Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Iseng Dalam Keseriusan

1 Mei 2015   20:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengikuti Diklat dalam waktu panjang merupakan “siksaan” tersendiri buatku, seperti itulah yang ku alami hari-hari belakangan ini. Sebagai seorang aparatur, seperti ada “kewajiban melekat” untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan (Diklat PIM), padahal aku ini kan cuma pegawai “level bawah”, tapi sepertinya  aku nggak bisa “lari” dari ketentuan itu, tanpa bisa dibantah dengan dalih apapun, maka resmilah aku menjadi salah satu peserta diklat itu. Nggak main-main, pelaksanaan diklat ini punya durasi yang cukup panjang, 3 minggu full dengan agenda padat merayap, materi diklat juga seabreg, buku panduan dan bahan ajarnya saja kalo kuangkat-angkat sudah cukup untuk membuatku “sakit pinggang”.

Hari-hari pertama masih bisa kujalani dengan enjoy, karena masih berupa kegiatan out bound di alam bebas, meski cukup melelahkan, tapi setidaknya jiwaku tidak merasa “terpenjara”, aturan formal masih bisa fleksibel ketika berada di lapangan. Tapi memasuki hari ke empat, perasaan “tersiksa” itu mulai terasa, duduk di kelas mendengarkan widya iswara berceloteh panjang lebar mengomentari tayangan di in focus, tentu membuat “ruang gerak” dan kebebasanku terasa semakin dibatasi, apalagi setiap hari harus memakai “pakaian resmi”, kemeja putih lengan panjang, dasi plus embel-embel peserta, itu membuat aku yang sangat menghormati kebebasan, merasa semakin “tersiksa”. Masih ditambah peraturan yang tidak membolehkan peserta pulang ke rumah, padahal jarak antara rumahku dengan hotel tempat penyelenggaraan diklat tidak begitu jauh, cukup waktu 5 menit saja untuk menggapainya, tapi mau nggak mau, aku harus menginap disitu, aku benar-benar seperti “terpenjara”.

Seperti yang kurasakan pada hari kelima siang tadi. Pemateri kebetulan seorang widya iswara senior yang nyaris nggak punya sense of humour sedikitpun, penampilannya formal banget, dan yang bikin “bête”, cara menyajikan materi yang serius dan monoton membuatku cepat menjadi bosan, beberapa teman malah sudah tertidur di kursinya, sementara sebagian besar lainnya masih menyimak dengan serius dengn wajah nyaris tegang. Ketemu dengan penyaji materi yang super serius semacam itu, membuat aku mencari akal agar suasana agak “cair”, tapi aku nggak tau gimana caranya, kalo aku bikin “ulah”, pasti sang widya iswara bakalan tersinggung, dan aku nggak mau melakukan itu, karena sekurang ajar apapun aku, aku tetap menghargai orang yang lebih tua dariku. Aku tetap berusaha mengikuti materi dengan serius, tapi aku tetap menjaga jangan sampai urat syarafku ikut-ikutan tegang.

Melihat ada beberapa peserta yang mulai “terlena” dalam mimpi, nampaknya sang pengajar mulai “sadar diri”, dia mencoba mencairkan suasana dengan joke kecil tentang “petani dengan sapinya”. Menurutku joke itu cukup menggelitik, tapi karena cara penyampaiannya sangat “datar” dan nyaris tanpa ekspresi, joke itu nggak mampu membuat suasana ruangan belajar menjadi geerr, sang tutor seperti kehabisan akal untuk “menghidupkan” suasana, tapi aku malah justru seperti mendapat “momentum” untuk melepaskan keisenganku, aku menunjukkan tangan ke atas,

“Boleh bertanya pak?”

“Silahkan” respon sang pengajar, pasti dia mengira pertanyaanku serius, tapi kulihat dia agak terperangah mendengar pertanyaanku,

“Pak, kenapa sapi nggak sholat” aku pura-pura serius dengan pertanyaanku, padahal aku sudah kepingin ketawa, teman-teman lain juga terperanjat dengan pertanyaan “konyol”ku, yang pada ketiduran juga lantas terbangun, aku mengira pak tua itu akan marah atau tersinggung, tapi ternyata malah dia tersenyum, sepertinya “pancingan”ku mengena,

“Ayo bapak-bapak, ibu-ibu peserta, siapa yang bisa jawab pertanyaan pak Fathan?” sang tutor “menyambungkan” pertanyaanku,

“Karena sapi nggak punya akal pak” jawab salah satu peserta dengan “formal”,

“Karena sapi itu binatang pak” jawab yang lain

“Karena sapi nggak diwajibkan sholat pak” sahut peserta lainnya.

“Ah, pak Fathan ini kok nanyanya nggak ilmiah gitu” protes seorang peserta perempuan, aku pura-pura nggak mendengar protesnya.

Aku kembali mengangkat tangan,

“Bukan itu yang saya maksud teman-teman, itu sih jawaban formal” aku sengaja berhenti sejenak, semua peserta termasuk si pengajar mengarahkan pandangan mereka ke arahku, aku tersenyum sudah berhasil “mengecoh” para peserta diklat, suasana agak sedikit “hidup”,

“Jadi teman-teman mau tau jawabbannya?” aku coba memancing,

“Iya pak Fathan!” jawab mereka seperti suara “paduan suara” ibu-ibu darma wanita.

Merasa pancinganku berhasil, aku makin pede saja, sambil senyum-senyum aku menjawab,

“Karena sapi nggak bisa pake sarung sama peci”

Geeeerrrrr, pecah suara tawa semua peserta, sementara kulirik sang tutor tersenyum kecut, karena merasa “kalah set”.

Setelah suasana kembali “aman dan terkendali”, sang tutor pun kembali melanjutkan “orasi” monotonnya, aku juga nggak berani lagi “mengusik” keseriusannya, terpaksa kuikuti celotehnya sambil sedikit menahan kantukku.

Tapi karena iseng adalah “hobi”ku yang sudah “mendarah daging”, maka aku mencoba ber”inovasi” dengan keisenganku, tapi kali ini aku nggak ingin “mengganggu” keseriusan teman-teman. Pulpen yang sedari tadi tergenggam di tanganku seperti punya gerak “reflek”, dan tanpa komando segera “menari” di atas kertas buku di hadapanku, aku mencoba membuat “replika” wajah sang widya iswara itu dan inilah hasil ke isenganku,

1430486944985708227
1430486944985708227


Teman sebelahku yang sempat melirik “karya”ku, tersenyum menahan tawanya sambil menyikut tanganku, aku hanya mengedipkan mataku seakan memberi “kode” : jangan ribut. Tapi meski aku suka usil dengan keisenganku, tetap saja aku berusaha “menangkap” semua materi yang di ajarkan selama pelatihan, karena biar bagaimanapun diklat ini kuanggap penting juga buatku, meski mungkin tak akan merubah “posisi”ku yang sekarang ini, mungkin aku memang nggak punya "bakat" untuk jadi pejabat, hehehe.

Jam 6 sore adalah saat yang paling kami tunggu, karena itu menjadi masa “jeda” dari kejenuhan selama seharian penuh. Usai makan malam, aku kembali ke kamar, tanpa sengaja kubuka coretan dalam bukuku, aku cuma bisa tersenyum kecut mengingat keisenganku. Masih dua minggu lagi, “belenggu” itu masih akan “mengikat” kebebasanku, aku belum bisa membayangkan type pengajar seperti apa yang akan mengajar di kelas besok, dan aku juga belum sempat berfikir keisengan apa yang akan kubuat besok, karena aku sudah tterlanjur “terkapar” di ranjang hotel akibat kecapekan.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun