“Pengalaman adalah guru yang terbaik.” Begitu kata pepatah yang sudah sering kita dengar. Pepatah itu pula yang sering dijadikan acuan untuk mengevaluasi apa yang telah terjadi dan merencanakan sesuatu pada masa yang akan datang. Peristiwa atau kejadian yang terjadi pada masa lampau di suatu daerah atau wilayah, adalah pengalaman bagi daerah itu sendiri, dan tentunya juga menjadi guru yang baik untuk merencanakan sesuatu pada masa-masa yang akan datang di daerah itu. Setiap daerah pasti memiliki pengalaman sendiri yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Demikian juga yang terjadi di wilayah tengah Provinsi Aceh yang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Meski secara kepemerintahan keempat kabupaten ini berdiri sendiri sebagai suatu daerah otonom kabupaten, tapi secara geografis dan sosiologis, banyak memiliki persamaan, sehingga pengalaman yang dialami oleh wilayah ini juga nyaris mirip. Demikian juga geliat di bidang pembangunan di semua sektor, di keempat kabupaten yang berada di wilayah “pedalaman” ini nyaris punya problem yang sama, yaitu ketertinggalan jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang ada di Provinsi Aceh.
Ambil saja contoh kecil. Wilayah Samar Kilang di Bener Meriah, Pameu di Aceh Tengah dan Lsten di Gayo Lues adalah contoh wilayah tengah yang sampai saat ini nyaris belum merasakan sentuhan pembangunan secara optimal. Buruknya infrastruktur di wilayah-wilayah “terpencil” itu akhirnya juga berpengaruh terhadap buruknya pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan dan kehidupan ekonomi warga di sana.
Kalau melihat contoh tersebut agaknya tidak salah anggapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa wilayah tengah seperti di”anak tiri”kan, namun pernyataan tersebut juga tidak bisa digeneralisasi, karena geliat pembangunan di wilayah tengah ini juga terus berjalan. Namun tetap aja tidak bisa dipungkiri, bahwa pembangunan di wilayah ini terkesan lambat, seperti misalnya pembangunan atau perbaikan jalan negara yang menghubungkan Kabupaten Bireuen dengan keempat kabupaten di wilayah tengah atau yang dikenal dengan jalur lintas Bireuen – Takengon – Blang Kejeren – Kutacane, di wilayah tengah kondisinya masih sangat memprihatinkan.
Tapi kembali kepada pengalaman, masyarakat yang tinggal di wilayah tengah Aceh ini adalah masyarakat yang tegar dan kuat. Kenapa demikian? Berbagai “cobaan” yang dialami oleh sebagian besar masyarakat wilayah pedalaman ini selama dua dekade terakhir nyaris tidak menggoyahkan eksistensi mereka yang terus bertahan dalam kondisi apapun. Kemampuan masyarakat Gayo dan Alas, etnis dominan yang mendiami wilayah tengah Aceh ini untuk bertahan dalam berbagai kondisi, secara psikologis memang terbentuk oleh kondisi geografis wilayah yang penuh dengan tantangan. Mereka yang sudah biasa bertahan dengan kondisi alam yang “keras”, cenderung lebih mampu bertahan menghadapi kondisi sesulit apapun.
Mari kita kilas balik beberapa peristiwa penting yang merupakan “ujian” bagi masyarakat Gayo dan Alas selama dua dekade terakhir. Dimulai dengan krisis ekonomi nasional pada tahun 1998 yang lalu, di mana seluruh masyarakat Indonesia merasakan dampaknya, nilai tukar dolar meroket, inflasi “menggila”, PHK besar-besaran terjadi, dan krisis ekonomi yang berpangkal dari kondisi politik yang sedang “goyang” pada waktu itu, membuat hampir semua anak bangsa ini terpuruk ke dasar jurang yang paling dalam, tapi apa yang terjadi di wilayah tengah Aceh?
Krisis ekonomi terparah pasca tahun 1965-an yang melanda seluruh wilayah Indonesia ini nyaris tidak dirasakan dampaknya secara signifikan oleh mereka yang mendiami wilayah tengah ini. Meroketnya nilai tukar dolar yang bagi daerah lain menjadi petaka, bahkan menjadi “berkah” bagi penduduk Gayo dan Alas ini.
Betapa tidak, naiknya nilai tukar dolar akhirnya diikuti oleh naiknya harga komoditi pertanian dan perkebunan yang dihasilkan oleh warga Gayo dan Alas. Harga kopi arabika yang merupakan komoditi perkebunan andalan warga Gayo Lut, sebutan untuk warga yang tinggal di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, juga ikut melonjak drastis sampai beberapa kali harga normal, tentu ini berkah bagi warga kedua kabupaten yang selama ini memang menggantungkan perekonomian mereka dari komoditi Kopi.
Begitu juga minyak nilam dan minyak sere wangi yang merupakan andalan masyarakat Gayo Lues, harganya juga melonjak secara fantastis. Ini juga menjadi berkah bagi warga daerah berjuluk Negeri Seribu Bukit ini. Kakao, Kemiri dan Jagung yang menjadi andalan masyarakat Aceh Tenggara, juga ikut terdongkrak harganya mengikuti pergerakan nilai tukar dolar pada waktu itu. Itulah sebabnya dampak krisis ekonomi dan moneter Indonesia tahun 1998 itu tidak begitu dirasakan oleh masyarakat di wilayah ini.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa mereka bisa bertahan menghadapi krisis ekonomi sedahsyat itu? Tentu tidak sulit menjawabnya, karena warga di wilayah tengah Aceh ini memiliki basic pertanian dan perkebunan yang tangguh, itu jawabannya. Dari pengalaman krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 tersebut, kita jadi bisa belajar, bahwa pondasi yang kuat di sektor pertanian, ternyata mampu membuat daya tahan masyarakat terhadap krisis menjadi kuat.
