Akisah di sebuah rimba yang sangat lebat dan belum terjamah manusia, hiduplah ribuan satwa liar dari berbagai jenis mulai dari mamalia, binatang melata, binatang ampibi, berbagai jenis burung dan berbagai jenis ikan yang mendiami sungai-sungai yang membelah rimba itu. Kehidupan di dalam rimba itu meski tak bisa dibilang damai, tapi cukup tenang dan berjalan secara alami. Seperti umumnya hutan lainnya, rimba itu juga dihuni berbagai binatang buas seperti harimau, singa, serigala, beruang, buaya dan sebagaianya, binatang-binatang itu tentu saja kehidupannya sangat tergantung kepada tersedianya binatang lain ya ng selama ini jadi mangsa mereka seperti kijang, kancil, kambing hutan, banteng, kelinci dan lain-lainnya. Meski demikian, populasi binatang yang jadi mangsa binatang-binatang buas itu tetap terjaga, karena binatang-binatang buas itu hanya membunuh dan memangsa buruannya sesuai kebutuhan pangan mereka.
Entah peraturan dan undang-undang apa yang berlaku di rimba itu, selalu saja binatang yang dianggap terkuat yang berhak menjadi penguasa di rimba itu, maka secara bergiliran harimau dan singa, sesuai dengan hukum rimba dinobatkan menjadi raja di rimba itu. Kompetisi untuk bisa menduuki “tahta” itupun juga menganut hukum rimba, dimana yang kuat, dialah yang berkuasa.
Syahdan, seekor harimau tua yang selama ini memimpin rimba itu mulai terlihat sakit-sakitan, tubuhnya mulai ringkih, gigi dan taringnya sudah mulai tanggal, dan berdirinya pun sudah tidak lagi sekokoh dulu lagi. Para penghuni rimba itu sudah memaklumi, jika posisi raja mereka sudah tidak memungkinkan lagi dipertahankan, maka harus segera ada suksesi dalam kerajaan rimba itu. Seekor singa muda mulai tebar pesona untuk mencari simpati warga hutan itu, dia merasa bahwa dirinya layak untuk menggantikan posisi harimau tua itu. Sementara harimau-harimau muda, harus bersabar untuk bisa menikmati kursi raja sampai suksesi periode berikutnya, karena memang begitu peraturan yang sudah berlaku secara turun temurun, harimau dan singa dinobatkan sebagai raja rimba secara bergantian.
Tapi tidak seperti suksesi-suksesi sebelumnya yang biasanya diputuskan dengan aklamasi, maka suksesi kali ini terlihat beda. Seekor kancil mersa bahwa proses pergantian pimpinan rimba yang berjalan selama ini sangtlah tidak adil, dia merasa bahwa semua binatang di rimba itu berhak untuk dipilih menjadi raja, bukan hanya harimau dan singa saja. Diapun mulai “blusukan” untuk mencari dukungan dan simpati warga rimba, dimana ada kumpulan binatang, disitu dia mulai “memprovokasi” warga rimba untuk melakukan “reformasi” dalam pemilihan raja hutan, slogan “ketidak adilan” yang dia kampanyekan segera mendapat sambutan hangat dari para warga rimba, mereka setuju kalo sistem pemilihan raja harus dirubah.
Dengan segala kecerdikannya, binatang bertubuh kecil itupun berhasil mempengaruhi opini sebagian besar warga rimba, dia juga mengusulkan bahwa dalam pemilihan raja rimba tidak lagi dengan adu kekuatan tetapi dengan adu kecerdikan. Singa muda yang mulai mengendus gerak gerik dan pencitraan yang dilakukan oleh kancil, agak merasa gusar juga, tapi dia tidak khawatir, karena dia merasa, selain memiliki fisik yang kuat, dia juga merasa lebih pintar dari si kancil, jadi dia tidak mempermasalahkan sistem apa yang akan dipakai dalam pemilihan raja rimba nantinya, adu otot oke, adu otakpun no problem, begitu yang ada dibenaknya, dia sangat optimis dari segi apapun dia pasti akan unggul dari rivalnya.
