[caption caption="Gambar 1, Runway Bandara Rembele (Doc. Yan Budianto)"][/caption]Ketika mulai digagas pembangunannya pada tahun delapan puluhan, awalnya kehadiran bandara Rembele, satu-satunya bandara di wilayah Dataran Tinggi Gayo hanya dirancang sebagai bandara perintis untuk pendaratan dan penerbangan pesawat-pesawat kecil. Tapi ketika pebangunan fisiknya kemudian dimulai pada tahun 2000, bandara ini berubah orientasi dari sekedar bandara perintis menjadi bandara komersiil yang nantinya bisa didarati pesawat berbadan lebar sekelas Boeing 737 series serta pesawat cargo sekelas Hercules. Sebuah gagasan cemerlang berorientasi jauh kedepan yang dikemukakan oleh seorang Mustafa M Tamy yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Aceh Tengah.
Ide dari pak Tamy kemudian disahuti oleh seorang teknisi dan perencana bandara yang sangat handal dibidangnya yaitu Yan Budianto. putra Gayo kelahiran tahun 1965 ini memang dikenal memiliki skill yang sangat memadai di bidang perencanaan pembangunan bandara di berbagai tempat. Sosok cerdas berpenampilan sederhana dan ramah ini, memang tercatat sebagai salah seorang tenaga skill di Kementerian Perhubungan.
Ditangan Yan, konsep pembangunan bandara Rembele yang berada di Kabupaten Bener Meriah, Aceh tersebut dibuat dengan system Sustainable Planning (perencanaan berkelanjutan). Yan sendiri yang kemudian ditunjuk oleh Kementerian Perhubungan sebagai Project Officer dan Project Leader Bandara Rembele, mulai merancang pembangunan berkelanjutan Bandara Rembele sejal tahun 2002 yang lalu. Luar biasa, hanya dalam tempo dua tahun, konsep bandara yang dirancang oleh Yan Budianto, sudah langsung dapat dilihan hasilnya. Tahun 2004 silam, Bandara Rembele diuji coba lepasa landas oleh pesawat N 235, dan ujicoba itu berjalan mulus. Ini langsung membuktikan bahwa keberadaan bandara Rembele sebagai calaon bandara komersiil bukan isapan jempol belaka.
Rancangan Sustainable Pallaning yang diterapkan Yan ternyata tidak sia-sia, dari tahun ketahun kapasitas bandara terus ditingkatkan tanpa harus merubah atau merombak konsep awalnya. Dari segi pembiayaan, tentu ini sangat efisien, karena sarana dan prasarana yang telah dibangun sebelumnya tidak perlu dibongkar ulang untuk menambah kapasitas bandara. Ini yang membuat konsep perencanaan bandara Rembele diakui oleh Kementerian Perhubungan sebagai perencanaan pembangunan bandara terbaik.
Setelah pembangunan bandara berjalan kurang lebih lima belas tahun, dengan “suntikan” dana APBN selama dua tahun terakhir yang jumlahnya sangat signifikan, Yan Budianto telah berhasil “menyulap” bandara kecil itu menjadi sebuah bandara berstandar nasional yang siap untuk didarati pesawat berbadan lebar dan pesawat cargo. Dengan runway sepanjang 1.250 meter, dan sarana navigasi bandara yang sudah lengkap, Bandara Rembele kemudian berubah menjadi sebuah “pintu masuk” bagi para visitor dari luar daerah maupun luar negeri untuk bisa mengakses wilayah Gayo secara cepat, efektif dan efisien dengan menggunakan jasa penerbangan yang aman dan nyaman.
Keberadaan bandara Rembele sebagai salah satu pintu masuk utama ke wilayah Gayo, akhirnya berdampak ganda (multi effect) bagi pembangunan semua sektor di dua kabupaten di Dataran Tinggi Gayo yaitu Aceh Tengah dan Bener Meriah itu. Sektor bisnis, perdagangan dan jasa merupakan sektor ekonomi yang kemudian memperoleh dampak signifikan dengan akan berfungsinya bandara ini. Operasional bandara akan terkait erat dengan perkembangan bisnis perhotelen, jasa kuliner, jasa transportasi pendukung dan tentu saja pariwisata.
Sebagai daerah yang dominan dengan produk pertanian, perkebunan dan peternakan, keberadaan bandara Rembele juga akan berdampak luas bagi sektor pertanian secara umum. Akses yang mudah dan cepat untuk mengunjungi wilayah tengah Aceh, akan medorong penambahan jumlah visitor ke daerah ini dengan berbagai kepentingan. Ini juga membuka peluang bagi masuknya para investor yang bergerak dalam bisnis di bidang pertanian. Para buyer kopi dari berbagai negara akan berdatangan ke daerah ini, mulai dari sekedar menikmati rasa specialty kopi Gayo, melihat-lihat proses budidaya komoditi perkebunan andalan Gayo ini sampai dengan terjadinya transaksi-transaksi bisnis “emas merah” ini. Begitu juga dengan peluang bisnis dibidang Hortikultura yang juga menjadi andalan perekonomian masayarakat di dataran Tinggi Gayo, akan semakin terbuka dengan keberadaan bandara Rembele ini.
Fasilitas cargo di bandara Rembele, akan menjadi sarana yang efektif untuk jalur eksport berbagai komoditi hortikultura dari daerah ini. Permintaan pasar negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam akan produk hortikultura yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, menjadi peluang bagi para petani Gayo untuk meningkatkan perekomian mereka. Dengan memanfaatkan fasilitas cargo, produk-produk hortikultura Dataran Tinggi Gayo seperti Kentang, Wortel, Alpukat, Jeruk Keprok dan sebagainya akan tiba di negara tujuan dalam keadaan fresh, karena hanya butuh waktu mulai dari pengangkutan sampai distribusi beberapa jam saja, berbeda misalnya jika produk-produk tersebut harus menggunakan jasa transportasi darat maupun laut. Beberapa hal itulah yang kemudian mengemuka dalam sebuah Dialog interaktif yang digelar oleh para enterpreneur muda Gayo yang tergabung dapalm Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Aceh Tengah, Sabtu (13/02/2016) kemarin di Takengon.
Langkah Antisipatif
Namun, meski keberadaan bandara Rembele telah membuka peluang bisnis di bidang pertanian yang bermuara kepada peningkatan kesejahteraan petani, tetap saja diperlukan langkah-langkah antisipatif agar keberadaan bandara tersebut tidak menjadi “bumerang” bagi pelaku bisnis pertanian maupun bagi para petani sendiri. Faktor mutu dan kontinuitas produksi dari produk pertanian akan menjadi faktor penentu keberhasilan memanfaatkan keberadaan bandara Rembele untuk menunjang bisnis pertanian ini, karena konsumen luar negeri sangat teliti dengan kedua hal tersebut. Sementara penyedia jasa cargo juga sangat berkepentingan dengan kontinuitas penggunaan jasa cargo, mereka tentu tidak ingin rugi akibat ketidak rutinan pengiriman barang melalui jasa cargo mereka karena tidak adanya kontinuitas produksi di tingkat produsen atau petani.