Sejak diperkenalkan dalam pameran Agro Expo yang digelar oleh Agro Product ang Technology Expo (APTEX)di Jakarta International Expo, Kemayoran, pada tanggal 5 sampai 8 Mei 2016 yang lalu, Jus Satoimo mulai banyak dikenal dan digemari oleh banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Awalnya jus ini memang agak “aneh” terdengar di telinga, karena namanya mirip-mirip bahasa Jepang. Nggak salah memang, karena jus ini tidak seperti jus lainnya yang menggunakan buah sebagai bahan dasarnya, tapi jus ini menggunakan umbi talas Jepang atau yang dikenal dengan nama talas Satoimo.
Dalam pameran pertanian terbesar itu, para pengunjung pameran seperti “terhipnotis” untuk mencoba jus yang berbeda dengan jus yang mereka kenal sebelumnya. Stand pameran pemerintah provinsi Aceh yang menyajikan jus satoimo itu nyaris selalu dipenuhi pengunjung yang penasaran ingin mencoba jus yang konon bisa membuat awet muda itu.
Kisah tentang jus yang cukup fenomenal ini berawal dari sebuah kafe kecil di komplek Balai Diklat Pertanian Saree, Aceh, yaitu Kafe Horas, jus satoimo kini mulai dikenal dan digemari orang di bebagai kota besar seperti Banda Aceh, Medan, Batam, Jakarta, bahkan belakangan mulai diperkenalkan di beberapa kota di negara Jepang. Meski nama jus ini agak berbau Jepang, tapi pencipta atau penemu pertama jus ini bukanlah orang Jepang, tapi justru berasal dari Aceh, agak unik memang, bahkan warga Jepang pun mengenal jus ini setelah diperkenalkan oleh sang penemunya.
Mau tau siapa dia? Tidak terlalu sulit menelusurinya, karena dalam beberapa bulan terakhir, jus satoimo yang ditengarai bisa membuat awet muda karena kandungan zat pembentuk collagen dalam umbi talas jepang tersebut, sudah banyak dipublikasikan oleh berbagai media, bahkan televisi lokal AcehTV juga sudah menyangkannya beberapa kali. Dari informasi di berbagai media itu, akhirnya publik kemudian tau siapa sosok yang pertama sekali berinovasi “menciptakan” jus satoimo yang kini sudah menjelma menjadi tren minuman sehat itu.
Dua tahun yang lalu, dia mendapatkan informasi tentang komoditi prtanian yang selama ini nyaris belum dikenal oleh para petani di Aceh. Komoditi pertanian itu bernama Talas Jepang Satoimo (Colocasia Esculenta var Aquarum), salah satu komoditi pangan alternative yang sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942 yang lalu. Namun karena tidak adanya informasi yang memadai tentang prospek pasar talas ini di Negara asalnya Jepang, maka komoditi ini nyaris tidak pernah di”lirik” oleh siapapun, padahal saat ini pasar Jepang masih sangat terbuka untuk ekspor komoditi ini, karena talas satoimo, kini sudah jadi salah satu bahan pangan utama bagi warga Jepang.
Sebuah kebetulan mungkin, tanpa disengaja, suatu kali Mukhtar bertemu dengan seorang pengusaha asal Tangerang bernama Andy Christiantoyang ternyata sudah beberapa tahun merintis usaha ekspor talas satoimo ke Jepanag, dari perkenalan itu, akhirnya Mukhtar mulai tertariak untuk terjun dalam bisnis yang sudah cukup lama digeluti Andy. Tapi kemudian banyak kendala yang dia temui saat memulai bisnisnya, karena belum ada satu orang petanipun di Aceh yang menanam talas jepang ini. Disinilah kemudian muncul jiwa kepeloporan Mukhtar, dengan modal sendiri, dia mendatangkan bibit talas jepang dari pulau Jawa untuk dikembangkan di Aceh. Agak sulit awalnya mengajak petani di daerahnya untuk mengembangkan komoditi yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, tapi berkat ketekunannya dengan membuat demplot percobaan sendiri, akhirnya para petani di daerah Aceh Besar mulai tertarik untuk membudidayakan komoditi pangan baru ini. Apalagi setelah Mukhtar kemudian menjamin pemasaran produk yang dihasilkan oleh petani nantinya, lewat perusahaan miliknya CV Rizqia Perdana, Mukhtar memang siap untuk menampung dan mengekpor talas jepang yang dihasilkan oleh petani di daerahnya.
Setelah “berjuang” selama dua tahun untuk memperkenalkan dan mengembangkan talas jepang di daerahnya, usaha Mukhtar mulai menampakkan hasil, sudah ada ratusan hektar areal pertanaman talas jepang di kabupaten Aceh Besar yang siap mensuplai bahan baku ekspor bagi perusahaannya. Untuk urusan ekspor, nyaris tidak ada kendala, karena selain bekerjasama dengan Andy, ukhtar juga sudah menjalin kerjasama dengan mitra bisnis di negeri matahari terbit itu melalui Konsorsium Talas Satoimo.
Tak puas hanya dengan bisnis ekspornya, Mukhtar juga ingin talas jepang dari Aceh ini juga bisa dikonsumsi oleh masyarakat dalam negeri, karena dia sudah merasa yakin bahwa talas yang dia perkenalkan itu memiliki khasiat bagi kesehatan. Dia memulai berfikir bagaiman agar talas satoimo bisa digemari oleh masyarakat Indonesia. Suatu kali, saat Mukhtar menikmatii talas jepang mentah yang rasanya mirip-mirim bengkoang itu, dia berfikir kalau talas jepang ini dibuat jus tentu akan lebih praktis dan akan digemari oleh mereka yang sudah mencobanya. Idenya langsung dia realisasikan, kebetulan dia punya hubungan relasi dengan drh. Ahdar, MP yang tidak lain adalah Kepala Balai Diklat Pertanian Saree, Aceh.
Mendengar penjelasan Mukhtar tentang idenya membuat jus berbahan talas jepang, Ahdar pun langsung merespon. Bekerjasama dengan pengelola Horas Café yang berada di komplek Balai Diklat Pertanian itu, Mukhtar mulai memperkenalkan jus baru hasil ciptaannya itu kepada para pengunjung kafe yang rata-rata para penikmat kopi Gayo yang merupakan minuman utama di kafe itu.
Meski harus merogoh kocek sendiri untuk promosi hasil penemuannya yang kemudian dia beri nama “Jus Satoimo” itu, namun Mukhtar tidak mengenal kata putus asa. Dia undang para pejabat Aceh mulai dari Gubernur, Pimpnan Dewan, para Kepala Instansi Pemerintah di provinsi Aceh, para Bupati dan Walikota untuk mencicipi jus ciptaannya itu. Begitu juga kepada setiap tamu dari Kementerian Pertanian mengunjungi Aceh, Mukhtar tidak lupa memperkenalkan jus barunya itu.