Sementara itu, pencitraan dan penggiringan opini yang dilakukan oleh kancil semakin membuat nama kancil semakin “berkibar”, maka tanpa malu-malu lagi kancil mengajukan dirinya sebagai calon raja yang siap bersaing dengan sang singa. Kekuatan “politik” di rimba itupun segera terbelah, sebagian warga yang tidak ingin tatanan dalam rimba itu rusak, tetap memilih singa sebagai calon raja, sementara para pendukung kancil yang sudah terlena dengan iming-iming si kancil lewat pencitraaanya, menginginkan adanya perubahan signifikan seperti yang dijanjikan oleh si kancil.
Harimau tua yang menyadari bahwa kondisi fisiknya tidak memungkinkan lagi untuk meminpin ribuan warga rimba itu, dengan legowo menyatakan lengser dari tahta yang telah didudukinya selama sepuluh tahun, dia juga tidak keberatan dengan sestem baru dalam pemilihan raja kali ini, karena dia sudah bisa “membaca” betapa kuatnya “arus bawah” yang diusung oleh kancil dan para pendukungnya.
Pada hari yang sudah ditetapkan, pemilihan raja rimba itupun dilaksanakan, sebuah “panggung” berupa lempengan batu besar dipersiapkan untuk dua kandidat raja yang maju dalam “pilaraja” kali ini. Singa muda maju dengan gagahnya menuju panggung itu, sementara kancil menyusul sambil senyum-senyum dan cengengesan. Gajah, beruang, rusa dan banteng yang ditunjuk menjadi panitia pemilihan raja juga sudah menduduki tempatnya masing-masing, sementara seluruh penghuni rimba kecuali ikan-ikan penghuni sungai, sudah berkumpul di padang rumput yang menjadi “arena” pemilihan raja itu.
Acara pilraja itupun dimulai dengan debat kandidat, singa yang mendapat giliran pertama segera menyampaikan “program”nya untuk mensejahterakan warga rimba dengan cara melanjutkan kebijakan raja-raja sebelumnya, karena telah dia berasumsi kebijakan raja-raja sebelumnya telah terbukti mampu menjaga kesimbangan ekosistim dalam rimba itu. Kancil yang mendapat kesempatan kedua memulai “orasinya” dengan berbagai program baru seperti revitalisasi hutan dan sungai serta pembaharuan sistem pemerintahan, para pendukungnya yang sudah “tersihir” dengan janji-janji muluk sang kancil bersorak riuh memberi aplaus kepada calon raja mereka. Rata-rata mereka merasa kagum dengan kebaranian dan kecerdasan si kancil, sehingga mreka seperti “terbius” dengan orasi sang kandidat. Dalam sesi ini, panitia sepakat memberikan skor 40 untuk singa dan 60 untuk kancil, pendukung kancil semakin bersemangat.
Setelah jeda sesaat, acara pemilihan dilanjutkan dengan pemungutan suara, cara pemungutan suara itupun sudah “direkayasa” sedemikian rupa oleh “tipu daya” kancil dengan mengatas namakan demokrasi, sampai-sampai panitia hanya mengiyakan saja system pemilihan yang diusulkan oleh kubu kancil. Dalam pemilihan itu, para pemilih cukup menyerahkan “bukti” memilih berupa bahan pangan utama dari kedua kandidat itu, maka disepakati yang memilih singa menyerahkan sepotong tulang sedangkan yang memilih kancil menyerahkan selembar daun apa saja. Tentu saja “taktik” ini sangat menguntungkan kubu kancil, karena mencari sepotong tulang di dalam hutan jauh lebih sulit dibandingkan mencari selembar daun.
Setelah memberi waktu beberapa jam kepada para pemilih untuk mencari dan menyerahkan bukti pilihan mereka, maka didepan panggung kontes pilraja itupun telah teronggok dua tumpuk bukti pemilih. Panitia mulai menghitung “barang bukti” itu dan hasilnya kancil menang telak, singa muda terlihat lesu segera meninggalkan panggung pilraja dan menghindar dari keramaian yang diikuti oleh para pendukungnya. Tinggallah kancil bersama pendukungnya, gajah selaku ketua panitia naik ke atas “panggung”, dengan belalainya, dia mengangkat tubuh mungil sang kacil dan menyatakan sejak saat ini rimba dipimpin oleh raja kancil, para pendukung kancil bersorak sorai merayakan kemenangannya.
