Poligami; Reinterpretasi Makna Secara Sosiologis-Antropologis
 Oleh:
Masduki Duryat*)
Diskursus tentang poligami ini selalu menarik untuk diperbincangkan, terutama pada dunia laki-laki. Seringkali alih-alih mengikuti sunnah rasul, tapi ternyata terjebak pada nafsu syahwatiah yang mencari legitimasi.
Poligami atau Poligini?
Kalau kita kaji al-Quran, secara redaksional, seorang laki-laki memiliki hak untuk melakukan penggandaan isteri, artinya seorang laki-laki boleh beristeri lebih dari satu, baik dalam bentuk poligini maupun poligami---dalam Dictionary of Social Sciences, istilah poligami dipahami sebagai seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dalam waktu yang tidak bersamaan, sedangkan poligini adalah seorang laki-laki beristeri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.Â
Dalam perspektif antropologis, poligami dipahami sebagai seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu tanpa sepengetahuan isteri yang pertama, sementara itu poligini dipahami sebagai seorang laki-laki beristeri lebih dari satu, dalam proses menikahi isteri yang kedua dan seterusnya sepengetahuan isteri yang pertama.Â
Dalam redaksi Arab, sebagaimana diungkapkan Jamali Sahrodi; Poligami (al-zawj al-ta'addudy: ahad asykl al-zawj bitazawwuji bimuqtadhhu syakhshun min ayy al-jinsaini min aksari min zawjin aw zawjatin). Poligini (ta'addud al-zawjt f waqtin whidin---yang mengalami pergeseran makna.
Dalam ayat al-Quran disebutkan: "Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim [bilamana kamu menikahinya], maka nikahilah perempuan lain yang kamu sukai; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak mampu berbuat adil di antara perempuan-perempuan yang kamu nikahi maka nikahilah satu saja atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". [Q.S. al-Nis/4: 3].
Perintah di sini bukan berarti suatu keharusan melainkan sebagai sebuah alternatif yang mungkin relevan pada kondisi ruang dan waktu tertentu namun belum tentu berlaku sepanjang masa. Maksudnya, jika perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang akibat korban peperangan maka poligini dimungkinkan untuk diamalkan. Namun hal ini tidak dapat dipukul rata untuk semua kondisi.
Keinginan hampir semua laki-laki, secara naluriah, ingin melakukan poligini namun harus dilihat bahwa niatan berpoligini dalam rangka menolong dan membantu bukan karena "nafsu syahwatiah" tampaknya sedikit sekali. Mengapa demikian? Karena kecenderungan laki-laki yang berpoligini kebanyakan memilih perempuan yang lebih muda, lebih cantik, dan lebih memuaskan seks biologisnya dari pada isteri yang pertama.Â
Kalau mau mengikuti jejak Nabi SAW, semestinya laki-laki yang berpoligini adalah dengan janda-janda beranak bukan dengan para gadis muda yang "bahenol" dan masih tergolong belum tersentuh oleh laki-laki lain.
Ikut Sunnah Rasul?
Jika mengikuti sunnah Rasul SAW, maka pernikahan beliau di samping mengikuti perintah Allah SWT juga karena dilandasi dengan semangat membantu, melindungi, dan mendidik isteri-isterinya untuk bersikap dewasa dan memahami nilai-nilai kolektivitas serta perjuangan dakwah yang meminta pengabdian dan pengorbanan yang cukup serius.Â
Hampir semua isteri beliau adalah janda kecuali Siti Aisyah binti Ab Bakr al-Shiddqy. Ini menandakan bahwa pernikahan beliau tidak semata-mata pemenuhan "nafsu syahwatiah" melainkan perjuangan dan dakwah ajaran Islam sebagai rahmat li al-lamn. Hendaknya, pengikut Nabi SAW jangan hanya mengikuti formalitas perilaku nabi tanpa menyentuh semangat atau substansi apa yang dilakukan beliau.
Al-Qur'n dan Hads adalah dua perkara yang diwariskan Nabi SAW untuk tetap dipegang oleh umatnya.Â
Namun, permasalahannya adalah ketika zaman berubah dengan diikuti juga perkembangan pola pikir manusia dan perkembangan teknologi, maka konsekuensi dari perkembangan tersebut adalah munculnya banyak persoalan kontemporer yang sebelumnya tidak pernah muncul pada zaman sebelumnya, terlebih pada zaman Nabi SAW.Â
Hal ini tentu saja harus dapat dicari solusinya dengan tanpa mengebiri daya kritis dan tetap berpegang pada prinsip agama yang ada.
Beberapa usaha untuk mencari solusi tersebut adalah dengan cara melakukan pembacaan kembali teks-teks keagamaan. Usaha penafsiran dan pengkajian kembali teks ini dipandang perlu karena terkadang kita selalu memposisikan teks keagamaan sebagai bahan yang absolut atau mutlak, tanpa mencoba melihat latar belakang teks itu ada, padahal tidak ada yang absolut di alam ini kecuali Tuhan.Â
Tentu saja usaha ini bukan untuk mencari-cari legitimasi agama atas perkembangan yang ada tetapi justeru sebagai bagian peneguhan bahwa Islam memang rahmat li al-lamn dan relevan sepanjang masa [al-Islm shlih li kulli zamn wa makn].
Atas dasar pemikiran di atas, diskursus poligami dan poligini dalam kajian Islam menjadi menarik mengingat tarik-menarik persoalan azas nikah dalam pernikahan Islam itu, apakah menganut azas poligami atau monogami, membawa perdebatan panjang hingga sekarang.
