Program percepatan swasembada pangan khususnya komoditi padi yang dicanangkan oleh Kementerian Pertanian pada awal tahun 2015 ini, benar-benar “disahuti” secara serius oleh semua penyuluh pertanian yang ada di wilayah kabupaten Aceh Tengah. Tidak hanya terbatas memberikan bimbingan atau penyuluhan kepada petani, tapi “ujung tombak” pembangunan pertanian ini juga langsung “turun” ke lahan-lahan sawah untuk memberikan pembelajaran langsung kepada petani bagaimana melakasanakan pola tanam terpadu padi dengan sistim jajar legowo, bagaimana mengatur kebutuhan air di sawah, bagaimanan melakukan pemupukan yang efektif dan efisien, bagaimana cara mengendalikan hama dan penyakit tanaman dan bagaimana menangani panen dan pasca panen.
Upaya para penyuluh itu memang tidak sia-sia, pada beberapa sentra produksi padi di kabupaten Aceh Tengah seperti kecamatan Linge, Pegasing, Bintang, Celala, Silih Nara, Rusip Antara dan Ketol, terjadi peningkatan produktifitas padi yang sangat signifikan, dari rata-rata 4,2 ton per hectare menjadi 7 – 8 ton per hectare atau meningkat 70 – 90 %. Pada musim panen bulan Mei – Juni 2015 yang lalu, hampir di semua wilayah potensial persawahan, terlihat senyum kepuasan dari para petani padi saat menyaksikan hasil usaa tani mereka meningkat drastis dari tahun sebelumnya, senyum para petani itulah yang akhirnya menjadi kebanggaan dan kebahagiaan bagi para penyuluh dan juga para prajuri TNI-AD yang sekarang juga turut terlibat secara aktif untuk ”menggenjot” produktifitas padi untuk percepatan swa sembada pangan di Dataran Tinggi Gayo.
Padi merupakan komoditi yang membutuhkan ketersediaan air yang memadai selama proses usaha taninya, oleh karenanya sarana dan prasarana pengelolaan pengairan di lahan sawah, mutlak dierlukan untuk meningkatkan produktifitas padi. Sayangnya sampai dengan saat ini, kabupaten Aceh Tengah belum memiliki jaringan irigasi teknis dengan skala besar, salah satu penyebabnya adalah bahwa padi sawah bukan merupakan komoditi utama di daerah yang mengandalkan komoditi utama kopi arabika ini. Luas lahan sawah yang sangat terbatas serta lokasinya yang menyebar, juga merupakan salah satu kendala untuk membangun jaringan irigasi berskala besar.
Tapi bagi para penyuluh pertanian di Negeri Antara, belum tersedianya jaringan irigasi teknis berskala besar, bukanlah sebuah hambatan untuk terus mendampingi dan memberi motivasi para petani dalam melakukan usaha tani padi, sebuah komoditi pangan terpenting yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satunya dengan membangun jaringan irigasi perdesaan yang mampu mengairi lahan sawah dengan luasan terbatas, antara 25 – 50 hektare. Pembangunan jaringan irigasi perdesaan ini, dalam beberapa tahun terakhir juga mendapat dukungan anggaran dari Kementerian Pertanian melalui Dinas Pertanian setempat dengan pola swakelola, dimana seluruh kegiatan pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan oleh kelompok tani dibantu oleh para penyuluh.
Dari pantauan penulis ke beberapa wilayah kecamatan Linge, Ketol, Silih Nara, Rusip Antara, Celala dan Lut Tawar, terlihat para penyuluh pertanian sangat aktif dalam pembangunan jaringan irigasi perdesaan ini. Tanpa canggung mereka berbaur dengan anggota kelompok tani mengaduk semen, memasang papan mal, mengangkat batu dan memegang sendok semen layaknya “tukang batu” professional. “Turun tangan”nya para penyuluh ini tentu saja membuat motivasi di kalangan petani semakin meningkat, tidak jarang hasil bangunan jaringan irigasi perdesaan yang mereka kerjakan dapat selesai lebih cepat dengan volume pekerjaan yang melebihi target, tentu ini sebuah keuntungan bagi mereka, karena akan lebih banyak lahan sawah yang dapat terairi oleh jaringan irigasi sederhana ini.
Di kecamatan Linge misalnya, Safrin Zailani yang tidak lain adalah Koordinator BP3K Linge, tanpa canggung ikut bekerja sebagai “tukang” ketika para petani di wilayah kerjanya membangun jaringan irigasi perdesaan. Begitu juga dengan Rahmad, Koordinator BP3K Ketol ini, tanpa memperdulikan penyakit asam urat yang kerap mendera kakinya, ikut “terjun” di tengah para petani membangun jaringan irigasi. Husaini, Koordinator BP3K Lut Tawar yang nota bene penyuluh kehutanan itupun, nggak kalah gesitnya dengan rekan-rekannya, tangannya cukup cekatan memegang sendok semen membantu para petani mewujudkan jaringan irigasi untuk mengairi lahan sawah mereka. “Gebrakan” para koordinator BP3K itupun tidak “beretepuk sebelah tangan”, seluruh penyuluh yang berda dibawah koordinasinya juga pro aktif mendukung kebijakan koordinator mereka, maka sesuai dengan pepatan Gayo “Keramat Mupakat, Behu Bededele” (Semangat gotong royong berdasarkan kesepakatan bersama), semakin terlihat nyata di lapangan, sebuah pemandangan yang “indah” yang penuh kebersamaan.
Dinas Pertanian, instansi teknis yang bertanggung jawab dalam pembangunan jaringan irigasi perdesaan ini tentu merasa sangat terbantu dengan peran aktif para penyuluh, sinergi dan koordinasi yang selama ini sudah terjalin dengan baik, juga menjadi salah satu kunci sukses pembangunan infra struktur pertanian perdesaan yang sangat menyentuh kebutuhan masyarakat ini. Peran aktif para penyuluh hampir di semua lini sektor pertanian ini, sekaligus juga menjadi jawaban untuk menepis anggapan sementara pihak yang selalu mengatakan bahwa penyuluh tidak bekerja. Para pengkritik yang sering apriori itu terkadang tidak menyadari bahwa mereka tidak akan bisa menikmati nikmatnya “Oros Isaq”, “Oros Bintang” atau “Oros Celala” (Beras Isaq, Beras Bintang dan Beras Celala) jika tidak ada peran para penyuluh sebagai pendamping petani dalam melakukan usaha tani padi mereka.
Memang, dinamika pembangunan pertanian menuntut para penyuluh untuk bisa berperan “multi fungsi”, tidak saja harus mengusai teknis pertanian, tapi juga harus tahu tentang infra struktur pendukung pertanian. Fleksibilitas para penyuluh untuk mampu berperan ganda inilah yang akhirnya akan membuat para petani menganggap para penyuluh adalah bagian dari mereka. Sebuah kemitraan yang “mesra” antara penyuluh dan petani pada semua tahapan usaha tani padi mulai dari persemaian, pengolahan lahan, penanaan, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, panen dan pasca panen bahkan sampai ke pembangunan infra struktur pendukung seperti irigasi, jalan usaha tani dan sebagainya, akhirnya akan jadi penentu dari upaya peningkatan swasembada pangan di Dataran Tinggi Gayo, sebuah upaya positif dan sinergis yang layak untuk mendapat apresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H