Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rapor Merah Pendidikan dan Menyoal Peran Guru; Menyongsong Hari Guru Nasional

4 November 2022   20:59 Diperbarui: 4 November 2022   21:25 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Uraian tersebut mengilustrasikan keadaan etos kerja guru yang positif dan tinggi. Sebaliknya, terdapat prototype guru yang kondisi etos kerjanya rendah. Sejumlah prototype itu misalnya (1) guru yang malas; (2) guru yang pudar; (3) guru tua; (4) guru yang kurang demokratis; dan (5) guru yang suka menentang.

Sejumlah prototype guru tersebut dapat dipakai sebagai kerangka teoretik untuk memahami keadaan etos kerja guru---terutama dalam konteks etos kerja yang negatif dan rendah.

Guru dalam Tantangan Global

Pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi, Joseph Stiglitz, dalam Harian Global mendefinisikan globalisasi sebagai "integrasi lebih dekat antara negara dan penduduk dunia... melalui cara penghancuran batas artifisial untuk arus barang, jasa, modal, pengetahuan danpenduduk secara lintas batas." Thomas Friedman dalam bukunya, The World is Flat, menulis bahwa dunia kini menjadi sebuah tingkat lapangan permainan.

Apa implikasi semua itu bagi dunia pendidikan? Dengan bahasa mudah bisa dikatakan negara yang tidak menghasilkan lulusan tingkat dunia akan terjungkal di lapangan datar kompetisi---sebab di dunia yang datar---semua kompetitor memiliki peluang sama. Jadi siapa saja yang tak mampu meningkatkan kemampuan dalam kesempatan ini akan tertinggal di belakang.

Lebih khusus lagi, peneliti pendidikan menemukan negara yang gagal membangun standar "pendidikan internasional", secara negatif akan berpengaruh pada kondisi ekonomi, politik, dan masalah sosial dunia. Seruan ini mengingatkan pentingnya melihat bagaimana standar pendidikan "internasional" di Indonesia; dan bagaimana setiap guru mampu mempersiapkan siswanya untuk bersaing di dunia global secara kompetitif.

Pendidikan lokal pada semua tingkat masih jauh dari standar kompetitif global; termasuk juga di Indonesia. Pada tahun 2005 ada sekitar 10.854.254 lulusan pendidikan sekarang "masih menganggur."  Jumlah ini adalah lulusan sarjana dan diploma,termasuk lulusan SMA yang berasal dari pendidikan lokal. Para analisis menyebut ini masalah nasional karena rendahnya kemampuan guru dan kualitas belajar di Indonesia.

Maka tidak mengejutkan, dari sekitar 2,7 juta guru di negara ini, hanya 300.000 yang memiliki sertifikat mengajar. Para guru di Indonesia memiliki kendala berbagai macam termasuk minimnya pelatihan, rendahnya kualifikasi pendidikan, kecilnya gaji dan buruknya fasilitas pendukung. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berkomitmen untuk menaikkan anggaran pendidikan. Meski, kompensasi penambahan anggaran ini tidak serta merta dapat meningkatkan kualitas guru untuk mencapai standar internasional.

Sangat miris ungkapan Prof. Hafid Abbas, dalam tulisannya "Rapor Merah Pendidikan" misalnya mengungkapkan terjadi paradox dalam pengelolaan pendidikan nasional. Paling tidak ada tiga hal;

Pertama, kecenderungan semakin besarnya anggaran pendidikan tetapi di sisi lain semakin mutu pendidikan Indonesia makin merosot. Terbukti pada APBN 2018 alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp. 444 triliyun dan pada 2020 angka ini meningkat  ke RP. 508 triliun. Rangking PISA Indonesia menunjukkan urutan ke-65 (2015) dan turun menjadi urutan ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca, matematika dan sains anak Indonesia terus menurun. 

Kedua, anggaran sertifikasi guru yang terus meningkat, tetapi belum berbanding lurus  dengan mutu pendidikan nasional. Pada APBN 2017 anggaran sertifikasi mencapai Rp. 75,2 Triliun dan tahun berikutnya naik  pada angka 79,6 triliun. Namun publikasi Bank Dunia, "Spending More or Spending Better; Inproving Education Financing in Indonesia" (2013), menunjukkan tidak terdapat dampak program sertifikasi guru  terhadap peningkatan mutu pendidikan nasiona; Ketiga, pengangkatan 100.000 guru setiap tahun sudah sangat suplus menurut standar ninternasional. Dengan sekitar 50 juta jumlah siswa pendidikan dasar dan menengah dengan 4 juta jumlah guru (Kemdikbud, 20/12/2019)  berarti setiap guru hanya mengajar 12-12 siswa. Sementara rata-rata rasio internasional sebanyak 20-21 siswa per guru. Jepang misalnya, rasionya 27-28 siswa perguru (UNESCO, 2017). Dengan menggunakan standar internasional, Indonesia sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun