Kontes ternak se provinsi Aceh yang baru saja usai digelar di kota dingin Takengon dengan tajuk “Expo Ternak Aceh 2015”, mengingatkan kembali perjalanan saya ke pulau Madura sekitar 2 tahun yang lalu. Dalam kunjungan saya waktu itu, kebetulan para mahasiswa dan civitas akademika Universitas Trunojoyo, Bangkalan sedang menggelar Karnaval Budaya Madura. Aneka budaya dan kesenian daerah Madura ditampilkan dalam even tahunan itu, sangat meriah cukup menyedot banyak pengunjung.
Ada satu “tontonan” yang cukup menarik perhatian saya dalam even budaya yang digelar oleh “awak kampus” itu, beberapa pasang sapi betina yang dihiasi dengan berbagai asesoris khas Madura, seperti kalung dengan warna keemasan, selempang dengan paduan warna mencolok yaitu merah dan kuning keemasan, pasangan sapi itu digandengkan dengan rangkaian kayu berukr yang disebut “panggonong”.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/08/24/sapi-sonok-1-55daaceb5797735c10db0486.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Berbeda dengan sapi karapan yang mengedepankan kekuatan berlari di arena karapan, pasangan sapi betina yang saya lihat dalam karnaval budaya itu lebih menonjolkan keindahan dan keserasian pasangan sapi tersebut. Pasangan sapi yang sudah berhias indah bak sepasang pengantin itu, berjalan pelan sambil melenggak-lenggok nggak ubahnya sepasang peragawati yang sedang beraksi diatas catwalk mengikuti alunan musik tradisional yang terdiri dari Kenong, Gong, Gendang dan Terompet itu.
Pasangan sapi betina yang dihiasi dengan berbagai asesoris itu oleh masyarakat Madura dinamai “Sapi Sonok”, sebuah nama yang terdengar agak “asing” ditelinga saya, padahal sejarah sapi sonok sudah dimulai lebih dari 50 tahun yang lalu, tapi popularitas karapan sapi, membuat sapi sonok seperti kurang gaungnya di luar, kalo dikalangan masyarakat Madura dan sebagian Jawa Timur, keduanya sama populernya dan seakan sudah menjadi “identitas” budaya Madura, bahkan setiap tahun secara rutin selalu diadakan kontes sapi sonok yang melibatkan sapi-sapi terbaik dari seluruh penjuru Madura.
Sejarah sapi sonok, menurut penuturan Cak Khaerun, salah seorang pemilik sapi sonok dari Pamekasan, dimulai dari kebiasaan para patani di perdesaan di wilayah kabupaten Pamekasan yang punya kebiasaan memandikan ternak sapi mereka di sungai setiap sore, setelah sapi-sapi itu dimandikan dan terlihat segar, kemudian di ikatkan pada tonggak-tonggak kayu yang diatur berbanjar.
Secara iseng, para petani itu kemudian melakukan pemilihan sapi-sapi termulus, ter”montok”, termulus kulitnya, tersehat dan pemenangnya diberikan hadiah, hadiahnya pun berasal dari uang yang dikumpulkan dari para petani itu sendiri. Lambat laun, kontes-kontesan kecil itupun berkembang menjadi kontes tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, dan sejak saat itu sapi-sapi peserta kontes itu dinamai sapi sonok. Sistim kontesnyapun juga mengalami dinamika, kalo awalnya hanya kontes sapi single, kemudian berkembang menjadi kontes sapi berpasangan, tapi uniknya pasangan sapi itu keduanya berjenis kelamin betina, karena untuk sapi jantan lebih difokuskan untuk kontes atau lomba karapan sapi. Aspek penilaian dalam kontes sapi sonok pun dari tahun ke tahun juga mengalami perubahan, kalo dulu hanya dinilai dari segi fisik saja, tapi sekarang juga dinilai dari aspek keserasian, penampilan termasuk asesoris yang dipakaikan pada pasangan sapi sonok tersebut.
