Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Perempuan yang Tak Pernah Mengeluh Itu Ibuku (Refleksi Hari Ibu)

22 Desember 2016   13:52 Diperbarui: 22 Desember 2016   14:20 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak sekali sosok perempuan kreatif, pintar dan smart yang sempat membuat aku merasa sangat respek karena kiprah mereka yang luar biasa. Sebagai bentuk apresiasiku pda mereka , pernah beberapa kali kutulis tentang sosok-sosok perempuan itu lewat tulisan-tulisanku. Namun kekagumanku pada sosok2 perempuan tetap tidak mampu mengalahkan kekaguman, rasa hormat dan kecintaanku pada seorang ibuku.

Beliau memang bukan sosok perempuan terkenal yang sering menghiasai media, beliau juga juga bukan seorang wanita karir dengan seabrek kesibukan di luar rumah. Tapi bagiku, ibu adalah sosok yang sangat luar biasa, melebihi perempuan manapun, bukan semata karena beliau yang sudah melahirkan aku dan adik-adikku sehingga kami dapat menghirup udara dan meninkmati keindahan dunia ini. Banyak sisi kehidupan beliau yang membuat aku begitu mengagumi, mencintai dan menghormati beliau.

Ibuku hanyalah seorang perempuan desa yang lahir di sebuah desa di daerah Magelang, Jawa Tengah sekitar tahun 1947 yang lalu. Lahir sebagai putri kedua dari 7 bersaudara, ibu tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang memadai, beliau hanya sempat menamatkan sekolah dasar saja. Setamat dari sekolah dasar, ibu lebih memilih untuk membantu kakek dan nenekku ketimbang meneruskan sekolahnya, karena pada masa itu, sekolah SMP masih sangat jarang, dan kalaupun ada, jaraknya dari rumah kakek sangat jauh dan harus ditempuh dengan jalan kaki, karena waktu itu kendaraan memang belum ada.

Ibu yang waktu itu usianya masih belasan tahun, sudah mulai membantu kakek dan nenekku berjualan daging kambing di pasar setiap hari, karena kakek dan nenekku, selain bertani juga nyambi berjualan daging. Ibu merupakan anak perempuan tertua di keluarga kakek, karena anak pertama kakek adalah laki-laki yang tidak lain pakde ku, jadi hampir semua pekerjaan di rumah kakek, ibu yang membantu. Mulai dari memasak, mencuci sampai membantu berjualan di pasar, karena pada waktu itu adik-adik ibu alias bibi dan pamanku masih kecil-kecil.

Selalu bangun tidur sebelum subuh, ibu langsung membantu nenek untuk memasak di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga, kadang-kadang dilanjutkan dengan mencuci di sumur, karena waktu itu sumber air yang ada hanyalah sumur yang ada di belakang rumah kakek. Usai menunaikan sholat Subuh, ibu segera bersiap-siap berangkat ke pasar bersama kakek dan nenekku, sebuah bakul bambu berisi penuh daging kambing langsung “menclok” di punggungnya. Berjalan kaki ke pasar Kaliangkrik, Kajoran atau Bandongan dengan jarak lebih dari 10 kilometer, adalah hal biasa bagi ibu, karena waktu itu kendaraan umum masih sangat langka. Bukan dengan berlenggang kangkung, tapi masih ditambah dengan beban berat di gendongannya. Tapi semua itu dijalani ibu dengan perasaan gembira dan ikhlas, karena sebenarnya kakek dan nenek tidak pernah memaksa ibu untu memantu berjualan, hanya disuruh bantu-bantu di rumah saja. Tapi menurut apa yang pernah dituturkan ibu padaku, beliau membantu kekek dan nenek, selain untuk meringankan beban kakek dan nenek, ibu juga ingin belajar bagaimana berdagang. Ternayata dalam usia belasan tahun, ibu sudah berfikir untuk belajar wira usaha, tidak ada keinginan untuk  mengandalkan ijazah yang memang tidak “seberapa” itu.

Mewarisi jiwa berdagang dari kakek dan nenek, ibu akhirnya menjadi paham seluk beluk berjualan daging di pasar. Dan menginjak usia remaja, ibu sudah berani berjualan sendiri terpisah dengan jualan kakek. Dari situ sudah terlihat jiwa wira usaha dan kemandirian yang sangat kuat dari ibu. Berjualan dari setiap hari di pasar-pasar yang berbeda, akhirnya mempertemukan ibu dengan bapakku yang waktu itu sudah bekerja sebagai pegawai negeri meski hanya golongan satu. Setiap habis gajian, bapak selalu membelikan daging untuk nenek atau ibu dari bapakku. Entah sebuah kebetulan atau memang sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, bapak selalu membeli daging dari ibu, karena dibandingkan dengan pedagang lain, daging-daging yang dijual ibu, kualitasnya lebih baik, karena kakek memang selalu menekaknkan untuk menjaga mutu supaya tidak mengecewakan para pembeli.