Azas Monogami
Pada prinsipnya, secara mendasar tekstual, azas nikah dalam Islam adalah monogami. Karena persyaratan adil yang bersifat kualitatif tampaknya sulit untuk diwujudkan. Dikatakan dalam ujung Q.S. al-Nis/4: 3 bahwa: "Jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka cukuplah satu orang isteri saja". Memang, ketegasan pernyataan ketidakmampuan laki-laki untuk berlaku adil secara tegas dikatakan oleh Allah dalam Q.S. al-Nis/4: 129.Â
Nazarudin Umar mengatakan "Islam membolehkan suami beristeri lebih dari satu dengan syarat harus adil". "Tapi, apakah laki-laki bisa adil? Kata laki-laki 'bisa', tapi kata Tuhan dalam Al-Quran tidak mungkin laki-laki bisa adil", demikian menurut Nazarudin Umar.
Menurut Masjfuk Zuhdi, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madarat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami.
Kecenderungan praktik poligini, dalam tataran aplikasinya, penyumbang salah satu di antara kekerasan dalam rumah tangga [KDRT]. Penulis katakan "penyumbang salah satu di antara" maksudnya bahwa terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bukan poligini semata-mata penyebabnya melainkan juga ada faktor lain yang turut menyumbangkan KDRT.Â
Realitas menunjukkan bahwa, dalam keluarga monogami bisa terjadi KDRT, dapat terjadi karena faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor lain dalam kehidupan ini.
Monogami diyakini sebagai sebuah prinsip dengan suatu pemahaman ajaran agama secara menyeluruh. Tegasnya, pemahaman keagamaan tidak hanya dipahami secara tekstual namun juga harus dipahami secara kontekstual berdasarkan realitas sosial.Â
Penulis bukan hendak memaksakan pemahaman tertentu namun lebih menawarkan suatu pola pemikiran yang sosiologis.
Mengapa demikian? Jika ditelusuri secara historis, ajaran agama Islam tentang nikah mengalami evolusi---kalau tidak dikatakan---bahkan revolusi. Karena zaman pra-Islam, umat manusia terutama laki-laki bebas memiliki isteri lebih dari satu bahkan ratusan.Â
Namun kemudian setelah datang Islam, laki-laki tidak boleh sewenang-wenang "menggaet" perempuan menjadi isterinya tanpa batas, ia hanya dibolehkan maksimal empat orang isteri.
Nabi SAW dalam sebuah riwayat memerintahkan untuk menceraikan enam isteri seorang sahabat yang memiliki isteri sampai sepuluh orang. Kata Nabi SAW, Â "Ambillah empat, ceraikan yang enam." Evolusi ini, ternyata, tidak terbatas pada jumlah isteri namun juga pada hak perempuan.Â
Semula perempuan sebagai harta yang diwariskan dan tidak memiliki hak mewarisi tetapi setelah kedatangan Islam di dunia ini wanita di samping memiliki kemerdekaan untuk memilih, juga perempuan memiliki hak untuk mewarisi harta ahli warisnya.
Problem Lanjutan dari Poligami
Poligami secara jelas memang dibolehkan oleh Allah SAW sebagaimana tercantum dalam Surah al-Nis' ayat 3, tetapi dengan syarat keadilan sedangkan keadilan itu sulit atau bahkan tidak akan bisa dicapai manusia karena hakikat dari keadilan adalah kemampuan manusia untuk mendistribusikan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kualitatif (kasih sayang dan cinta) dan kuantitatif (nafkah, tempat tinggal, dan lainnya) secara adil kepada isteri-isterinya.
Sebenarnya, di sinilah letak konsep keadilan ['adlah] yang dikehendaki oleh Surah al-Nis' ayat 3. akan tetapi, para ahli fiqih selalu mendahulukan aspek mubhah [kebolehan] dari pada aspek yang lebih penting, yakni 'adlah (keadilan).Â
Seharusnya, aspek 'adlah inilah yang didahulukan atas mubhah. Katakanlah, keadilan baik kuantitatif maupun kualitatif, merupakan prasyarat bagi bolehnya poligami.Â
Apabila aspek keadilan sebagai prasyarat utama, mungkin poligami menjadi sulit dilakukan walaupun atas izin syara'. Keadilan yang semata-mata kuantitatif, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli fiqih, lebih menguntungkan kepentingan laki-laki dari pada perempuan.
Lebih dari itu, ulama fiqih memahami bilangan dua, tiga, dan empat, dalam Surah al-Nis' ayat 3 tersebut bukan sebagai finalitas (ihdd) yang hanya berlaku pada masa kenabian.Â
Padahal, ayat tersebut sangat bersifat sosiologis, historis, dan ekonomis. Sebagaimana telah disinggung di atas, jumlah empat merupakan terobosan yang berani dari Islam sekaligus sebagai koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku saat itu.
Kemudian dengan mengutip pandangan Jamali Sahrodi, kalau poligami itu memang boleh, dilihat dari perspektif "munsabah yah bi al-yah", yang dibolehkan adalah mengawini janda-janda yang mempunyai anak yatim.Â
Jadi, poligami di sini ada unsur karikatifnya. Akan tetapi, dalam realitasnya ayat ini oleh para pemegangnya sering dieksploitasi untuk kepentingan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H