Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dikerjai Nasi Bungkus

2 Desember 2014   17:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ipung baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan rutinnya, dia meraih gelas kopi yang tinggal seperempatnya lalu menyeruputnya sampai “kandas”, agak terkejut juga dia ketika Pak Hasan, pimpinan kantornya masuk ke ruangannya.

“Lagi sibuk, Pung?” sapa pak Hasan.

“Ah enggak pak, ini baru saja saya menyelesaikan kerjaan hari ini “ ipung memperbaiki posisi duduknya.

“Mau makan duren nggak, Pung?” pak Hasan “memancing” Ipung.

Mendengar kata duren, wajah Ipung langsung berbinar, dia memang hobby banget makan duren, sampe-sampe teman-temannya menjuluki “raja duren

“Mau pak” sambut Ipung antusias.

“Kalo begitu ikut saya” ajak pak Hasan.

Ipung segera mengemasi berkas-berkas di atas mejanya, memasukkan ke dalam laci lalu menguncinya, ia menyambar tas ranselnya lalu bergegas menyusul pak Hasan yang sudah keluar duluan. Pak Hasan yang sudah menunggu di depan mobil, menyerahkan kunci kepada Ipung,

“Kamu saja yang bawa mobil ya, nanti saya yang tunjukin jalannya”

“Sip, pak” Ipung menerima kunci mobil itu, dan keduanya segera meluncur ke jalan menuju sebuah tempat yang disebutkan pak Hasan.

Pak Hasan mengambil remote control kecil yang ada di dekat toast rem tangan, menyalakan musik di mobil itu, segera saja lantunan suara Evie Tamala mengalun lewat audio mobil sound. Pak Hasan nampak sedikit menggerak-gerakkan kakinya mengikuti irama musik, begitu juga Ipung yang juga sedikit menggoyang-goyangkan badannya sambil tangannya terus memegang steur mobil, keduanya tidak terlihat seperti bos dengan anak buahnya. Pak Hasan memang seorang pimpinan yang sangat akrab dengan anak buahnya, dia terlihat fair, tidak jarang dia mengajak anak buahnya untuk sekedar jalan-jalan dan makan-makan di luar, sikapnya ramah dan bersahabat. Ipung termasuk salah satu anak buahnya yang sering di ajak jalan-jalan oleh pak Hasan, dia selalu merasa nyaman pergi bersama bos nya itu, karena kalo sudah di luar kantor, pak Hasan tidak pernah menganggap Ipung sebagai anak buah, tapi lebih menganggap sebagai temannya.

“Pung, tadi saya ditelepon pak Rusdi temanku, katanya dia sedang panen duren di kebunnya, terus dia ngundang saya untuk makan duren disana” pak Hasan membuka perbincangan.

“Wah pasti banyak durennya ya pak” Ipung tampak bersemangat.

“Makanya saya ngajak kamu, kamu kan raja duren” pak Hasan tertawa, Ipung juga ikut tertawa.

Melewati sebuah warung makan padang, pak Hasan meminta Ipung menghentikan mobil, dia menyuruh Ipung untuk membeli tiga bungkus nasi. Ipung turun dari mobil langsung menuju warung makan itu, dalam hatinya dia agak heran, mereka cuma berdua tapi kok pak Hasan menyuruhnya membeli nasi tiga bungkus, tapi dia nggak bertanya lagi, dia menuruti saja perintah bosnya itu.

Selesai membeli nasi, mereka melanjutkan perjalanan melewati jalan menuju daerah perkebunan yang ada di kaki sebuah bukit, jalan yang dilalui lumayan bagus, hanya sekali-sekali saja mereka menjumpai lubang-lubang kecil di jalanan. Melewati sebuah jembatan kecil, pak Hasan meminta Ipung kembali menghentikan mobilnya, katanya dia mau buang air kecil.

Agak lama juga pak Hasan ke sungai kecil itu, mungkin tiba-tiba dia sakit perut, pikir Ipung, dia melirik ke arah plastik berisi nasi bungkus yang diletakkan di jok tengah, timbul rasa laparnya, apalagi dari pagi tadi perutnya baru terisi sepotong kue dan segelas kopi. Ipung meraih plastik itu dan mengambil sebungkus nasi, dan tanpa ba bi bu lagi, sebungkus nasi padang itu segera di”embat”nya, ia mengelap mulutnya dengan tissue. Tidak lama kemudian pak Hasan sudah kembali ke mobil, Ipung kembali menjalankan mobilnya.

“Habis tikungan di depan itu, kita sudah nyampe” pak Hasan memberi aba-aba, Ipung meminggirkan mobil di tempat yang ditunjuk pak Hasan.

“Mobil kita taruh disini saja, kita jalan kaki karena mobil nggak bisa masuk ke kebun pak Rusdi” kata pak Hasan sambil membuka pintu mobil, Ipung memasukkan plastik berisi nasi bungkus ke dalam tasnya, mengunci pintu mobil lalu berlari kecil menyusul pak Hasan yang sudah berjalan duluan memasuki jalan kecil yang sedikit mendaki, jalan menuju kebun itu ternyata hanya jalan setapak yang tidak bisa dilewati kendaraan, untungnya jalan itu dinaungi pepohonan sehingga mereka tidak merasakan kepanasan.

Sudah hampir dua puluh menit mereka menyusuri jalan setapak yang berliku dan agak licin itu, pak Hasan menghentikan langkahnya.

“Sedikit lagi kita sampe ke kebun pak Rusdi, kita istirahat dulu sebentar” pak Hasan mengambil beberapa lembar daun waru, meletakkan di tanah yang agak tinggi lalu duduk di atasnya, Ipung juga mengikuti apa yang dilakukan pak Hasan.

“Pung, coba keluarin nasinya dua bungkus, kita makan dulu, sudah lapar nih” pinta pak Hasan.

Ipung mengeluarkan dua bungkus nasi, dia sengaja tidak mengeluarkan plastiknya karena dia tidak mau pak Hasan tau bahwa nasinya tingal dua bungkus. Ipung menyerahkan sebungkus nasi kepada pak Hasan, dan mereka mulai menikmati makan siang di alam bebas itu, semilir angin di sela-sela pepohonan menambah nikmat suasana makan mereka.

Selesai makan, mereka kembali melangkahkan kaki, dari kejauhan sudah terlihat sebuah gubuk di tengah kebun yang dipenuhi pohon-pohon durian, mereka mempercepat langkah menuju gubuk itu.

Sampai disana pak Rusdi sudah menunggu, ada tumpukan buah durian di dalam gubuk yang hanya beratapkan ilalang  dan berdinding papan itu, tidak ada perabotan apapun, hanya ada balai-balai kayu  dengan sebuah tikar di atasnya. Memang pak Rusdi tidak tinggal di gubuk itu, dia hanya menggunakan gubuk itu kalo sedang berada di kebun untuk merawat atau memanen pohon-pohon duriannya.

“Selamat datang pak Hasan, maaf nih tempatnya cuma seperti ini” pak Rusdi menyambut kedua tamunya.

“Terima kasih pak, malah suasana seperti ini menyenangkan sekali, udaranya segar dan banyak pepohonan ” sahut pak Hasan, ketiganya lalu duduk di balai-balai itu. Ipung sudah tidak tahan melihat tumpukan durian itu, aroma khas durian yang keluar dari buah berduri itu membuat dia menelan ludahnya.

Setelah berbasa-basi sedikit, pak Rusdi segera memilih beberapa buah durian yang terbaik, dia meraih parang di dekatnya lalu mulai membelah durian-durian itu.

“Silahkan pak Hasan dan mas…..” pak Rusdi mempersilahkan tamunya untuk mencicipi hasil kebunnya, dia belum mengenal Ipung karena memang baru sekali itu bertemu.

“Ipung” sahut Ipung memperkenalkan diri.

“O ya mas Ipung, silahkan di coba” sambung pak Rusdi, dan “pesta duren” pun segera dimulai, Ipung tampak bersemangat, hanya dalam beberapa menit saja tujuh buah durian berukuran “jumbo” hanya tinggal kulitnya saja, sementara isinya sudah berpindah ke perut gendut Ipung, dia benar-benar menunjukkan “jati diri”nya sebagai “raja duren”, sementara pak Hasan baru menghabiskan dua buah. Durian-durian pak Rusdi memang istimewa, daging buahnya tebal, rasanya manis alami dan baunya harum khas.

Pak Rusdi mau membelah lagi duriannya, tapi pak Hasan mencegahnya,

“Sudah cukup pak, nanti kami bisa pingsan kekenyangan” canda pak Hasan.

Pak Rusdi mengambil dua botol air mineral dari tas yang tergantung di dinding gubuk dan menyerahkan kepada kedua tamunya,

“Terima kasih pak” Ipung dan pak Hasan menjawab hampir bersamaan.