Untuk merayakan kemenangannya, kancil mengajak para pendukungnya mengadalkan pesta selama sepekan penuh, akibat pesta yang berlebihan itu banyak “infra struktur” rimba yang porak poranda, tapi sang raja baru menganggap itu sesuatu yang wajar, dia bilang itu ekspresi kemanagan rakyat, toh nanti semua yang rusak akan diganti dengan yang baru. Usai pesta itu, kancil mulai membentuk “kabinet” untuk mendukung pemerintahan barunya, semua tokoh penting yang selama ini medukung pencalonannya sebagai raja diberi kedudukan strategis, tanpa memperhatikan skill mereka, yang penting loyalitas dan totalitas mereka dalam mendukung sang kancil tanpa reserve itu yang jadi syarat utama. Profesiaonalisme dikesampingkan hanya demi “balas jasa” kepada para pendukung pfanatiknya.
Baru beberapa bulan pemerintahan sang raja kancil, kondisi pemerintahan sudah mulai goyang, banyak kebijakan para anggota “kabinet” yang melenceng dari janji-janji kampanye sang kancil, bahan pangan bagi warga yang semakin langka, keamanan rimba yang mulai goyah, serta munculnya kelompok-kelompok kecil dari bekas pendukungn ya yang tidak mendapatkan porsi jabatan membuat stabilitas pemerintahan sang kancil mulai terganggu. Sementara sang raja yang merasa bahwa situasi rimba baik-baik saja, masih asyik tebar pesona dengan mengobral janji-janji dihadapan para pendukungnya saat ia melakukan blusukan untuk mempertahankan citranya.
Sementara singa muda, rival sang kancil dalam pilraja justru lebih menunjukkan sikap ksatrianya, dia justru mampu meredam emosi para pendukungnya yang merasa ada keganjilan dalam pemilihan raja tersebut, karena tumpukan tulang yang dikumpulkan oleh ikan-ikan di sungai tidak ikut dihitung dalam penghitungan suara pilraja, padahal jumlah pemilih singa di wilayah “air” tersebut sangat signifikan. Padahal kalao dia mau, dia bisa saja menggunakan “power” yang dimilikinya untuk membuat kedudukan sang kancil menjadi tidak nyaman, tapi itu tidak dia lakukan, karena dia lebih mengutamakan kerukunan diantara warganya jangan sampai terbelah.
Memasuki bulan kelima pemerintahan sang raja kancil, situasi rimba semakin tak terkendali, krisis pangan yang semakin akut diseluruh kawasan rimba, membuat kesabaran para pendukung sang kancil semakin menipis. Diam-diam mereka menggalang kekuatan arus bawah untuk segera melengserkan sang raja, karena meraka melihat apa yang dikerjakan oleh sang raja sudah jauh meleset dari janji-janjinya. Intel kerajaan yang sudah mencium gelagat kurang baik ini segera menyampaikan informasi ini kepada sang raja kancil, tapi sikap raja kancil seperti tidak berubah, menghadapi segala permasalahan dengan cengengesan nyaris tanpa wibawa.
Hari yang tidak diinginkan sang raja pun tibalah, gelombang demo warga rimba sudah tak terbendung lagi, pengawal dan punggawa raja tak mampu mengamankan demo massal itu, mereka menuntut agar sang raja segera lengser karena dianggap tidak becus memeimpin rimba. Dengan cukup pede dan masih dengan gaya cengengesannya, sang kancil dengan sok berani menampilkan dirinya di depan warga rimba, padahal semua pengawal sudah berusaha mencegahnya.
Sambil melambai-lambaikan kaki depannya, sang kancil tampil seolah tanpa dosa, tapi belum sempat mengucap sepatah katapun, setumpuk kotoran kerbau sudah menimpuk wajahnya yang kemudian disusul dengan hujan batu yang mengarah ke tubuh mungilnya. Sadar bahwa situasi sudah tidak kondusif lagi, sang kancil mengambil sikap terakhirnya yaitu mengambil langkah seribu meninggalkan para pendemo yang makin lama makin bertambah jumlahnya. Hanya didampingi istri dan anak-anaknya, sang kancil meninggalkan istana mencari tempat persembunyian yang dia rasa aman. Dari tempat persembunyiannya, akhirnya sang kancil memberikan maklumat raja, bahwa dia resmi mengundurkan diri dari jabatan raja. Gajah segera mengambil alih “komando” mengumumkan maklumat raja tersebut kepada semua warga rimba, dan dengan “otoritas”nya, dia kemudian mengangkat snag singa muda untuk menggantikan posisi sang kancil yang sudah kehilangan muka dan citra didepan pendukungnya itu, dan situasi rimba pun kembali normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H