Usia Kabinet Kerja nya pemerintahan Jokowi-JK baru seumur toge (belum lagiseumur jagung), tapi sudah banyak kebijakan, penyataan, statemen maupun ucapan beberapa anggota kabinet yang mengundang kontroversi dan polemik di kalangan publik. Kondisi seperti ini sebetulnya justru bisa menjadi “kontra produktif” bagi kabinet yang mengedepankan “kerja” tersebut, dan secara tidak langsung justru akan menjadi “bumerang” baik bagi sang menteri maupun kabinet secara umum.
Kali ini, aku akan sedikit “menyorot” ibu Menteri Sosial kita, Khofifah Indar Parawansa, perempuan yang sudah dua kali menduduki posisi menteri dan dua kali pula “kalah bersaing” dengan Pakde Karwo untuk “merebut” kursi Gubernur Jawa Timur itu. Awal dari “kegatalan” saya untuk melayangkan “kritik” ini mungkin hanya sesuatu yang “sepele” dan ‘tidak perlu diperdebatkan”, karena hanya bermula dari “candaan” sang menteri saat meberikan sambutan resmi dalam acara peluncuran Program Keluarga Harapan (PKH) di Kupang, Nusa Tenggara Barat.
Candaan yang menurutku rada-rada “vulgar” itu terucap dari mulut sang menteri saat menyinggung tentang pentingnya air susu ibu bagi pertumbuhan dan perkembangan balita, ditengah-tengah sambutan dalam acara resmi dan terbuka yang diahdiri ratusan orang itu, Khofifah melontarkan intermezzo “Sudah begitu, bapak-bapak malah rebutan ASI dengan balita, ini kan repot” begitu kira-kira yang yang dikutip oleh beberapa media. Ada yang kemudian “tersentak” dengan ucapan menteri Khofifah yang cukup “berani” mengungkap “rahasia laki-laki” itu di hadapan ratusan orang yang menghadiri acara resmi itu, meski aku yakin banyak bapak-bapak yang hadir disitu hanya senyum-senyum tersipu karena “rahasia perusahaan”nya dibuka oleh sang menteri. Harus diakui bahwa yang diucapkan bu menteri sebenarnya adalah “realita sehari-hari” di kalangan kaum laki-laki, tapi harus di ingat pula bahwa realita itu juga merupakan “rahasia pribadi” yang mestinya tidak perlu dibuka di muka umum.
Kalo saja ucapan itu keluar dari pasangan suami isteri yang sedang berada di kamar (dan tentu saja tidak di ekspose media) atau keluar dari mulut ibu-ibu yang lagi ngegosip di depan tukang sayur keliling, mungkin tidak aka nada yang mempermasalahkan apalagi memprotesnya, paling-paling hanya membuat ibu-ibu itu tertawa cekikikan atau tesenyum geli dan abang tukang sayur tersipu malu. Tapi yang menjadi terasa “kurang etis” ketika ucapan itu keluar dari seorang pejabat tinggi negara dalam acara resmi pula.
Bisa saja “candaan” itu merupakan “pengalaman pribadi” sang menteri bersama suaminya, tapi itu kan sifatnya “privacy” sekali, dan agaknya kurang pantas diungkapkan di forum resmi seperti itu. Mungkin orang akan beranggapan bahwa aku ini terlalu “usil” mengkritisi soal “kecil” dan “nggak penting” ini, tapi aku teringat ada seorang da’I pernah mengatakan bahwa ucapan seseorang itu merupakan interpretasi dari apa yang ada dalam fikiran dan hatinya, ibarat “sebuah teko yang berisi kopi, ketika dituang isinya, yang keluar juga kopi”.
Seorang pejabat publik, mau tidak mau, suka tidak suka, setiap tindakan dan ucapannya akan menjadi “konsumsi” publik pula, rasanya akan lebih bijak jika para pejabat tinggi Negara itu bisa memilih dan memilah mana ucapan atau statemen yang perlu dan pantas di “publikasi”kan dan mana yang tidak. Terkadang hal yang justru dianggap sepele bisa jadi akan menjadi bahan polemik di kalangan publik dan akhirnya menjadi sesuatu yang “kontra produktif”.
Masa jabatan ibu Khofifah di Kabinet Kerja masih sangat panjang, dan banyak tugas-tugas penting Negara yang harus segera mendapatkan prioritas, jadi alangkah bijaknya kalo ibu menteri lebih “selektif” memilih kalimat atau kata-kata yang akan di ucapkan atau dijadikan statemen atau sekedar bahan candaan, karena sekali terucap, kalimat itu tidak akan bisa “direvisi” dengan seribu kalimat berikutnya. Silahkan saja ibu menteri mengeluarkan candaan atau “guyon parikeno” dalam setiap acara yang dihadirinya, karena dengan sedikit bumbu canda, acara yang sedang berlangsung akan terasa lebih “hidup”, tapi aku berharap guyonan yang natinya akan dilontarkan adalah “canda beretika” yang tidak nyerempet-nyerempet hal-hal yang bersifat vulgar, karena harus disadari bahwa kita adalah bangsa “timur” yang masih lekat dengan adat dan budaya ketimuran.
Akhirnya aku hanya bisa berharap “kritik kecil” tidak berkembang menjadi polemic berkepanjangan, karena apa yang aku kritik hanyalah sesuatu yang “kecil dan tidak penting”, tapi aku juga berharap kritikan ini bisa jadi bahan introspeksi dan retrospeksi buat bu menteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H