“Untuk Sebuah Nama”, lagu yang popular tahun 80-an oleh si cantik Meriam Bellina (maaf kalau salah). Judul tersebut memberi kesan yang mendalam bahwa betapa berartinya “nama”. Nama jadi kerinduan, kebanggaan dan cita-cita. Bukan bermaksud untuk menantang karya monumental William Shakespheare, ‘Apalah Arti Sebuah Nama’.
Pemberian nama, pada sebagian besar masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang sakral. Setiap etnis, agama dan kepercayaan memiliki tradisi dan ritual tersendiri. Bagi penganut Islam, pemberian nama biasanya pada gelaran aqiqah atau syukuran lahirnya buah hati. Selain sebagai identitas dan simbol, nama adalah doa, harapan kedua orang tua untuk anak di masa depan.
Sulawesi Selatan didiami oleh beberapa etnis, seperti Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, dan Kajang. Sebelum media elektronik, seperti radio, televisi, dan perangkat telekomunikasi secanggih saat ini, penamaan anak pada etnis-etnis tersebut sangat mencirikan bahasa, budaya, harapan, kondisi sosial, dan kejadian-kejadian ‘unik’ yang terjadi saat itu.
Untuk mengurangi potensi ketersinggungan pembaca, nama-nama yang dijadikan contoh berasal dari masa lalu, kekinian, dan lingkungan penulis. La Bebang (mencirikan Bugis). La=laki-laki (perempuan pakai awalan I), Bebang= gempa bumi, yang berarti lelaki yang lahir saat atau setelah gempa bumi. Nama tersebut sama sekali tak memiliki makna doa atau harapan. Pemberian nama yang atas dasar kejadian unik dan langka yang mudah diingat, bertujuan memudahkan orang tua mengetahui umur anaknya.
Di saat yang sama mereka belum punya kalender yang dijadikan pedoman. Singara Daeng Cora (mencirikan Makassar) adalah nama yang mengandung harapan akan masa depan si gadis yang terang dan cerah. Kedua nama tersebut, kini sudah jadi barang langka pada daftar nama peserta didik.
Berkembangnya pendidikan, teknologi informasi, komunikasi dan globalisasi media, menjadikan nama lokal sudah tergusur oleh nama yang diadopsi dari budaya luar. Penetrasi dan infiltrasi budaya luar berlangsung kontinyu via televisi. Fenomena tergusurnya nama lokal dipercepat oleh keterbukaan pada budaya luar yang didukung oleh sifat alamiah manusia yang suka meniru (imitasi). Desi Ratnasari, Susi Susanti, Ronaldo, Rahul, hingga Saddam Husain telah menggusur nama lokal.
Pemerhati budaya Bugis-Makassar menilainya sebagai penjajahan budaya terselubung. Kecintaan orang tua pada selebritis nasional dan dunia, mengalahkan kebanggan dan nilai luhur budaya sendiri. Nilai yang harus dipelihara oleh etnis sendiri untuk menghindari kepunahan budaya. Ironi, masyarakat kita lebih bangga menggunakan simbol, nama merek luar, penyandangnya sendiri tak tahu arti, makna dan pesan yang terkandung pada namanya. Ironi, di kartu/identitas tertulis kesukuannya, tapi tak mengerti sama sekali dengan bahasa sukunya.
Sekolah Ramah Anak, Memuliakan Nama Anak
Pelestarian dan penyelamatan nama khas Sulawesi Selatan bukan pekerjaan mudah. Perubahan sosial berlangsung cepat melalui globalisasi media dan penetrasi budaya luar, tak mengenal ruang dan waktu. Peserta didik adalah individu labil yang tak hidup dalam ruang hampa. Eksistensi mereka butuh wadah penyaluran dalam dunia sosial. Urusan nama, mereka sangat welcome dengan budaya luar. Senang dengan nama-nama yang wara-wiri di tv.
Di dunia maya, kondisinya tidak lebih baik. Di facebook, penulis berteman sekitar 4000 orang. Mereka kebanyakan teman semasa sekolah, siswa dan mantan siswa. Dari jumlah tersebut, tidak cukup separuhnya yang menggunakan nama yang sama persis di akta lahir mereka. Dari angka tersebut, yang menggunakan nama lokal jumlahnya lebih sedikit lagi..
Pelestarian nama yang berbau etnis di dunia nyata saat ini boleh dibilang mustahil, karena upaya nyata untuk itu hampir tidak ada. Nama yang mencirikan etnis tertentu hanya jadi bahan tertawaan, candaan, bahkan ejekan teman sekelas yang dapat memicu konflik. Memanggil atau menyebut nama orang tua peserta didik yang berbau etnis saja, dapat memancing keributan apatah lagi nama peserta didik yang memang berciri etnis tertentu.