Seiring dengan makin populernya kontes sapi sonok, maka “gengsi” dan “nilai” dari sapi ini juga semakin meningkat, pemenang kontes sapi sonok sudah bisa disejajarkan dengan sapi-sapi juara karapan, nilai jualnya pun “melambung” drastis. Menurut Cak Khaerun, harga sapi sonok mencapai 100 juta, bahkan untuk sapi yang sudah beberapa kali menjuarai kontes, bisa mencapai 400 juta rupiah. maka sapi sonokpun sekarang sudah dianggap sebagai sapi “elit” di Madura. Bahkan untuk sekedar disewakan untuk karnaval budaya seperti yang pernah saya lihat di Universitas Trunojoyo itu, pemilik sapi sonok memasang tariff sewa yang lumayan tinggi, bisa mencapai 10 juta rupiah sekali sewa.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/08/24/sapi-sonok-cak-budi-55daac7954977315079134c6.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Memang untuk menjadikan sepasang sapi menjadi sapi sonok, butuh ketelatenan dan biaya yang tidak sedikit. Seorang pemilik sapi sonok yang sempat saya jumpai dalam karnaval budaya tersebut, Cak Budi, dia mengatakan bahwa untuk bisa tampil di kontes sapi sonok, sapi-sapi itu sudah dilatih sejak sejak umur 3 bulan dengan perlakuan dan “nutrisi tambahan” secara khusus, menurut penuturannya, setiap seminggu sekali, sapi-sapi itu diberikan “suplemen” berupa jamu yang dicampur dengan 15 butir telur ayam kampung dan madu asli. Begitu juga dengan perawatan hariannya, setiap hari sapi-sapi itu dimandikan menggunakan shampoo dan sabun mandi. Sapi-sapi itu juga di cek kesehatannya setiap 3 bulan sekali. Untuk asesoris berupa selempang, kalung dan “panggonong”, para pemilik sapi sonok juga harus rela merogoh koceknya sampai ratusan ribu rupiah, wajar kalo harga sewanya mahal.
Cak Budi yang juga ikut menyewakan sepasang sapi sonoknya dalam karnaval itu menuturkan, kalo sepasang sapi sonoknya sudah ditawar 400 juta rupiah, tapi dia enggan melepasnya, karena selain sebagai kebanggaan baginya, sapi-sapi unggul miliknya juga berfungsi sebagai induk sapi yang sangat baik.
“Saya hanya menjual sapi sonok saya, kalo sudah punya sapi sonok lainnya yang berasal dari induk sapi sonok saya itu, karena tidak semua sapi bisa dilatih atau dijadikan sapi sonok” turur Cak Budi yang pada pagi itu memakai “pakaian kebesaran” khas jawara Madura, celana hitam, kaor garis-garis warna merah dan putih dilapis dengan jas warna hitam, tidak lupa ikat kepala khas Madura dan Celurit yang terselip di belakang pinggangnya.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/08/24/sapi-sonok-pengiring-musik-tradisional-55daacbde4afbd2d056e97d3.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Eksotisme Madura ternyata bukan hanya dari pemandangan alam dan pantainya saja, batik tulis dan karapan sapi, tapi masih ada pesona lainnya yaitu sapi-sapi betina “high class” yang bernama Sapi Sonok, terasa terlena ketika menonton sapi-sapi yang berdandan “cantik” itu melenggang lenggok mengikuti alunan music tradisionil, lucu dan unik tentunya. Itulah sebabnya banyak orang yang pernah menjejakkan kaki di pulau penghasil garam ini, selalu “rindu” untuk kembali menyaksikan kemolekan dan pesona pulau Madura.
Ternyata melalui tangan-tangan kreatif para pemilik sapi di Madura, sapai-sapi yang biasanya hanya menjadi penarik bajak di sawah atau penarik pedati/gerobak di jalan-jalan perdesaan, atau sekedar seagai cadangan daging, bisa berubah menjadi sapi-sapi “elit” dan berkelas yang nilai jualnya bisa mencapai ratusan juta, itulah salah satu bukti bahwa kreatifitas bisa merubah yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan sapi sonok adalah hasil dari kreatifitas saudara-saudara kita, para petani ternak di Madura, sebuah pulau yang penuh pesona dan eksotisme.