerah Gayo dan bergaul serta berinteraksi dengan masyarakat Gayo, sementara calon menantu dan besan kami berasal dari etnis Aceh. Disinilah kemudian perlu kearifan untuk memilih prosesi adat yang akan kami jalani dalam hajatan keluarga ini. Mempertahankan adat Jawa yang menjadi warisan leluhur kami, mungkin sebuah keharusan, sementara menjunjung adat dimana kami bertempat tinggal juga tidak boleh
Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya saya bersama isteri memutuskan untuk mengaplikasikan ketiga adat yang berbeda tersebut dalam hajatan yang akan kami gelar. Pepatah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” benar-benar ingin kami terapkan dalam acara keluarga kami, meski sebenarnya tidak ada keharusan bagi kami, tapi kami merasa harus menghormati semua adat yang ad dalam kehidupan dan lingkungan kami.
“Berguru” dengan Adat Gayo
Di Wilayah Dataran Tinggi Gayo, setiap ritual pernikahan selalu diawali dengan acara “berguru”. Acara yang sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat Gayo ini, akhirnya juga menjadi bagian awal dari prosesi hajatan pernikahan putra kami. Berguru sendiri merupakan adat untuk memberikan pembelajaran atau memberi pengajaran kepada calon mempelai, agar dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya kelak bisa berjalan tenteram dan bahagia.
Disaksikan oleh sanak famili dan seluruh tetangga, acara berguru dimulai dengan penyerahan “buet” (pekerjaan selama hajatan) dari pihak keluarga kepada aparat desa yang terdiri dari Reje(Kepala Kampung), Imam Kampung dan Petue (Sesepuh Kampung). Selanjutnya aparat kampung yang diwakili oleh Reje, akan menerima pekerjaan selama hajatan tersebut kemudian menyerahkannya kepada seluruh warga untuk membantu tuan rumah sampai dengan selesainya hajatan nanti.
Tiga serangkai aparat kampung yang terdiri dari Reje, Imam dan Petue, sebagai orang yang dituakan dan dihormati di desa/kampung, juga didudukkan secara khusus diatas ampang, itu sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Acara ini menjadi penting, karena berisi nasehat berharga tentang bagaimana seseorang akan mengarungi kehidupan baru dalam biduk rumah tangga.Dan untuk mendo’akan keselamatan bagi calon mempelai, Imam Kampung kemudian melanjutkan acara dengan memimpin do’a.
Alhamdulillah, acara bergurupun berjalan lancar, dan satu adat Gayo telah kami jalani sebagai penghormatan kami kepada masyarakat Gayo yang menjadi bagian dari kehidupan kami.
Mengikuti Adat Aceh