Bagi kebanyakan pegawai negeri sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN), ijazah dan gelar kesarjanaan memang menjadi andalan untuk meraih obsesi baik berupa pangkat, jabatan atau posisi tertentu. Karena, regulasi yang berlaku di kalangan Abdi Negara tersebut memang masih terkesan “mendewakan” ijazah atau gelar kesarjanaan.
Penilaian terhadap kinerja aparatur sipil negara tersebut, sampai saat ini nyaris belum menerapkan proporsionalitas dan profesionalitas yang mengedepankan karya dan kreativitas serta skill individu sebagai ukuran. Sehingga yang banyak terjadi sekarang adalah, fenomena sarjana yang sebenarnya tidak memiliki skill yang memadai, kemudian menduduki posisi strategis di suatu instansi atau lembaga pemerintahan, sementara sebagian dari mereka yang sebenarnya memiliki skill dan kreativitas, terpaksa harus tersisih, hanya akbit mereka tidak memiliki ijazah atau gelar kesarjanaan. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai akar daru karut marutnya urusan birokrasi di negeri ini.
Padahal ijazah bukanlah satu-satunya ukuran kualitas dan kapasitas seorang ASN, masih banyak aspek yang mempengaruhi kualitas sang Abdi Negara, apalagi kalau ijazah dan gelar kesarjanaan itu memang hanya dikejar untuk memenuhi syarat untuk meraih obsesi mereka. Kalau untuk mereka yang benar-benar meraih ijazah dan dan gelar kesarjanaan dengan cara kuliah sesuai prosedur, boleh jadi kualitas mereka memang bisa di andalkan, tapi untuk para pegawai yang memperoleh ijazah mereka secara “instan” karena hanya akan menggunakan ijazah sebagai alat untuk meraih ambisinya, tentu tidak ada jaminan kualitas dibalik ijazah dan gelar kesarjanaan yang mereka bangga-banggakan itu.
Ijazah bukanlah satu-satunya ukuran seorang pegawai negeri sipil untuk menunjukkan prestasi terbaiknya, banyak tokoh-tokoh penting di negeri ini yang tidak bergelar sarjana, sebut saja mantan Wakil Presiden Adam Malik, pengusaha sukses Bob Sadino, Ulama besar dan penulis sastra kawakan Buya Hamka, budayawan “Cak Nun” Emha Ainun Najib, bahkan presenter talk show yang sangat populer dengan tayangan “Kick Andy”, Andi F Noya, juga merupakan contoh dari sosok –sosok sukses yang tidak bergelar sarjana.
Dan itu pula yang kemudian sudah dibuktikan oleh seorang Penyuluh Kehutanan dari Kabupaten Aceh Tengah. Tetap “kekeuh” dengan ijazah SLTA yang dikantonginya, penyuluh kehutanan ini terus berkiprah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang di embannya. Dan seiring dengan berjalannya waktu, penyuluh yang satu ini telah melakukan pembuktian yang bisa jadi mampu menjungkir balikkan fakta yang selama ini diyakini oleh sebagian besar kalangan, bahwa mereka yang bergelar sarjana lebih baik dari yang hanya berijazah SLTA. Dan tahun 2016 ini jadi ajang pembuktian salah seorang pegawai negeri sipil yang hanya berijazah SLTA, tapi mampu meraih prestasi jauh diatas mereka yang bergelar sarjana bahkan master sekalipun.
Baru dua hari sebelumnya dia menerima penghargaan sebagai Penyuluh Kehutanan Terbaik Tingkat Provinsi Aceh, sebuah “kejutan” kembali dihadirkan oleh penyuluh kehutanan dari Kabupaten Aceh Tengah ini. Hari ini, Senin (25/7/2016), Kana Emnurlis sang penyuluh kehutanan yang bertugas di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Jagong Jeget, Aceh Tengah itu kembali meraih penghargaan spektakuler di bidang lingkungan hidup.
Bertempat di Kantor Gubernur Aceh bersamaan dengan puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Kana menerima Penghargaan Kalpataru Tingkat Provinsi Aceh untuk kategori Pengabdi Lingkungan,sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada para pegiat dan pengabdi lingkungan hidup.
Raut kebahagiaan jelas terpancar dari sosok penyuluh bersahaja kelahiran Aceh Selatan 30 September 1972 ini, didampingi Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Aceh Tengah, Ir. Zikriadi, MM, Kana menerima penghargaan itu langsung dari Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah. Dengan predikat tersebut, Kana berhak mewakili provinsi Aceh untuk memprebutkan Anugrah Kalpataru Tingkat Nasional yag akan di laksanakan di Jakarta bulan depan.
Meski hanya berbekal ijazah SLTA, alumni Sekolah Menengah Teknologi Pertanian Takengon (sekarang SMK Negeri 2 Takengon) tahun 1990 ini terlihat percaya diri dengan kemampuannya, terbukti dia mampu berkiprah dan berprestasi melebihi rekan-rekannya yang bergelar sarjana, sungguh sebuah capaian yang luar biasa. Memang tidak mudah baginya untuk meraih semua itu, butuh kesungguhan dan dedikasi serta perjuangan berat, sebelum akhirnya dia mampu memetik hasil yang membanggakan ini.
Selain Kana, dua wakil dari Aceh Tengah juga berhasil meraih penghargaan di tingkat provinsi ini, yaitu SMK Negeri 2 Takengon yang meraih Juara II Sekolah Peduli Lingkungan (Adiwiyata) dan Juara Favorit Duta Lingkunganyang diraih olehsepasang beru bujang GayodariSMA Negeri 4 Takengon.