Ketiganya lalu terlibat perbincangan kesana kemari, sampe matahari yang terlihat disela-sela pohon-pohon durian mulai condong ke barat.

“Pak Rusdi, nampaknya sudah sore nih, saya mohon pamit” pak Hasan bangkit dari duduknya “terima kasih banyak lho atas undangannya”

“Kok buru-buru to pak, kan masih terang” pak Rusdi sedikit berbasa basi, dia pun bangkit dari duduknya dan keluar dari gubuknya.

“Ini sudah saya siapkan sekedar oleh-oleh untuk pak Rusdi dan mas Ipung” pak Rusdi menunjuk sebuah karung besar penuh berisi buah durian.

“Pung, sini” pak Hasan memanggil Ipung, Ipung mendekat “coba kamu keluarkan nasi yang sebungkus nasi tadi”

Ipung terlihat gugup, di dalam tasnya sudah tidak ada nasi lagi karena sudah dia makan di mobil tadi.

“Anu pak” Ipung tergagap “maaf, nasinya sudah nggak ada, saya sudah memakannya di mobil waktu bapak pergi kesungai tadi”

Pak Hasan tertawa, karena sebenarnya dia sudah tau kalo Ipung sudah makan nasi yang sebungkus lagi, tadi dia sempat melihat beberapa butir nasi berserakan di mobilnya, lagian pak Hasan juga tau kalo Ipung yang badannya “bongsor” itu bakalan tidak merasa kenyang kalo cuma di”ganjal” dengan sebungkus nasi, makanya tadi dia sengaja menyuruhnya membeli nasi tiga bungkus.

“ O ya sudah nggak apa-apa” kata pak Hasan, Ipung nampak tersipu.

“Sebenarnya nasi itu jatah orang yang akan mengangkat karung itu” pak Hasan menunjuk karung berisi durian yang tersandar di tiang gubuk “ tapi karena kamu sudah memakannya, ya apa boleh buat, ya terpaksa kamu yang harus mengangkat karung itu sampe ke mobil, he…he…he”

Ipung tersenyum kecut tapi dia tidak bisa mengelak lagi, karena dia merasa bersalah, dia mencoba mengangkat karung itu dan meletakkan di pundaknya, tapi dia segera meletakkannya kembali, duri-duri yang keluar dari karung itu menusuk pundaknya, dia meringis menahan sakit.

Pak Rusdi melirik pak Hasan, dia tersenyum melihat tingkah Ipung, dia tau sebenarnya ini “kerjaan iseng” pak Hasan, tapi dia juga merasa kasian, diambilnya sebuah karung kecil berisi kain-kain tua dan menyerahkannya kepada Ipung.

“Coba mas Ipung, pundaknya dilapis dengan ini biar durinya nggak ngena”

Ipung menerima karung kecil yang terlihat empuk itu, meletakkan di pundaknya kemudian dia kembali mengangkat karung itu. Cukup nyaman dia rasakan, tapi tetap saja sekarung durian itu terasa berat baginya.

Pak Hasan berpamitan kepada pak Rusdi kemudian mengajak Ipung meninggalkan kebun durian itu.

“Sekali lagi terima kasih pak Rusdi, saya sudah merepotkan”

“Sama sekali nggak merepotkan pak, saya malah senang pak Rusdi dan Ipung mau datang kemari, jangan bosan lho datang kesini, mumpung durennya lagi musim” pak Rusdi melepas kedua tamunya, pak Hasan tersenyum, Ipung cuma nyengir.

Pak Hasan berjalan santai menenteng tas kosongnya Ipung, dia berjalan sambil bersiul-siul kecil, sementara Ipung berjalan terseok menahan beban di pundaknya. Dia masih saja menyesali “kerakusan”nya di mobil tadi,

“Nasib…….. nasib” guman Ipung dalam hati, dia sama sekali nggak menyadari kalo sebenarnya dia sedang “dikerjai” sama pak Hasan.

Ipung baru menyadari kalo dia ternyata sedang dikerjai sama pak Hasan ketika pak Rusdi menyusul mereka dengan membawa sebuah kereta sorong, pak Rusdi menyuruhnya meletakkan karung itu ke atas kereta sorong dan membantu mendorongnya sampai ke tempat dia memarkir mobilnya.

Ipung tersenyum-senyum sendiri menertawakan keluguannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun