Dalam dunia “Kompasiana”, sebenarnya saya (Fathan Muhammad Taufiq) dan pak Syukri (Syukri Muhammad Syukri) adalah dua kompasianer “beda kasta”, Pak Syukri adalah seorang kompasianer senior yang sudah bergabung dengan komunitas Kompasiana lebih dari 4 tahun yang lalu, sementara saya hanyalah kompasianer “pemula” yang baru “kemarin sore” bergabung dengan komunitas para blogger yang sudah cukup kesohor ini. Kiprah pak Syukri dalam menulis juga sudah mendapatkan “pengakuan” dari para pembaca kompasiana dan media cetak dan media online lainnya, sementara saya masih berstatus “anak bawang” yang masih harus banyak belajar dari para senior, dalam posisi ini, bagi saya pak Syukri adalah guru dan pembimbing saya yang dengan telaten terus memberi spirit dan motivasi kepada saya.
Begitu juga di bidang profesi, meski sama-sama bekerja di birokrasi, tapi “level” kami sangat jauh berbeda, kalo pak Syukri sudah berada di level “elit”, saya masih berkutat di level “sulit”. Tapi itu semua bukan menjadi penghalang untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi diantara kami, sikap “low profile” pak Syukri seperti menghapus “jarak” diantara kami. Dalam urusan kedinasan, pak Syukri menempatkan saya sebagai seorang “partner” bukan sebagai “anak buah”, sementara di luar urusan kedinasan , beliau menganggap saya sebagai teman dan sahabat yang lumayan kompak dalam berbagai hal. Kekompakan kami juga terlihat jelas di dunia maya, kontak di dunia maya seakan meniadakan batas diantara kami, karena ada prinsip di dunia maya yang berasumsi bahwa ketika berada di dunia cyber, setiap orang punya posisi sama yaiti sebagai “orang bisa” (meminjam istilahnya pak Iskandar “Isjet”Zulkarnain).Hobby yang hampir sama juga membuat kami semakin “akrab”, bahkan secara fisik, performa kami juga agak-agak mirip, sama-sama berkumis dan memiliki body “big size”, he…he...he.
Berawal dari keprihatinan pak Syukri yang salah satu bidang tugasnya adalah membina para penyuluh pertanian, beliau melihat masih banyaknya para penyuluh pertanian di Dataran Tinggi Gayo yang masih mengalami banyak kesulitan dalam menyampaikan informasi kepada publik akibat kondisi topografis wilayah yang didominsi perbukitan dan jarak tempuh ke kota yang cukup jauh, beliau berusaha untuk meretas kendala tersebut tanpa harus mengeluarkan dana yang akan membebani daerah. Muncullah ide untuk “menjembatani” kepentingan para penyuluh pertanian lapangan itu dengan memanfaatkan teknologi informasi, karena kebetulan hampir semua wilayah di Dataran Tinggi Gayo sudah terjangkau jaringan komunikasi seluler yang dapat dimanfaatkan untuk mengakses teknologi informasi.
Dari “diskusi kecil” antara pak Syukri dengan saya, akhirnya muncul gagasan untuk membuat sebuah forum di dunia maya yang nantinya bisa digunakan sebagai ajang tukar informasi dan komunikasi antar penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah. Maka dipilihlah media sosial facebook untuk merealisasikan ide sederhana ini, medsos ini dipilih karena dari pengamatan beliau sudah banyak penyuluh yang sudah cukup familiar menggunakan medsos ini, karena kalo menggunakan blog sendiri, sebagian besar penyuluh masih belum mampu untuk mengadopsinya.
Di akhir tahun 2013 yang lalu, dalam pertemuan bulanan penyuluh, sebuah grup rahasia di sosmed facebook yang bertajuk “Forum Penyuluh Aceh Tengah (Back Office)” resmi di” launching” di kalangan para penyuluh, saya dan pak Syukri kemudian bertindak sebagai adminnya. Respon awal yang ditunjukkan oleh para penyuluh juga cukup bagus, tapi yang namanya memulai sesuatu yang baru tentu saja ada kendala. Kendala utama yang kami hadapi adalah masih banyaknya penyuluh yang masuk dalam kategori “gaptek”, bahkan untuk sekedar membuat akun facebook sekalipun, masih banyak yang belum bisa, tentu saja kendala ini menjadi “PR” bagi kami.
Akhirnya secara perlahan saya mulai “mengajarkan” bagiamana membuat dan menggunakan akun di medsos ini kepada para penyuluh, agak sulit memang “mengajari” para penyuluh yang rata-rata sudah senior itu, harus “step by step”, itupun tidak cukup dengan sekali dua kali pertemuan. Sementara pak Syukri yang kesibukan dinasnya sebagai seorang pejabat sangat berjibun, terus meonitor dan memberi motivasi kepada saya untuk terus mensosialisasikan “inovasi” baru ini kepada teman-teman penyuluh.
Perlahan tapi pasti, grup forum penyuluh ini mulai “berjalan” dan lebih dari 60% penyuluh sudah bergabung di grup ini, para penyuluh sudah mulai familiar menggunakan medsos ini untuk saling berkomunikasi, menyampaikan informasi dan laporan kegiatan di lapangan, meski mereka berada dalam jarak jangkau yang berbeda. Pimpinan instansi yang menangani kelembagaan penyuluh pun merasa diuntungkan dengan adanya “inovasi” ini, beliau dapat memantau setiap saat apa yang dilakukan oleh para penyuluh di lapangan hanya denganmeng “klik” menu di grup ini.
Setelah berjalan lebih dari setahun, manfaat dari “terobosan baru” ini mulai dapat di rasakan, para penyuluh mendapat kemudahan untuk menyampaikan laporan kegiatan tanpa harus menempuh jarak puluhan kilometer dari wilayah kerjanya ke ibukota kabupaten, dari sisi ini tentu sudah merupakan suatu upaya penghematan, baik dari segi waktu maupun biaya.
Entah sebuah kebetulan, atau memang sudah jadi upaya terobosan pemerintah, dalam rangka peningkatan pelayanan kepada publik sebagai implementasi fungsi aparatur negara sebagai pelayan publik (abdi masyarakat), pada awal tahun 2015 ini Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) menggelar Lomba/Kompetisi Inovasi Peningkatan Pelayanan Publik, sebuah kompetisi terbuka dalam bidang peningkatan pelayanan publik yang diperuntukkan bagi seluruh Instansi Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.
Pak Syukri yang mendapat informasi tentang kompetesi ini dari situs Kemenpan dan RB, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Beliau beranggapan bahwa terobosan baru dengan memanfaatkan media sosial untuk mempercepat akses informasi bagai para penyuluh ini merupakan sebuah inovasi yang layak ditampilkan dalam kompetisi ini. Dengan sikap optimis yang sudah menjadi “trade mark” beliau, Pak Syukri akhirnya mencoba mengusung forum yang kami gagas lebih dari setahun yang lalu itu untuk diikut sertakan dalam ajang kompetisi berlevel nasional itu. Eksistensi grup facebook Forum Penyuluh Aceh Tengah inilah yang kemudian “dikemas” oleh pak Syukri dalam sebuah proposal bertajuk “Memanfaatkan Facebook Untuk Percepatan Pelayanan Publik” dan diikutsertakan sebagai salah satu peserta dalam kompetisi inovasi pelayanan publik yang digelar oleh Kemenpan dan RB tersebut.
Tanpa diduga dan di nyana, Alhamdulillah karya tersebut berhasil masuk nominasi bersama 69 nominator lainnya dari seluruh Indonesia. Ke tujuh puluh nominator tersebut kemudian di undang oleh Kemenpan dan RB untuk mempresentasikan karya inovatif tersebut di Jakarta pada akhir Maret sampai awal April 2015 ini. Kami sempat menduga-duga, lolosnya karya inovasi kami sebagai salah satu nominator dalam kompetisi ini, mungkin karena inovasi yang kami lakukan ini benar-benar nirbiaya alias inovasi yang nggak membutuhkan biaya sama sekali dalam menjalankannya, jadi sangat membantu dalam upaya penghematan anggaran negara. Dan dari pantauan kami, dari ide membuat grup forum penyuluh ini telah menginspirasi banyak pihak untuk mengadopsi inovasi ini dalam upaya peningkatan pelayanan kepada public dengan meng”copy” ide kami tersebut. Dilevel kabupaten Aceh Tengah sendiri, sudah ada beberapa disiminasi (turunan)yang terinpirasi dari terbentuknya grup facebook yang kami kelola ini, diantaranya Forum SKPK (Satuan Kerja Perangkat kabupaten) dan Forum Komunikasi Kelompok Tani Aceh Tengah, sebuah sinyal bahwa apa yang telah kami lakukan ini mmemiliki nilai positif.
Berdasarkan surat dari Kementerian Pemerdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor : Und/282/S.PANRB/5/2015 tanggal 17 Maret 2015, Peerintah Kabupaten Aceh Tengah yang dalam hal ini diwakili oleh karya inovatif 2 orang yang kebetulan sama-sama “berpredikat” kompasianer dari Tanoh Gayo ini mendapat giliran untuk mempresentasikan karya tersebut di Gedung Majapahit komplek Kemenpan RB pada tanggal 1 April 2015 mewakili dan membawa nama pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk bersaing dengan 69 inovator lainnya dari seluruh Indonesia.
Bupati Aceh Tengah, bapak Ir. H. Nasaruddin, MM yang memang sudah mengetahui “sepak terjang” kami sebagai “pengelola” dalam forum tersebut karena beliau juga sudah bergabung sebagai anggota dalam grup ini, langsung menunjuk dan memerintahkan pak Syukri dan saya untuk mengikuti dan menyampaikan presentasi dalam ajang adu inovasi tersebut.
Dari segi kesiapan fisik dan psikologis kami sudah cukup siap, tapi tidak demikian dari aspek finansial, kondisi kas daerah yang lagi “kosong”, cukup membuat kami kelabakan, bagaimana harus berangkat ke Jakarta yang nggak dekat itu dengan budget yang belum jelas. Tapi ibarat lirik lagu dangdut “terlanjur basah, ya sudah mandi sekali”, kami tetap bertekat untuk tidak mundur dari kompetisi tersebut, apapun konsekuensinya. Kami berprinsip bahwa untuk bisa masuk nominasi saja bukan sesuatu yang mudah karena harus “menyingkirkan” ribuan rival dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, kalo kami mundur hanya karena alasan finansial, berarti kami menyia-nyiakan kesempatan yang belum tentu bisa kami dapatkan pada tahun-tahun yang akan datang. Berbekal semangat dan tekad untuk membawa nama harum kabupaten Aceh Tengah di kancah nasional, meski harus menggunakan jurus “KKN (Kiri Kanan Ngutang)”, akhirnyakami sampai juga di Jakarta.
Dihadapan 4 orang panelis yang merupakan pakar-pakar birokrasi di lingkungan Kemenpan dan RB, dengan tenang pak Syukri menyampaikan presentasinya. Usai presentasi sekitar 10 – 15 menit kemudian dilanjutkan tanya jawab, disitu kolaborasi dan kekompakan antara saya dengan pak syukri sepeti “di uji”, dan Alhamdulillah, dengan sistim “berbagi porsi”, semua pertanyaan dari para panelis dapat kami jawab secara bergantian dengan baik, jalinan komunikasi yang baik diantara kami terasa sangat membantu kelancaran presentasi ini.
Itulah sekelumit kisah duo kompasianer asal Tanoh Gayo yang mencoba “uji nyali” di ajang kompetisi yang sebenarnya nggak ada kaitannya dengan Kompasiana, tapi keberadaan kami sebagai kompasianer yang selalu menjalin komunikasi dan interaksi dengan baik, mampu menjadi “modal” untuk membawa nama baik daerah kami di ajang kompetisi birokrasi di tingkat nasional.
Kembali ke daerah asal setelah menjalankan tugas yang kali ini minim financial, kami berdua hanya bisa berharap, inovasi sederhana tanpa biaya dari “Duo Kompasianer Gayo” ini bisa “bicara” di ajang kompetisi tersebut, semoga target kami untuk masuk “sepuluh besar” bisa tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H