Sebenarnya kita nggak perlu heran atau pura-pura terkejut dengan keputusan sidang praperadilan yang menerima gugatan Komjen Budi Gunawan, karena sebelum hakim Sarpin Rizaldi mengetukkan palunya, toh bocoran putusan sidang praperadilan itu sudah beredar dimana-mana. Dan itu juga bukan hal yang baru di dunia hokum negeri kita, sebelumnya kita juga sudah menyaksikan bagiamana sprindik KPK atas nama Anas Urbaningrum sudah bocor kemana-mana sebelum Anas “resmi” ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, jadi fenomena seperti itu bukanlah hal baru yang harus diributkan.
Yang mungkin perlu kita cermati sekarang adalah esensi dari putusan sidang praperadilan itu, secara formal yuridis, keputusan yang dibacakan oleh hakim Sarpin itu sudah mengikat pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu. Mau tidak mau, suka tidak suka KPK harus “mencopot” status tersangka yang sudah terlanjur “disematkan” pada diri pak Budi Gunawan, karena sudah jelas, erdasar putusan sidang itu, status tersangka pak Budi dianggap tidak sah dengan eragai argumen yang tidak perlu kita kaji lagi. Dengan demikian seemntara ini pak Budi sudah dalam posisi “aman”, bahkan saat ini “bargaining position” pak Budi makin naik dengan adanya putusan ini. Memang sih kasus ini sekarang sudah “dibawa” ke Komisi Yudisial, tapi harus kita ingat, Komisi Yudisial itu hanya “mengadili” sesuatu yang terkait dengan kode etik, jadi apapun keputusan KY nantinya, sama sekali tidak akan merubah keputusan hokum yang sudah terjadi, jadi nggak perlu berharap KY bisa “menganulir” keputusan sidang praperadilan yang sudah diputuskan oleh Sarpin.
Terlepas apakah nanti pak Budi dilantik atau tidak sebagai Kapolri, tentu itu bukan ranah kita untuk membahasnya, karena itu sepenuhnya menjadi hak prerogative Presiden. Tapi yang jelas, palu yang telah diketukkan oleh Sarpin sudah pasti akan berdampak lebih besar lagi bagi proses penegakan hokum khususnya tindak pidana korupsi di negeri ini. Dengan “lepas”nya pak Budi dari “jerat” KPK, secara otomatis posisi lembaga kepolisian menjadi lebih kuat, dan tidak lama lagi kita akan melihat Abraham Samad, Zulkarnain dan Pandu akan segera menyusul Bambang Wijoyanto mengenakan baju “tersangka”, karena gejala ke arah itu sudah semakin terlihat jelas, hanya tinggal menunggu waktu.
Dan ketika semua petinggi KPK sudah berstatus “tersangka”, secara de facto KPK sudah “mati”, karena lembaga yang selama ini dianggap “super body” ini tidak mungkin dapan menjalankan tugas dan fungsinya kalo semua pimpinannya “non aktif”. KPK bukanlah mobil remote control yang dapat berjalan sendiri tanpa adanya “pengemudi”, juga bukan pesawat yang bisa berjalan dengan “pilot otomatis”, kalaupun nantinya Presiden menunjuk Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, tetap saja lembaga ini tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara optimal, karena bagaimanapun yang namanya PLT itu tidak punya kewenangan untuk mengambil kebijakan atau memutuskan sesuatu yang sifatnya strategis dan prinsipil.
Jika kemudian yang terjadi adalah seperti yang tergambarkan di atas, maka kita boleh berasumsi bahwa palu yang diketukkan oleh hakim Sarpin adalah awal untuk memahat “batu nisan” KPK yang saat ini kondisinya sudah mulai “sekarat”. Upaya penyelamatan KPK yang dilakukan oleh banyak pihak, sepertinya juga tidak akan berarti apa-apa. “Save KPK” yang digembar gemborkan selama ini juga akan tinggal sebagai slogan yang tak bermakna.
Sidang praperadilan sebenarnya hanyalah sebuah proses hukum biasa, dan di negeri ini sudah ribuan kali sidang semacam itu digelar. Tapi sidang praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan tentu bukan sidang biasa karena sidang ini menyangkut kelangsungan hidup sebuah lembaga penegakan hukum yang selama ini digadang-gadang sebagai “pendekar” pemberantas korupsi di negeri ini. Dan sekarang public sudah dapat melihat dengan jelas bahwa palu Sarpin telah “memukul telak” lebaga yang dipimpin Abraham Samad itu, pukulan telak itu tidak saja membuat KPK “knock out” lalu “koma”, tapi bukan tidak mungkin juga bisa “mengubur” KPK, sehingga nama KPK nantinya hanya dapat dikenal dari “pusara”nya.
Lalu apakah ini merupakan akhir dari upaya memersihkan negeri ini dari korupsi? Tentu jawabnya tidak, karena apa yang kita prediksi belum tentu terjadi, masih ada seribu kemungkinan yang bakal terjadi dan dalam kondisi “abnormal” seperti sekarang ini, sesuatu yang mustahil pun bisa saja terjadi. Bisa saja nantinya KPK akan ber”reinkarnasi” dengan nama lain, bisa saja KPK yang sekarang ini tetap bertahan tapi dengan “format” berbeda, semuanya masih serba berkemungkinan, kita hanya bisa menebak-nebak. Namun demikian, kita harus tetap mengantisipasi jika kemungkinan terburuk itulah yang justru terjadi, kondisi seperti inilah yang semestinya dicarikan solusi secepatnya oleh pak Presiden selaku pemegang mandate rakyat dan para anggota dewan yang terhormat yang konon merupakan wakil-wakil rakyat. Ada pepatah mengatakan “Tak ada hujan yang tak reda” barangkali bisa menjadi inspirasi bagi pihak-pihak terkait mencari solusi terbaik.
Sebagai rakyat jelata, kita hanya bisa berharap agar pihak kepolisian bisa “cooling down” dan tidak membabi buta memper”tersangka”kan para petinggi KPK, demikian juga KPK kita harapkan bisa “mawas diri” dan introspeksi atas kelemahan-kelamahannya selama ini, harus disadarai bahwa siapapun termasuk para petinggi KPK dan Kepolisian itu bukanlah makhluk yang sempurna, ada sisi-sisi lemah yang harus segera diperbaiki, kelemahan-kelemahan itu seharusnya bisa saling tertutupi jika para pihak mampu bersinergi dengan baik. Lupakan jargon “Cicak VS Buaya”, karena KPK dan Polri sejatinya bukan pihak yang harus mengambil posisi “berhadapan” apalagi “berlawanan”, kedua institusi ini seharusnya “berdampingan” dan bersinergi dalam penegakan hukun di negeri ini, karena kita semua tau, dipundak mereka melekat status “penegak hukum” yang semestinya berupaya optimal untuk menegakkan hokum, bukan malah bersaing dalam mempermainkan hukum. Kita ingin KPK menjadi Kuat, Polri juga kuat dan dengan kekuatan itu mereka mampu memberantas korupsi yang selama ini menjadi “biang kerok” keboborokan di negeri ini.
Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi esok, tapi selama matahari masih menyinari bumi, setidak-tidaknya kita masih punya harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H