Witing tresni jalaran soko kulino”, mungkin pepatah jawa itu sangat tepat untuk menggambarkan pertemuan antara bapak dan ibuku yang waktu itu masih berstatus perjaka dan gadis. Dari seringnya bapak membeli daging di tempat ibu berjualan, akhirnya tumbuhlah benih-benih cinta antara keduanya yang kemudian berlanjut ke pelaminan. Itu terjadi lebih dari lima puluh tahun yang lalu, bapak dan ibuku sepakat untuk menjalin hidup baru dalam sebuah ikatan pernikahan. Usia ibu waktu itu baru sekitar 16 tahun sementara bapak sudah lebih dewasa karena usianya sediah di atas 20 tahun, memang pada masa itu menikah di usia sangat muda ukanlah hal yang aneh dan lazim terjadi.

Memasuki kehidupan rumah tangga, ibu merasa sudah ada yang bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga, karena meski gajinya sangat kecil, tapi bapak sudah punya penghasilan tetap sebagai pegawai negeri. Namun terbawa oleh kebiasaan membantu kakek dan nenek semasa gadisnya dulu, ibupun punya keinginan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan melanjutkan berjualan daging di pasar. Kebetulan bapak juga tidak keberatan dengan keinginan ibu, bahkan meski tidak ikut ke pasar, bapak juga ikut membantu untuk mencarikan kambing untuk dipotong, kemudian dagingnya dibawa ibu ke pasar untuk di jual.

Dengan cara berjualan seperti itu, kebutuhan rumah tangga ibu dan bapak bisa tercukupi, karena kalau hanya mengandalkan gaji bapak yang cukup kecil, agak sulit rasanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Lagi-lagi, ibu melakukan semua itu dengan ikhlas, meski dengan berjualan seperti itu, tentu sangat melelahkan tubuhnya. Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun ibu menjalani pekerjaan seperti itu, nyaris tanpa pernah mengeluh, semua dijalaninya dengan enjoy, seakan itu bukan merupakan sebuah beban. Ibu hanya “cuti” berjualan saat melahirkan, itupun hanya beberapa bulan saja. Alhamdulillah, kehidupan rumah tangga ibu dan bapak berjalan adem ayem saja, sampai aku dan tiga adikku lahir. Ibu masih tetap menjalani rutinitas pergi ke pasar untuk berjualan, tapi pekerjaan di rumah juga tidak pernah terbengkalai.

Satu hal yang juga sangat aku kagumi dari ibuku adalah kemampuannya “membaca” prospek pasar dalam berjualan. Ketika berjualan daging mulai seret, karena harga kambing yang mulai mahal dan daya beli masyarakat mulai menurun, ibu mulai merubah “strategi” dagangnya. Beliau meninggalkan lapak daging di pasar dan mulai dengan jual beli hasil pertanian kecil kecilan, dan ternyata pilihan ibu tidak meleset. Pekerjaan ibu menjadi lebih ringan, karena tidak perlu lagi menggendong  daging ke pasar, tapi cukup membawa bakul atau karung kosong dan sebuah timbangan, namun “jam berangkat” ibu tetap tidak berubah.

Pagi buta, ibu sudah mangkal di dekat pintu pasar untuk membeli berbagai hasil pertanian seperti kopi, jahe, kapulaga, cengkeh, panili, cabe, bawang merah dan hasil lainnya yang dibawa oleh para petani ke pasar untuk dijual. Menjelang siang ibu tidak perlu repeot-repot membawa pulang barang-barang itu, karena pedagang pengumpul sudah menghampiri untuk menampung barang-barang yang sudah dibeli ibu dari para petani. Ada satu hal yang membuat aku salut sama ibuku, meski nyaris tidak pernah sekolah, tapi dalam urusan hitung menghitung, ibu sangat “jago”, nggak perlu pakai alat bantu seperti sempoa apalagi kalkulator yang memang waktu itu belum ada, ibu sudah bisa menjumlah atau mengalikan dengan tepat barang-barang dari petani yang sudah ditimbangnya kemudian menghitung harganya, bahkan sampai ukuran terkecil sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun