Mohon tunggu...
Maseko Arief
Maseko Arief Mohon Tunggu... -

Aku hanya sebutir debu tertiup angin khatulistiwa, menempel di sayap kupu-kupu terbang menjelajah taman bunga. Aku hanya sebutir debu lahir saat Gurita Cikeas hilang di pasaran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Nulis Diktat, Dunia Gembira

22 November 2014   04:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:10 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Kompasiana Nangkring di UPI Bandung bersama Tanoto Foundation/dokpri"][/caption] W.J.S Poerwadarminta menunjukan hal menarik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pada halaman 292 bahwa, "Diktat adalah buku pelajaran yang disusun guru dalam bentuk stensilan." Andaikata Poerwadarminta hidup di era kemajuan IT yang spektakuler. Tentu pengertian diktat akan berubah. Bisa saja, diktat diartikan sebagai buku pelajaran yang disusun guru dalam bentuk buku digital yang di simpan di blog.

Di blog inilah, aku mulai belajar menulis dengan tertatih-tatih. Tulisan pertama yang ditayangkan di blog pribadi ku memakan waktu selama tujuh hari. Itupun sudah beberapa puluh kali edit. Ternyata menulis merupakan pekerjaan menyenangkan karena terpicu untuk banyak membaca. Membaca bagi penulis pemula seperti ku, merupakan asupan sangat menyehatkan otak. Memori otak menjadi semakin bertambah seiring bertambah informasi yang masuk melalui buku bacaan, majalah, koran, tabloid, kamus, dan insiklopedi dibaca habis seperti orang baru sembuh sakit ingin makan terus-menerus.

Berbekal ketrampilan nulis di blog pribadi. Aku ketika ditugaskan ke Solok Selatan untuk membantu mengajar di sebuah SMP swasta. Dimana seluruh murid-muridnya terdiri dari kaum dhu'afa dan mustadh'afin. Aku diberi tugas mengajar matapelajaran PAI oleh Kepala Sekolah. Kepala Sekolah meminta ku untuk bab fiqih supaya diajarkan secara lintas mazhab.

"Mengapa harus lintas mazhab?" kataku kepada Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah yang tadinya bicara padaku sambil bersandar ke kursi. Tiba-tiba membetulkan posisi duduk dengan dada tegak diikuti pandangan mata menyorot ke muka ku, seperti lampu sorot di tangsi tentara menelisik seluruh kawasan khawatir ada musuh menyusup. Darah ku terkesiap, namun aku segera sadar untuk mengendalikan diri. Dengan siapa aku berhadapan. Dia bukan hanya seorang Kepala Sekolah saja. Dia seorang muballigh kaliber Propinsi Sumatera Barat. Bahkan di keluarga besarnya, dia seorang kepala suku yang bergelar Datuk Bulkaeni Rang Kayo. Tapi, aku tak bermaksud merusak suasana siang itu.

"Pak Datuk!" seruku. "Maksud saya, apakah sudah perlu mengajarkan fiqih lintas mazhab untuk murid-murid di SMP kita ?"

"Ya, sangat perlu sekali. Seandainya di Yayasan Baitul Arief ini sudah berdiri SD. Tentu fiqih lintas mazhab sudah aku perintahkan untuk diajarkan pula." Jawabnya dalam logat Minang.

"Termasuk fiqih Imam Ja'far Ash-Shodiq?" Aku coba memberanikan diri tatap muka Datuk.

"Iyalah, memangnya kenapa?" Datuk balik bertanya.

"Apakah tidak takut bila nanti sekolah ini difitnah sarang Syi'ah?"

"Aaah...tak usah takut derngan fitnah. Nanti fitnah itu akan hilang sendiri. Rasulullah SAW saja di fitnah. Masak umat Rasulullah takut difitnah! Bila terjadi apa-apa dikemudian hari karena sekolah ini mengajarkan fiqih lintas mazhab. Tentu aku yang akan bertanggung-jawab. Ustadz cukup mengajar saja dan kasih tuh murid-murid wawasan yang luas tentang fiqih Islam. Aku ingin, murid-murid di sini jadi kader bangsa dan umat. Bukan hanya sekedar kader bangsa dan organisasi! Di masyarakat sering ribut karena saudara kita dalam salat subuh membaca kunut dan lainnya tak baca kunut dianggap tak sah salatnya. Demikian juga sebaliknya, sehingga saling menyalahkan dan merasa gologannya saja yang sah salat subuhnya. Nah, ini akibat guru agama, muballigh dan ulama hanya mengajarkan satu fiqih saja namun berbeda mazhab. Akibatnya umat tak paham pemikiran mazhab lain dan merasa paling benar sendiri. Adapun yang tak pernah melaksanakan salat subuh, malah tak pernah disalahkan dan dipermasalahkan oleh umat. Belum lagi kalau sudah bulan Ramadhan tiba. Jumlah rakaat shalat taraweh bisa jadi masalah di kalangan umat ini. Masing-masing golongan menganggap paling benar dan sah salatnya. Golongan lain yang tak sepaham dianggap melaksanakan bid'ah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun