Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"I Like Dangdut", Bukan Asal Goyang

2 Desember 2014   19:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:14 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dangdut musik kampungan alias norak, begitu pendapat sebagaian orang, suatu pendapat yang menurutku tidak bisa dinafikan begitu saja. Pendapat itu muncul sebenarnya juga berawal dari perilaku para “pelaku” dangdut itu sendiri, lirik lagu yang tidak mendidik, pakaian seronok ditambah goyangan erotis sebagian penyanyi dangdut seolah menjadi pembenar pendapat ini. Belakangan muncul aneka goyangan dangdut yang “aneh-aneh” seperti goyang ngebor, goyang patah-patah, goyang itik, dan sebagainya yang sepertinya hanya ekspresi erotisme fisik semata, untuk menutupi kualitas vokal yang nyaris “pas-pasan”.

Tapi rasanya tidak adil kalau menilai jenis musik ini secara sepihak, coba simak penampilan dan alunan suara penyanyi dangdut Evie Tamala, Muchsin Alatas, Basofi Sudirman, Megy Z, dan tentu saja bang haji Rhoma Irama. Di”tangan” mereka musik dan lagu dangdut justru terdengar sangat  elegan, demikian juga penampilan dan pakaian mereka yang “biasa-biasa” saja tapi didukung kualitas vokal yang mumpuni dengan kemasan aransemen yang enak didengar dan dinikmati, membuat dangdut serasa tidak pantas untuk disebut “kampungan”.

Terlepas dari asumsi musik dangdut itu kampungan atau elegan, harus diakui bahwa dangdut adalah jenis musik yang sangat merakyat dan nyaris tidak mengenal kasta dan strata, kalau meminjam istilahnya Almarhum KH Zainuddin MZ, dangdut seolah sudah menjadi “musik sejuta umat” karena sudah didengar dan dinikmati oleh jutaan umat manusia. Alunan musik dangdut bisa terdengar mulai dari kaki lima sampai ke hotel bintang lima, mulai dari gubuk reot sampai real estate, begitu juga para penikmatnya, mulai dari pengamen sampai presiden, mulai dari kopral sampai jenderal, mulai dari rakyat sampai pejabat. Bahkan belakangan ini musik dangdut juga sudah mulai merambah negara-negara Eropa dan Amerika, kalau untuk kawasan Asia seperti Malaysia, Singapura, Thailand, China, Jepang dan Korea, jenis musik ini malah sudah lama dikenal dan digemari, kalau India dan Pakistan itu memang “rumahnya” dangdut.

Bicara dangdut, ada sebuah acara di sebuah stasiun televisi swasta yang cukup menarik, acara bertajuk “I Like Dangdut Challenge” itu menurutku merupakan sebuah terobosan baru yang sangat bermanfaat. Dengan kemasan “musik kerakyatan” itu, penggagas acara berusaha mengetuk nurani kepedulian semua orang untuk ikut peduli terhadap dunia pendidikan, khususnya perbaikan sarana pendidikan di daerah-daerah terpencil yang selama ini nyaris luput dari perhatian para pihak yang berkompeten.

Konsep acara ini pun dirancang sangat sederhana, masyarakat dari berbagai kalangan “ditantang” untuk berjoget dangdut tapi dengan syarat harus menyumbang minimal lima puluh ribu rupiah untuk dana pendidikan. Antusiasme dan sambutan positif pun muncul dari berbagai kalangan, mulai dari level menteri, gubernur, bupati, pengusaha, politikus dan public figure lainnya. Tidak kurang dari seorang Dahlan Iskan, Ignatius Jonan, Ganjar Pranowo, Syaifullah Yusuf, Tri Risma dan sederet nama terkenal lainnya sudah memenuhi tantangan ini, tanpa memperdulikan status, jabatan maupun atribut sosial lainnya, mereka pun seolah membuang rasa sungkan atau malu-malu memenuhi tantangan bergoyang dangdut dengan durasi kurang lebih dua menit itu, seolah mereka sedang memposisikan diri sebagai “orang biasa”.

Menurutku “I Like Dangdut” adalah ide yang sangat brilian, ditengah kecenderungan menurunnya kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan, para penggagas acara  mampu meng”hipnotis” semua kalangan dengan balutan goyang dangdut yang ternyata digemari nyaris oleh semua kalangan dan dengan spontanitas mengeluarkan sedikit kocek mereka untuk kemajuan pendidikan di negeri ini . Kalau selama ini goyangan dangdut hanya identik dengan eksploitasi dan erotisme fisik (sebagian) penyanyi dangdut semata, tapi goyang dangdut “sak karepe dewe “ di acara I Like Dangdut itu benar-benar goyang yang bermanfaat.

Sekali lagi harus diakui bahwa dangdut adalah musik “fenomenal”, dicaci tapi juga digemari, dicerca tapi juga di puja, dihujat tapi juga banyak yang minat. Dan kalau ada yang nanya padaku apa jenis musik kesukaanmu, aku tidak akan ragu mengatakan “I like dangdut”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun