Tugas utama seorang penyuluh pertanian adalah melakukan pendampingan, pembinaan dan penyuluhan kepada para petani sebagai pelaku utama kegiatan usaha tani. Untuk itulah, para penyuluh pertanian dituntut untuk selalu dekat dengan para petani baik secara personal maupun secara kelembagaan, sebab tanpa kedekatan, seorang penyuluh akan sulit menjalankan tugas dan fungsi utamanya tersebut. Untuk bisa dekat dan akrab dengan para petani, tentu para penyuluh harus punya cara atau trik untuk melakukan pendekatan kepada para petani, karena posisi penyuuh dihadapan petani tidak seperti posisi guru dihadapan murid-muridnya. Penyuluh harus mampu menjadikan petani sebagai mitra, bukan sebagai pendengar atau penerima pengajaran semata. Dengan kesetraan posisi tersebut, akan lebih mudah bagi para penyuluh untuk memberikan masukan, tambahan pengetahuan dan ketarampilan serta pembinaan dan penyuluhan pertanian.
Dari pengalaman para penyuluh yang bertugas di Dataran Tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, ada beberapa trik yang terbukti efektif untuk melakukan pendekatan kepada petani. Ada penyuluh yang mengandalkan kemampuan berseni untuk melakukan pendekatan kepada petani, ada penyuluh yang membuat percontohan yang dapat ditiru oleh para petani tanpa harus banyak mengeluarkan teori, ada yang memanfaatkan kearifan lokal berupa adat dan budaya untuk bisa akrab dengan para petani, ada juga penyuluh yang mengajak petani untuk mecerdaskan diri dengan membagikan bahan bacaan kepada mereka, dan banyak trik-trik yang dipakai oleh para penyuluh di daerah pegunungan berhawa sejuk ini untuk mengoptimalkan aktifitas kepenyuluhan mereka melalui pendekatan kepada para petani di wilayah binaan mereka.
Lain lagi yang dilakukan oleh seorang penyuluh pertanian yang bertugas di Balai Penyuluhan Pertanian, perikanan dan kehutanan (BP3K) Kecamatan Bies, Aceh Tengah. Mulyadi, SP, nama penyuluh yang sudah berkecimpung dalam dunia kepenyuluhan lebih dari sepuluh tahun ini, punya trik berbeda untuk melakukan pendekatan kepada petani. Sejak di angkat sebagai penyuluh dengan status pegawai negeri sipil pada tahun 2006 yang lalu, Mulyadi ditempatkan di wilayah kecamatan Kute Panang, cukup lama Adi, panggilan akrab penyuluh ini bertugas di wilayah ini, sehingga dia sudah cukup akrab dengan para petani disana, karena hampir setiap hari dia bertemu dengan para petani itu.
Setelah hampir delapan tahun bertugas di kecamatan Kute Panang, Adi mendapat kepercayaan dari pimpinannya untuk memimpin wilayah kerja baru sebagai Koordinator BP3K Bies sejak tiga tahun yang lalu. Bertugas di wilayah kerja baru apalagi dengan beban yang lebih berat karena harus mengkoordinir beberapa orang penyuluh yang ada di wilayah kerja BP3K yang dipimpinnya, tentu butuh adaptasi dan penyesuaian, agar lebih cepat bisa dekat dengan para petani di wilayah kerjanya yang baru.
Sebagai putra Gayo asli, Adi tentu paham dengan berbagai kearifan lokal di daerah ini, diantaranya masyarakat setempat masih sangat terikat dengan adat dan budaya lokal serta sangat patuh dan menghormati para sesepuh dan aparat di desa mereka. Belajar dari kearifan lokal ini, Adi mulai melakukan pendekatan dengan aparat desa yang ada di kecamatan Bies, dia punya prinsip kalau para aparatu desa tersebut adalah “pemilik” wilayah, dan sebagai “pendatang baru” di wilayah itu, tentu dia harus permisi dan minta izin terlebih dahulu sebelum menlankan tugas di wilayah tersebut,
“Seperti masuk kedalam rumah seseorang, tentu kita harus permisi dan minta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah” begitu Adi sedikit berfalsafah.
Bulan-bulan awal Mulyadi melaksanakan tugas di wialayah kerja barunya, dia mulai melakukan pendekatan kepada aparat kampung yang ada di kecamatan itu, dia mulai “blusukan” dari satu kampung ke kampung lainnya untuk beranjangsana dengan “empun tempat” (penguasa wlayah) di perdesaan itu. Setelah mulai akrab dengan para aparat desa tersebut, Adi mulai berani mengundang mereka ke BP3K yang dipimpinnya, dengan suasana informal, pertemuan tersebut semakin mempererat hubungan antara penyuluh pertanian itu dengan aparat desa setempat. Melalui bincang-bincang yang diselingi dengan minum kopi gayo sebagaimana kebiasaan masyarakat setempat, Adi mulai menyampaikan program-program penyuluhan pertanian yang akan dia laksanakan di wilayah yang dominan dengan perkebunan kopi dan lahan hortikultura tersebut.
Ada beberapa keuntungan yang diperoleh Adi dengan merangkul para aparat desa ini, pertama dia bisa lebih mudah untuk memobilisasi atau mengumpulkan para petani dengan bantuan aparat desa tersebut untuk melakukan pertemuan pembinaan, kedua setiap program yang akan dia laksanakan di desa tersebut akan mendapat dukungan dan fasilitasi dari desa sehingga dapat meminimalisir kendala di lapangan, ketiga para aparat desa itu tidak merasa “dilangkahi” oleh para penyuluh, sehingga dengan sukarela mereka akan membantu baik langsung maupun tidak langsung, tugas-tugas kepenyuluhan yang diemban oleh Adi dan kawan kawan.
Setelah berjalan lebih dari dua tahun, kini sudah tidak ada kendala lagi bagi Adi untuk melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada petani di wilayah kerjanya, semua kegiatan yang dia lakukan disana bisa berjalan dengan baik, salah satunya karena dukungan penuh dari para parat desa yang dia posisikan sebagai mitra dalam menjalankan tugasnya. Secara adat, keterikatanan masyarakat gayo dengan para aparat desa memang masih sangat kuat, sehingga apa yang disampaikan oleh para penyuluh dengan bantuan paraa parat desa bisa mencapai hasil optimal, itu yang benar-benar dipahami oleh sosok penyuluh ini,
“Ibarat menangkap ikan, kita harus memegang kepalanya, kalau kepala sudah terpegang, badan dan ekornya juga akan mengikut” begitu falsafah yang dipegang Adi.