Kota Takengon yang terletak di Dataran Tinggi Gayo boleh dikatakan sebagai salah satu kota terdingin di Indonesia. Berada di ketinggian rata-rata diatas 1.200 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi oleh perbukitan yang masih banyak ditumbuhi pepohonan, kesejukan udara di kota ini terasa sangat “menggigit” dan “menusuktulang”, terutama pada malam hari dimana suhu udara hanya berkisar 13 sampai 16 derajat Celcius, lebih dingin dari ruangan ber AC.Tapi dinginnya udara malam di kota ini, tidak lantas membuat aktifitas masyarakat di malam hari kemudian terhenti, meski kadang kabut dan embun menyelimuti seluruh kawasan kota, namun geliat aktifitas malam hari tetap terlihat jelas disini.
Kafe-kafe dan warung kopi serta pusat jajan serba ada atau yang populer disebut “Rex”, masih tetap dipadati penggunjung bahkan sampai menjelang pagi. Secangkir kopi Gayo panas atau segelas bandrek ditambah dengan sepiring Mi Aceh yang kaya bumbu rempah, memang mmampu sedikit mengusir dinginnya udara malam di ibukota kabupaten Aceh Tengah ini.
Geliat malam di kafe dan tempat mangkal lainnya semakin rame pada saat ada siaran langsung sepak bola kelas dunia atau Eropa, televisi layar lebar yang memang disediakan oleh para pemilik kafe, jadi daya tarik masyarkat untuk betah berlama-lama begadang disana. Begitu juga para peselancardunia maya, akan merasa nyaman duduk-duduk sambil browsing atau chatting memanfaatkan fasilitas WiFi gratis sambil tentunya menikmati kopi Gayo yang sudah mendunia itu.
Kebiasaan begadang masyarakat Gayo tidak hanya menjadi tren di kafe atau warung kopi, tapi juga terkait erat dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat setempat. Dalam setiap acara resepsi adat keluarga seperti pesrta pernikahan, pesta sunatan/khitanan dan acara pemberian nama anak yang baru lahir atau yang disini dekenal dengan “turun mandi”, begadang semalaman selalu mengiringi acara-acara tersebut. Bahkan untuk acara pesta pernikahan, acara begadang ini bisa sampai dua tiga malam.
Ini memang terkait erat dengan tradisi kekerabatan yang masih melakat erat dalam tatanan masyarakat disini. Resepsi atau yang dalam bahasa setempat disebut “sinte” dari salah satu keluarga, dianggap sebagai acaranya masyarakat sekampung, sehingga semua tetangga “tumplek blek” disana mulai dari H-2 atau H-1 sampai H+1 mulai dari pagi sampai larut malam.
Kegiatan malam dalam “sinte”, selain diisi dengan do’a bersama dipimpn oleh imam atau ulama di kampung setempat, kemudian biasanya dilanjutkan dengan acara begadang yang diisi dengan permainan batu domino bagi para pria dan memukul “canang” (Gamelan khas Gayo) bagi ibu-ibu. Permainan batu domino atau yang oleh masyarakat disini disebut “atu dam” tentu menjadi kegiatan yang mengasyikkan, karena dalam permainan tersebut juga diselingi senda gurau dan candaan baik oleh para pemain maupun penunton yang mengitarinya.
Tidak ada unsur judi disini, tapi ada hukuman bagi pemain yang kalah, misalnya disuruh berjongkok, dicoret wajahnya dengan endapan kopi atau “hukuman” lainnya yang memancing gelak tawa mereka yang berada disana. Permainan penuh canda inipun bisa berlangsung sampai dini hari pada malam mejelang hari H.
Bak pepatah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, aku yang sedah puluhan tahun berinteraksi dengan masyarakat Gayo, akhirnya ikut larut juga dalam kebiasaan tersebut, bahkan sudah sejak awal mulai bergabung dengan masyarakat Gayo saat aku mulai menetap di Takengon lebih dari 30 tahun yang lalu. Bermain batu domino atau atu dam, bahkan sekarang menjadi salah satu hobiku, dalam setiap hajatan yang digelar di kampung tempat tinggalku, kau nyaris idak pernah absen terlibat dalam permainan yang lama-lama makin mengasyikkan ini.
Apalagi dalam acara seperti itu, suasana kekeluargaan antar tetangga menjadi semakin kental, jadi sangat enjoy aku menjalaninya. Menonton atau sekali;kali terlibat langsung sebagai “penepok” (tukang tepuk bantal) dalam pegelaran didong, juga sudah menjadi bagian dari kehidupanku bermasayarakat disini, bahkan meski tidak terlahir di daerah ini, aku juga sudah fasih mendendangkan beberapa syair Gayo, karena bahasa Gayo yang menjadi bahasa sehari-hari disini sudah lama aku kuasai.