“Saya semakin merasakan bahwa darah yang saya donorkan itu sejatinya bukan darah saya, tapi darah saudara saya yang dititipkan Tuhan dalam tubuh saya, dan pada saat saudara saya membutuhkannya, saya berkewajiban untuk memberikannya. Saya merasa tidak sedang menyumbangkan darah saya, tapi saya merasa sedang “mengembalikan” darah saudara saya yang dititipkan di tubuh saya”
Sampai setua ini, saya termasuk orang yang paling jarang berhubungan dengan jarum suntik, bukan karena alergi, tapi saya memang rada-rada ngeri kalau harus bertemu dengan benda kecil berujung tajam itu. Alhamdulillah, sudah lima puluh tahun umurku, tapi belum sampai sepuluh kali tubuhku ditusuk “senjata”nya dokter dan perawat itu, selain agak takut, saya juga termasuk jarang sakit berat yang mengharuskan saya berhadapan dengan jarum suntik. Seingat saya, pertama kali saya merasakan tajamnya jarum suntik adalah ketika saya di khitan dulu pada saat berusia sebelas tahunan, dan setelah itu jarang sekali saya bertemu dengan benda itu.
Tapi anehnya, meski “takut” berhadapan dengan jarum suntik, tapi justru saya sama sekali nggak takut atau ngeri ketika harus “dicoblos” dengan jarum yang lebih besar. Yang saya maksud adalah jarum tranfusi yang dipakai untuk “menyedot” darah saat melakukan donor. Meski tak terlalu sering, tapi sudah belasan kali saya “menumpahkan darah” dan mengalirkannya ke tubuh orang lain yang saat itu membutuhkannya.
Pertama kali saya melakukan donor darah, adalah tepat saat republik ini memperingati ulang tahunnya ke lima puluh yaitu pada tanggal 17 Agustus 1995 yang lalu, itupun terjadi secara tidak sengaja. Ceritanya waktu itu saya akan mengikuti upacara bendera memperingati detik-detik proklamasi di halaman kantor bupati, karena tempat parkir sepeda motor sudah penuh, maka kuputuskan untuk menitipkan kendaraan dinas yang biasa saya pakai di rumah abang angkatku yang kebetulan tinggal tidak begitu jauh dari kantor bupati. Dan sebagai “abdi Negara” yang patuh, sayapun mengikuti rangkaian upacara sampai selesai ditengah teriknya matahari yang lumayan menyengat kulit.
Usai menjalankan “tugas Negara”, sayapun kembali ke rumah abang angkat untuk mengambil “kereta” saya. Kebetulan abang angkat saya yang karyawan swasta lagi libur, dia sedang memberi makan beberapa burung peliharaannya. Melihat kedatangan saya, abang saya memanggil, sayapun mendekat,
“Begini dik, ada anak saudara kita sedang mengalami pendarahan setelah di khitan secara kampung, sekarang dia di rumah sakit dan butuh tambahan darah, golongan darah kamu apa dik?” tanya abang angkatku,
“O bang” jawabku singkat,
“Kalau begitu kebetulan, kira-kira bisa nggak kamu jadi pendonor?” tanya abang saya lagi, waktu itu saya belum pernah jadi donor dan nggak tau bagaimana rasanya diambil darah, tapi saya langsung menyanggupi,
“Boleh bang” jawabku mantap.
Abang angkat saya segera menyiapkan mobilnya, tapi saya memilih untuk mengendarai sepeda motor ke rumah sakit, akhirnya abang saya juga memilih untuk memakai sepeda motornya, kami pun berangkat bersama dengan kendaraan berbeda. Tanpa banyak basa basi, saya segera menuju ke laboratorium rumah sakit, seorang perawat segera memeriksa dan mengecek golongan darah dan HB saya. Golongan darah sudah sesuai dengan yang tercantum di KTP saya dan HB juga di atas 13, kata si perawat saya bisa jadi pendonor.
Perawat tadi segera mengajak saya ke ruang donor, menyuruh saya berbaring di bed yang sudah tersedia, sementara seprang perawat lagi mempersiapkan segala sesuatunya, kulihat sebuah jarum berukuran lebih besar dari jarum suntik yang tersambung dengan selang yang berujung pada kantong plastik khusus. Entah kenapa waktu itu saya sama sekali tidak merasa takut ketika jarum besar itu di”colok”kan di lengan kananku, tak lama kemudian cairan berwarna merah segera mengalir dari lenganku mengisi kantong plastik di ujung selang, saya memperhatikan darah itu mengalir “deras” melewati selang kecil itu,