Pengalaman tersebut juga bisa menjadi landasan yang kuat untuk menyusun perencanaan pembangunan di wilayah yang selama ini terkesan ter”marjinal”kan ini, artinya pembangunan di semua sektor yang akan dilaksanakan di wilayah Gayo dan Alas ini, tidak boleh melupakan pondasi utamanya yaitu sektor pertanian, karena sektor inilah yang sudah terbukti mampu membentuk ketahanan ekonomi masyarakat di wilayah ini.
Kebanyakan lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura di wilayah ini masih mengandalkan pola tadah hujan atau kalaupun ada jaringan irigasi, baru berupa jaringan irigasi semi teknis atau irigasi perdesaan yang cakupannya tentu saja sangat terbatas. Ke depan, perlu dipikirkan untuk merancang grand design pembangunan pertanian dengan memproritaskan pembangunan irigasi teknis dalam skala besar, terutama pada wilayah-wilayah yang memiliki potensi untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura.
Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur pertanian lainnya, wilayah tengah ini juga masih jauh tertinggal, mekanisasi pertanian dengan pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) masih sangat terbatas, instalasi perbenihan juga masih minim, unit-unit pengolahan pupuk organik masih jarang, itupun belum berfugsi secara optimal.
Dan yang paling dirasakan masyarakat sebagai kendala, adalah belum semua infrastruktur pendukung berupa jalan dan jembatan yang bisa mengakses sentra-sentra produksi pertanian, kondisinya baiik, sehingga menyulitkan petani untuk memasarkan dan mendistribusikan produk pertanian yang sudah mereka hasilkan. Inilah salah satu yang menyebabkan sering terjadinya fluktuasi harga komoditi pertanian di wilayah ini. Ke depan, pembangunan infrastruktur apapun di wilayah tengah ini harus didesain mempunyai dampak sinergis bagi sektor pertanian.
Memasuki era tahun 2000 sampai 2005, di mana semua wilayah Aceh dilanda konflik politik dan keamanan berkepanjangan, dampaknya juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tengah. Perasaan tidak aman yang melanda sebagian besar warga Gayo dan Alas waktu itu, menyebabkan banyaknya lahan pertanian dan perkebunan potensial yang terbengkalai akibat ditinggalkan oleh pemiliknya.
Akibatnya jelas, produksi dan produktivitas hasil pertanian di wilayah ini merosot drastis, dan perekonomian masyarakat mengalami gangguan yang cukup serius, meski tidak sampai membuat kehidupan masyarakat terpuruk. Itu artinya, stabilitas politik dan keamanan juga sangat berpengaruh terhadap ketahanan ekonomi masyarakat Gayo dan Alas. Itulah sebabnya pembangunan sektor pertanian di wilayah ini ke depan, harus juga di iringi dengan pembangunan territorial yang bisa memberi perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat dalam berusaha, khususnya bagi para petani yang tinggal dan berusaha di wilayah perdesaan.
Pasca MoU Helsinki, kondisi politik dan keamanan di wilayah tengah ini mulai relatif stabil, kalau dibandingkan dengan wilayah pesisir, maka wilayah tengah ini termasuk paling cepat dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi pasca konflik, karena memang wilayah ini meski berada di wilayah tengah, tapi bukan merupakan pusat dari pusaran konflik. Kembalinya stabilitas politik dan keamanan di wilayah ini, juga menandai kembalinya geliat pembangunan pertanian di Gayo dan Alas. Dan lagi-lagi, kuatnya basic pertanian di wilayah ini, menjadi modal utama bangkitnya perekonomian masyarakat pasca terjadinya krisis maupun konflik berkepanjangan. Artinya sektor pertanian sudah menjadi pondasi utama pembangunan di wilayah tengah, karena pembangunan sektor lainnya tidak akan berarti apa-apa jika tidak menyentuh sektor pertanian ini.
Gambaran di atas mungkin sudah bisa menjadi bahan bagi para penyusun kebijakan dibidang perencanaan pembangunan di keempat kabupaten wilayah tengah Aceh ini dalam mendesain pembangunan di wilayah ini. Tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa pembangunan di semua sektor di wilayah ini harus dirancang untuk mendukung pembangun sektor pertanian, karena hanya dari sektor pertanian inilah masyarakat Gayo dan Alas mampu bangkit dari keterpurukan dan bertahan dari berbagai krisis.
Bukan hanya dari anggaran pembangunan yang dikelola oleh kabupaten saja yang perencanaanya harus “Agricultural Oriented”, tapi perencanaan pembangunan di Provinsi Aceh maupun nasional yang dialokasikan ke wilayah tengah ini juga harus berorientasi kepada pembangunan sektor pertanian. Karena membangun wilayah tengah Aceh dengan mengabaikan sektor pertanian, hanyalah sebuah kesia-siaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H