Suatu pagi di negeri antah berantah, penunjuk waktu memang masih di sekitar angka tujuh. Jalanan yang mulus dan lebar sudah penuh dengan kendaraan berbagai tipe, ukuran, dan fungsi. Wajah-wajah pengendara penuh semangat, memburu dan berharap tiba tepat waktu di tujuan. Gerimis yang turun sejak subuh hari tak menghalangi mereka memacu kendaraan, walau cipratan air dari roda-roda hitam mereka turut membasahi pengendara lainnya.
Di suatu perempatan jalan yang dilengkapi dengan lampu pengatur lalu lintas. Seorang anak kecil mengenakan seragam merah putih menghentikan laju pelan sepedanya tepat pada saat lampu kuning mulai menyala. Dia terpaku, menyaksikan kendaraan dengan tonase yang lebih darinya tetap melaju walau warna merah sudah menyala memberi pesan. Dia terpana menyaksikan para pemuda dengan tas rangsel yang melekat di punggung, memacu sepeda motornya berbelok menuju ke salah satu kampus di negeri itu. Dia terkesima penuh tanya menyaksikan mobil-mobil mewah yang juga berbelok menuju kampus mengikuti pengendara dengan tas rangsel. Belum sempat melanjutkan keheranannya, lampu hijau menyala. Si Anak pun mengayuh sepedanya pelan dan tetap waspada dari kendaraan lainnya yang menyalip.
Sementara itu di perempatan lain, masih di negeri antah berantah dan hari yang sama. Seorang pengendara tua dengan motor bututnya, terdiam dengan memelototi lampu yang sedari 10 menit yang lalu, tak jua berganti ke lain warna. Dia tetap diam, walau kendaraan di kiri dan kanan, di depan dan belakangnya tetap melaju. Diam, sementara motornya tetap stand by untuk melaju. Warna merah belum jua berganti.
Dua puluh menit kemudian, perempatan jalan itu jadinya kacau balau tidak ada yang mau mengalah. Semua ingin cepat sampai, semua ingin didahulukan. Riak-riak kecil sudah mulai tampak, mata-mata mereka saling memelototi. Untung petugas datang, meninggalkan secangkir kopi yang uapnya masih mengepul pada warung kopi yang mangkal di bahu jalan dekat perempatan itu. Pak polisi tersebut sangat terampil mengatur para pengendara. Badannya yang tinggi besar dengan kumis yang melintang sepertinya menjadi modal berharga dalam mengurai kemacetan. Pak polisi mengamankan pak Tua, yang dianggap sebagai biang kemacetan. Hasil interogasi dan investigasi singkat petugas menyimpulkan bahwa lelaki tua yang begitu patuh pada simbol warna tersebut mengalami gangguan jiwa, dan petugas pun melepasnya pergi.
Manusia adalah makhluk sesempurnanya mahluk ciptaan Tuhan. Dunia manusia dunia yang berwarna-warni dan sarat dengan simbolisasi. Mereka menciptakan, menyepakati dan berkomunikasi dengan simbol. Simbol merupakan cara cerdas manusia dalam menyampaikan ide dan pesan. Bagi manusia, warna bermakna, gambar adalah pesan, kata-kata, tulisan dan bahasa juga simbol yang dapat menyampaikan pesan pada yang melihat, membaca dan mendengar.
Masyarakat kita sementara menuju ke masyarakat konsumsi. Indonesia adalah pasar produk otomotif yang sangat potensial bagi industri otomotif Jepang, Korea, bahkan Tiongkok dan India sudah mulai menunjukkan mencengramkan kukunya. Kebutuhan telah bertekuk lutut pada keinginan, perwujudan simbol dan gengsi sosial. Lihatlah garasi kelas menengah negeri ini, jumlah kendaraan terparkir kadang melebihi jumlah anggota keluarga.
Peningkatan kesejahteraan telah membawa pada konsumerisme. Komsumerisme adalah keturunan gobalisasi dan modernitas, yang oleh masyarakat kota adalah hal yang wajar alamiah. Bagi mereka kegiatan konsumtif merupakan perwujudan peran pada lingkungan sosialnya. Masyarakat konsumsi rela membeli simbol sebagai perwujudan gaya hidup dan gengsi.
Banyak kalangan menilai, volume kendaraan yang tidak seimbang dengan panjang dan lebar jalan adalah terdakwa utama kesemrawutan berlalu lintas kota-kota besar Indonesia. Peningkatan penghasilan, kesejahteraan yang meningkat penduduk Indonesia sesungguhnya kabar gembira bagi kita semua. Peningkatan kesejahteraan dianggap telah memicu peningkatan pembelian kendaraan dianggap tidak seimbang dengan kemampuan pemerintah menambah kualitas dan kuantitas jalan-jalan kota, juga disebut tertuduh sebagai penyebab kemacetan.
Berbagai upaya, terobosan, dan ide cerdas yang kreatif telah dicoba. MRT, dan sejenisnya, termasuk himbauan penggunaan transportasi massal daripada kendaraan pribadi, sampai pada kebijakan yang cukup menggelitik, pelarangan menggunakan kendaraan pribadi pada hari tertentu dan untuk kalangan tertentu. Upaya-upaya tersebut tentunya telah melalui pengkajian yang mendalam.
Melarang penduduk kota yang yang macet, dan sudah jadi menu sehari-hari pengguna jalan, membeli mobil cukup menggelitik penulis. Kalangan menengah ke atas sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, sosial dan budaya suatu kota. Mereka umumnya memiliki selera mengoleksi lebih dari satu unit kendaraan. Bagi mereka selera adalah peluang dan cara tercepat untuk menegaskan posisi mereka terhadap lingkungannya. Pakar sosiologi menyebutnya masyarakat konsumsi.