Miris, itulah kata yang menurutku cukup pas untuk menggambarkan nasib para petani padi kita, bagaimana tidak, di saat mereka begitu bersemangat untuk mendukung program pemerintah untuk mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan, tiba-tiba saja usaha dan kerja keras mereka “dimentahkan” oleh terbitnya Instruksi Presiden yang mengijinkan impor beras.
Awal tahun 2015 merupakan awal kebangkitan para petani padi di Indonesia, mereka begitu antusias menyambut program pemerintahan baru yang katanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani padi untuk mengembalikan kejayaan bangsa 31 tahun yang lalu yaitu menggapai kembali swasembada beras. Para petani seperti merasa “tersanjung” dengan program ini, apalagi pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga menggandeng TNI untuk mensukseskan program ini.
Sentra-sentra produksi beras nasional kembali bergairah, penerapan pola tanam terpadu pun digalakkan untuk mencapai tujuan mulia mengembalikan kedaulatan pangan yang selama ini “terjajah” oleh beras impor. Kawasan penghasil beras utama di pulau Jawa mulai menggeliat, para petani dari ujung barat Banten sampai ujung timur Jawa Timur, merespon secara positif program ini, dan hanya dalam hitungan bulan, kerja keras para petani sudah mulai menampakkan hasil.
Kegembiraan para petani di Indramayu seakan tak tergambarkan ketika musim panen kali ini, sawah mereka dikunjungi orang nomor satu di negeri ini. Bak seorang pahlawan, kehadiran pak Jokowi untuk melakukan panen padi bersama para petani di Indramayu, di elu-elukan oleh setiap orang yang menyambut kedatangannya. Dan seperti biasanya, sang Presiden tanpa canggung langsung turun ke sawah, memegang sabit lalu secara simbolis melakukan panen di lahan petani, dan panen kali ini memang sangat mengembirakan, produktifitas sawah mereka meningkat cukup signifikan.
Sebagaimana “tradisi” pak Jokowi, acara “blusukan”nya selalu diakhiri dengan statemen-statemen singkat yang kebanyakan berupa janji-janji, dalam acara panen padi di Indramayu tanggal 18 Maret 2015 yang lalu, sang presiden juga mengeluarkan statemen yang cukup “menyejukkan” para petani, dalam kesempatan itu dia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melakukan impor beras demi untuk melindungi para petani. Statemen dengan gaya bersahaja itu pun disambut dengan riuhnya tepuk tangan para petani yang merasa bahwa pemimpin mereka benar-benar apresiasif dengan hasil kerja keras mereka.
Namun kegembiraan para petani di Indramayu dan juga petani di seluruh Indonesia seakan hanya menjadi kegembiraan semu, karena statemen sang “pahlawan” ternyata hanya sebatas lips service yang begitu kental dengan aroma pencitraan. Entah karena amnesia, entah karena ada desakan dari pihak-pihak tertentu, tanpa malu-malu, tanpa beban moral, sosok yang selama ini selalu tampil bersahaja itu begitu mudahnya “menelan ludahnya sendiri”, janji didepan para petani juga kemudian hanya sebatas janji, seakan semakin menobatkan dirinya sebagai “juara janji”.
Nggak butuh waktu lama untuk melupakan janji di depan petani-petani yang begitu “tersihir” dengan statemen “membuai” itu, hanya dua hari setelah “umbar janji” di Indramayu, tanggal 20 Maret 2015, sang presiden begitu entengnya menekan ballpoint diatas kertas berisi Instruksi Presiden yang memberikan ijin untuk melakukan impor beras. Tentu saja Inpres itu merupakan “kalimat sakti” yang sangat ditunggu-tunggu oleh para spekulan beras, karena terbukanya kran impor beras berarti juga terbukanya kembali kran “rejeki” bagi mereka, impor beras akan menjadi ajang bisnis menggiurkan yang menjanjikan pundi-pundi keuntungan besar bagi mereka. Tapi disisi lain, legalisasi impor beras itu seakan “membobol” upaya dan kerja keras petani yang selama ini mereka tunjukkan sebagai bentuk dukungan riil mereka kepada program pemerintah. Cucuran keringat mereka menggarap sawah secara intensif akan segera berubah menjadi cucuran air mata, karena hasil kerja keras mereka berupa padi dan beras yang mereka harapkan mampu mengangkat kesejahteraan mereka akan segera tergilas oleh beras impor.
Tapi untungnya para petani kita bukanlah orang-orang yang “cengeng” yang hanya bisa merengek minta dibelas kasihani, meski mereka kini tidak hanya harus melawan hama dan penyakit tanaman yang menyerah tanaman padi mereka, tapi juga harus melawan para “mafia beras”, semangat mereka untuk terus meningkatkan produktifitas hasil usaha tani mereka tidak menjadi kendur. Mereka seakan sudah “kebal” mendapatkan perlakuan tidak adil dari para pemangku kebijakan di negeri ini, meski demikian bukan mustahil kebijakan “bermuka dua” ini akan menyemaikan benih-benih ketidak percayaan petani kepada pemimpin mereka, jika ondisi demikian dibiarkan berlalrut, maka target swasembada pangan tahun 2017 yang selama ini digembar gemborkan pemerintahan baru ini hanya akan tinggal menjadi slogan yang tidak berarti apa-apa.
Ribut-ribut soal traktor yang ditarik kembali usai acara blusukan pak presiden kesawah di Jawa Timur, mungkin saat ini sudah mulai dilupakan orang, karena mereka sudah mulai menyadari bahwa traktor-traktor “siluman” itu tidak lebih dari “properti” pencitraan semata. Tapi kebijakan membuka kembali ijin impor beras tentu tidak akan begitu mudah dilupakan para petani, karena akan berdampak sistematis dan terstruktur dalam jangka panjang. Ketika beras-beras impor itu mulai “membanjiri” pasar, maka beras produksi petani kita akan semakin terpuruk, seiring terpuruknya nasib para petaninya. Lalu untuk apa ada program swasembada pangan? Kalo toh setiap kali ada sedikit “gangguan” harga pangan kemudian disikapi dengan kebijakan “instan”? bertanyalah kepada para petani kita di Indramayu, Karawang, Brebes,Cilacap, Bojonegeoro, Probolinggo dan daerah sentra produksi beras lainnya di seluruh negeri ini, mungkin mereka bisa menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H