Dari sudut pandang sosiologi, kesemrautan lalu-lintas di kota-kota besar Indonesia bukan hanya persoalan sarana yang tidak memadai. Mental pengguna jalan Indonesia yang harus dibenahi. Sebagus apapun aturannya, selebar dan sepanjang apapun jalan kita, pengguna jalan terpaksa dan dipaksa untuk mengurut dada. Revolusi mental penggunaan jalan harus segera dibumikan, sebelum tenaga-tenaga muda pembangunan potensial kita yang produktif terkapar hingga meregang nyawa di aspal.
Pelanggaran berlalu lintas di negeri ini, sudah seperti gurita korupsi. Memotong satu generasi untuk menyelamatkan generasi berikut adalah langkah solutif untuk kedua masalah sosial tersebut. Pendidikan yang tinggi, kesejahteraan yang juga tinggi tidak berbanding lurus dengan kedisiplinan di jalan raya. Kisah negeri antah-berantah di atas, memberikan pesan bahwa karakter berlalu lintas harus dibina. Usia dini yang belum terjangkit virus “hilang kesabaran” di jalan harus jadi prioritas. Lupakan pelajar SMA, lupakan mahasiswa, dan orang-orang dewasa penggagas dan pencipta simbol, yang hanya mampu memberi contoh, tapi gagal menjadi contoh di jalan raya.
Sipakatau dan Sipakalebbi (saling menghormati dan menghargai), kearifan leluhur yang kita banggakan tak berlaku di jalan raya. Disiplin dan kesabaran berlalu lintas masih menjadi mimpi. Pada beberapa traffic light, “warna” tak lagi bermakna. Melaju dengan kecepatan tinggi, sementara warna kuning sudah memberikan pesan hati-hati karena beberapa detik lagi merah akan menyala. Baru menghentikan kendaran setelah beberaap detik warna merah menyala, dan kembali melaju saat warna hijau belum tampak adalah karakter berlalu lintas yang tidak biasa, tapi dianggap biasa. Keduanya masih lebih baik daripada tidak menghiraukan simbol warna itu sama sekali.
Berhenti tepat waktu, jalan tepat waktu sepertinya hal aneh dan “gila” di negeri antah-berantah. Menerobos lampu merah sepertinya kebanggaan yang patut diproklamirkan (seperti yang saya dengar di kalangan remaja). Banyak di antara pengguna jalan lebih mementingkan ego dan kepentingan individu dibanding kelancaran berlalu lintas. Sebagian pengguna jalan lebih takut pada petugas polisi, serta sanksi sosial. daripada keselamatan pengguna jalan lainnya,
“Maaf pak polisi, seandainya saya lihat bapak, saya tidak mungkin melakukan pelanggaran”, alasan pengendara yang ketiban sial. Sungguh suatu kerugian bagi negara bila petugas keamanan yang harusnya bisa produktif dan berdaya guna pada bidang lain, hanya untuk mengurusi ketidaksabaran pengguna jalan kita. Konflik horizontal karena perbedaan pilihan pada pilkada serentak, narkoba, begal motor, papa/mama minta pulsa, hingga papa minta saham, lebih membutuhkan karya nyata bapak-bapak polisi.
Keamanan, dan kenyamanan berlalu lintas, hanya bisa dirasakan bila revolusi mental yang pernah dinyayikan oleh para pemimpin kita segera diwujudkan dalam aksi nyata. Para orang tua hendaknya jemput bola, tak perlu menunggu contoh dari orang-orang besar. Orang-orang besar dan yang merasa besar, terkadang lupa pada hal-hal kecil dan yang kecil.
Mulai dari hal-hal kecil. Mulai dari anak-anak kita yang kecil.
Warkop Batara Marga Makassar, 12 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H