Dataran Tinggi Gayo yang meliputi 2 kabupaten yaitu Aceh Tengah dan Bener Meriah, merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki elevasi rata-rata di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl), memiliki tanah yang subur yang didukung oleh kondisi agroklimat yang mempunyai potensi sebagai sentra hortikultura terutama sayuran dataran tinggi seperti kentang, tomat, cabe, kol/kubis, wortel dan buah-buahan seperti jeruk, alpukat, nenas, markisa, kesemek dan sebagainya, disamping tentunya komoditas perkebunan utama berupa kopi arabika.
Hampir semua komoditi hortikultura sepesifik dataran tinggi, tumbuh dan berkembang dengan sangat baik di daerah ini. Produksi sayur-sayuran di kedua kabupaten ini setiap tahun terus meningkat, seiring dengan makin berminatnya para petani untuk melakukan diversifkasi tanaman sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan di luar hasil tanaman kopi mereka, ditambah lagi terus meningkatnya permintaan pasar di luar daerah akan komoditi sayuran ini.
Salah satu komoditi sayuran dataran tinggi yang terus mengalami peningkatan baik luas tanam, luas panen maupun produksinya adalah Tomat ( Lycopersicon escolentum ), pada tahun 2013 yang lalu saja luas tanam komoditi ini di dua kabupaten tersebut mencapai 456 Ha lebih dengan produksi mencapai 27.528 ton. Dari jumlah produksi tersebut hampir 80 persennya dipasarkan ke luar daerah, dan hanya kurang dari 20 persen saja yang dikonsumsi masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan petani tomat di Dataran Tinggi Gayo sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar di luar daerah, fluktuasi harga tomat di pasar beberapa kota yang menjadi tujuan penjualan tomat dari gayo seperti Medan, Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa dan sebagainya, akan berpengaruh langsung terhadap harga komoditi ini di daerah asalnya. Begitu juga dengan lancer tidaknya arus distribusi komoditi ini dari tingkat produen sampai ke konsumen juga akan berpengaruh terhadap harga komodti sayuran yang relative tidak bisa disimpan lama ini.
Menjelang akhir tahun 2014 yang lalu dan memasuki awal tahun 2015 ini, merupakan masa-masa “sedih” bagi petani tomat di daerah ini, harga komoditi ini di tingkat produsen terpuruk tajam sampai dengan, produk segar dari komoditas ini hanya dihargai Rp 500 – 600 per kilogram, padahal dengan harga tersebut, jangankan berharap untung, untuk “kembali modal” saja terasa sulit. Dari pengalaman para petani tomat di dataran tinggi Gayo, biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani untuk usaha tani tomat seluas 1 hektare, mulai dari pengolahan lahan, pengadaan bibit, mulsa, pupuk dan obat-obatan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit sampai panen dibutuhkan biaya kurang lebih Rp. 49.500.000,-, sementara produksi yang di hasilkan berkisar antara 55 – 60 ton per hektare. Jika harga terpuruk sampai dengan Rp 500,- sampai Rp 600,- per kilogram, maka petani tomat hanya mampu mengumpulkan Rp 30.000.000,- sampai Rp.36.000.000,- dari hasil panen mereka, artinya petani bisa merugi hampir Rp 14.000.000 sampai Rp 20.000.000 per hektare, jumlah yang cukup besar untuk ukuran petani.
Anjloknya harga pasar tomat di tingkat produsen saat ini dipengaruhi oleh oleh beberapa hal, antara lain tersendatnya distribusi komoditi ini dari tingkat produsen ke tingkat konsumen akibat terjadinya longsor dan banjir di sebagian jalur distribusi, akibatnya banyak buah tomat yang busuk selama perjalanan dan kualitasnya menurun drastic ketika sampai kepada konsumen, itu menyebabkan harganya juga turun secara drastis. Selain itu, mulai berproduksinya tomat dari kawasan Brastagi pasca letusan gunung Sinabung, juga menjadi “saingan berat” bagi produk tomat dari dataran tinggi Gayo. Pasar dan konsumen di kota Medan dan sekitarnya akan lebih memilih produk dari Tanah Karo tersebut.Petani tomat di brastagi dan sekitarnya lebih memiliki keunggulan kompeteitif dibanding dengan petani tomat Gayo, areal pertanian mereka yang tidak begitu jauh dari kota Medan, menyebabkan prodok yang mereka lebih cepat sampai ke konsumen masih dalam keadaan segar dan dengan kualitas baik, sementara produk dari petani tomat di Gayo, akrena panjang dan lamanya jalur distribusi, menyebabkan produk tersebut ketika diterima konsumen sudah dalam kondisi kualitas yang jauh menurun, padahal kalo di daerah asalnya, kualitas tomat dari gayo juga tidak kalah dengan tomat dari Brastagi.
Itulah dilemma yang sat ini di alami oleh para petani tomat di dataran tinggi Gayo, kalo mereka terus menanam tomat,sementara ini mereka akan terus merugi, tapi jika mereka menghentikan usaha tani tomat mereka, maka pasar-pasar potensial akan di isi oleh produk dari luar gayo, dan itu akan mempersempit peluang pasar bagi produk tomat dari dataran tinggi Gayo.
Ada satu pemikiran sebagai salah satu upaya untuk “menyelamatkan” para petani tomat di gayo pada saat harga produk mereka terpuruk, adalah dengan memanfaatkan teknologi pengolahan hasil. Buah Tomat, untuk sementara ini tidak dipasarkan dalam bentuk segar tapi dijadikan produk olahan tersebih dahulu seperti saos atau pasta, dodol tomat, syrup tomat dan lain-lainnya, dengan demikian harga tomat di tingkat produsen akan sedikit “terdongkrak”, dalam hal ini peran aktif dari stake holders terkait tentunya sangat dibutuhkan oleh para petani.
Semoga saja kondisi dilematis seperti ini segera berakhir, kejadian beberapa tahun yang lalu dimana para petani tomat membuang hasil pertanian mereka ke jalan-jalan atau menghanyutkannya di sungai sebagai bentuk protes atas merosotnya harga produk yang mereka hasilkan, tidak terulang lagi. Masih ada hari esok untuk petani tomat Gayo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H