Setiap pagi, pada saat berangkat kerja, aku akan melihat Bapak separuh baya berdiri disitu. Saat aku melintas siang hari, bapak itu juga berda disitu. Dan setiap sore saat aku pulang kerja, bapak itu juga berada disitu. Ya, sudah hampir tiga tahun aku melewati rel perlintasan Kereta Api, bapak itu selalu hadir, dan mengatur orang orang yang melintas di rel Kereta Api itu. Sepeda motor, mobil, becak bahkan gerobak tak luput dari bantuan bapak itu. Kadang  membantu mendotong, mengatur jalan kendaraan yang berpapasan , bahkan memberhentikan kendaraan yang akan lewat, kala Kereta Api akan melintas.
Perlintasan Kereta Api yang terletak di jalan kecil menghubungkan Desa Sei Rotan ke Jalan Makmur, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang itu memang tidak mempunyai palang pintu untuk lewat kereta api. Bapak separuh baya, yang ternyata namanya Pak Sarip dengan sukarela mengatur lalulintas kendaraan yang akan melintas. Tak ada yang membayar. Bahkan, dia juga bukan karyawan PT KAI. Namun, rasa kepedulian dan jiwa penolongnya tergerak untuk mengatur perlintasan itu. Memang kondisi lintasan kereta api yang tanpa palang pintu sangat membahayakan bagi kendaraan yang akan melewati lintasan kereta api tersebut. Bahkan sangat beresiko mengancam nyawa para pengendara sepeda motor atau mobil.
Pada suatu kesempatan, aku mencoba duduk di pondok darurat yang dia buat di samping lintasan kereta api. Saat itu akan mendapat kesempatan bincang bincang dengan Pak Sarip. Rupanya Pak Sarip mengatakan sudah lima tahun dia menjaga perlintasan itu. Pak Sarip yang sudah berumur 58 tahun ini, merasa tergerak hatinya untuk menjaga perlintasan itu karena pernah melihat kejadian seorang ibu ibu yang terserempet kereta api pada saat mau melintas di Jalan kereta api tersebut. Jalan yang menanjak dan kasar (hanya batu dan pasir) menyebabkan ibu itu kepayahan mau lewat. Pada saat itu tiba tiba kereta api lewat. Dan terjadilah kecelakaan itu. Ban kereta ibu itu terkena imbas angin kereta yang lewat dan ibu itu terjatuh. Untunglah ibu itu tidak sampai nyawanya melayang. Tetapi tetap mengalami luka yang cukup serius, sehingga dilarikan ke rumah sakit. Itulah cerita Pak Sarip. Maka sejak saat itulah Pak Sarip rajin mengatur dan membantu kendaraan yang mau lewat di perlintasan kereta api tersebut.Â
Pertanyaanku berlanjut ke motivasi Pak Sarip. Dia menjelaskan : " Pak, kulo ningi tiang mboten gadah. Bade amal bondo mboten saget. Bade amal Ilmu mboten sekolahan. lah niki mawon saged kulo. Mugi mugi Gusti Allah nerimo amal kulo niki!" ( Pak, saya ini orang tak punya. Mau beramal dengan harta tak punya harta. Mau beramal dengan ilmu saya bukan orang sekolahan. Ya ini bisa saya. Mudah mudahan Tuhan menerima amal saya ini!). Hatiku langsung tersentak. Batinku membuncah " Orang sederhana, dengan pemahaman sederhana tentang beramal. Tetapi mau berbuat. " Terus Bapak nopo mboten kerjo?",( Terus bapak kerjanya apa? ) tanyaku lagi. " Wah nggeh kerjo to mas. Kulo niki kerjo serabutan. Biasane dikengken tiang tiang seng gadah sawah macul Pak! Mboten mbendino, tapi nggeh Alhamdulillah cekap damel kebutuhan dahar Pak! Gusti Allah seng nyukupi Pak!". ( Wah ya kerja Mas. Saya ini kerjanya serabutan. Biasanya disuruh orang yang punya sawah untuk mencangkul . Tidak tiap hari, ya Alhamdulillah cukup untuk makan Pak. Tuhan yang mencukupi!!)
Aku termenung, mencerna jawaban Bapak itu. Diriku dan kebanyakan orang sering kali merasa kurang dengan rezeki yang diberikan Allah. Padahal aku sudah diberikan pekerjaan yang baik bahkan rezeki yang cukup. " Mas, nek kebutuhan urip cukup apa yang diberikan Gusti Allah. Seng butuh kathah kan gengsine awak e dewe!" ( Mas kalau kebutuhan untuk hidup cukup apa yang diberikan Tuhan. Yang banyak biaya kan gengsi kita). Kembali aku tersentak
Memang kalau kita sedikit melihat kenyataan, memang masih banyak perlintasan Kereta Api yang tidak punya palang pintu. Bahkan tidak ada petugas dari PT KAI yang stand by disana. Saat itulah muncul orang orang yang mau meluangkan waktu dan tenaganya untuk ikut mengaturnya sehingga tidak membahayakan para pengendara yang akan lewat. Penjaga lintasan KA yang tidak masuk anggaran negara atau anggaran PT KAI. Terlepas mereka meminta upah dari pengendara yang lewat, atau memang ikhlas membantu, menurutku mereka sudah cukup berjasa untuk menyelamatkan nyawa orang.
Setelah bincang bincang,aku menyodorkan uang lima puluh ribu ke Pak Sarip, penjaga lintasan KA tadi. " Oh mboten Mas. Maturnuwun. Monggo dilebetno teng kotak mriku mawon! " (oh tidak usah Mas. Silahkan dimasukkan ke kotak itu!!") sambil menunjuk kotak yang terbuat dari kardus, mirip kotak amal. " Insya Allah, niku dikumpulne kagem konco konco engkang njogo gantian kalian kulo. Nek wonten siso, kulo beto teng Masjid. Masjid te butuh dana kangge ndamel nggon wudhuk!" ( Insya Allah itu dikumpilkan nanti untuk kawan kawan yang mau bergantian jaga. Nanti kalau ada sisa mau saya bawa ke Masjid. Masjidnya butuh dana untuk membuat tempat wudhuk!)
Kembali aku terdiam dan termangu oleh jawaban Pak Sarip, Si Penjaga Lintasan KA.
# WongNdeso